Liputan6.com, Lumajang - Saiman dan istrinya, Halimah, ketakutan setengah mati. Tanpa ada tanda-tanda, rumah mereka mendadak gelap gulita.
Seketika terdengar suara orang-orang berteriak histeris di luar rumah. Yang ada di pikiran Saiman cuma menyelamatkan diri.
Baca Juga
"Tak ada suara atau tanda-tanda, tiba-tiba suara tetangga teriak-teriak, langsung bikin saya bingung," kata Saiman, yang rumahnya rusak berat terkubur lahar akibat erupsi Gunung Semeru, Jawa Timur, Sabtu (4/12/2021).
Advertisement
Warga sekitar sangat panik saat luncuran awan panas menerpa. Saiman dan istri berlari ke arah selatan, lalu bertemu warga yang berbaik hati memberikan tumpangan menuju lokasi pengungsian.
Setali tiga uang, Abdul Manaf, juga menyebut tidak ada tanda-tanda Gunung Semeru bakal erupsi. Dia mengaku tidak mendapat peringatan apapun.
Saat erupsi terjadi, Abdul tengah melakukan aktivitas sehari-hari di halaman rumah. Namun, tiba-tiba suasana gelap gulita, padahal baru sekitar pukul 15.00.
"Jika memang kami diberi tahu akan erupsi, tentunya masyarakat sudah siap. Karena saat erupsi tengah beraktivitas seperti biasa," ujar Abdul.
Istri dan anak Abdul berhasil selamat setelah mampu menyelamatkan diri. Padahal dia sempat pasrah dan khawatir tidak bisa selamat dari terjangan lahar dingin dan lava.
Selain Saiman dan Abdul, beberapa warga lainnya juga mengaku tidak mendapat peringatan dini mengenai potensi erupsi Gunung Semeru. Sistem peringatan dini ke warga pun dipertanyakan.
Bagaimana sesungguhnya sistem pencegahan, kesiapsiagaan, serta mitigasi bencana untuk masyarakat, yang khususnya berada di wilayah-wilayah rawan terjadinya bencana erupsi gunung? Apa yang terjadi setelah adanya peringatan dini dari Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG)?
Masalah Komunikasi Peringatan Dini
Kepala PVMBG, Andiani, mengatakan, early warning system atau sistem peringatan dini di kawasan Gunung Semeru sebenarnya sudah berjalan. PVMBG telah menyampaikan kepada stakeholder terkait melalui WhatsApp Grup soal kondisi terkini peningkatan aktivitas gunung setinggi 3.676 meter di atas permukaan laut itu.
"Aktivitas Gunung Semeru selalu diinfokan melalui WAG yang terdiri dari unsur masyarakat, Pemda, BPBD, relawan, dan instansi terkait lainnya, termasuk kejadian guguran lava pada 1 Desember," tulis PVMBG.
PVMBG juga telah bersurat kepada Bupati Lumajang, Thoriqul Haq dan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, pada 2 Desember 2021. Surat itu terkait kondisi peningkatan aktivitas Gunung Semeru disertai beberapa imbauan. Tapi, bagaimana langkah berikutnya dari para penerima informasi itu PVMBG itu?
Komunikasi kepada masyarakat ketika bencana erupsi gunung api terjadi, juga dipertanyakan. Andiani menekankan, PVMBG bekerja sesuai tugas, yakni mengumpulkan data, status, dan informasi, serta monitoring kondisi gunung api, lalu menyebarkan informasi ke stakeholder yang berjenjang.
"Mungkin itu dapat ditanyakan kepada teman-teman yang mendapatkan informasinya itu. Kalau kami kan bekerja sesuai tugas kami ya. Tugas kami menyampaikan, ya itu sudah kami jalankan. Jadi, bertanyanya ke sana, bukan ke kami," kata Andiani kepada Liputan6.com.
"WhatsApp grup yang kami bentuk itu kan sebetulnya WA grup yang ditujukan untuk yang pertama kali menyebarkan informasi. Kepada siapa pihak yang pertama kali harus menerima. Itu adalah tugas kami," dia menambahkan.
Mengapa Masih Banyak Korban Jiwa?
Akibat bencana erupsi Gunung Semeru, hingga 11 Desember 2021, korban jiwa mencapai 44 orang dan 27 orang masih hilang. Lebih dari 6.500 orang harus mengungsi dari tempat tinggalnya.
Bencana erupsi gunung bukan yang pertama kali terjadi di tanah air. Sebagai negara Ring of Fire, Indonesia sebenarnya sudah beberapa kali diterpa bencana erupsi gunung api. Namun, mengapa korban jiwa yang jumlahnya tidak sedikit masih saja terjadi?
Selain sistem peringatan dini, sistem mitigasi bencana di tanah air turut dipertanyakan. Indonesia merupakan negara terbanyak yang memiliki gunung aktif, yakni mencapai 127 gunung. Dengan fakta itu, Indonesia berada di urutan pertama soal jumlah korban jiwa akibat erupsi gunung api.
Kepada Liputan6.com, Kepala Pusat Data, Informasi, dan Komunikasi Kebencanaan (Kapusdatinkom) Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, menerangkan, untuk erupsi Gunung Semeru pada 4 Desember lalu, aktivitas guguran awan panasnya sangat cepat. Dia menyebut periode dari sejak PVMBG mendeteksi getaran sampai berjalannya proses evakuasi hanya dari pukul 14.47 hingga 15.30 WIB.
Pria yang akrab disapa Aam ini mengatakan, karakteristik gunung api berbeda-beda dari tiap kejadian letusan. Ada karakteristik gunung api yang prekursor erupsinya dari hitungan minggu sudah kelihatan aktivitasnya, seperti Gunung Agung di Bali dan Gunung Merapi pada 2010.
Prekursor erupsi yaitu sebuah gejala awal berupa perubahan-perubahan parameter fisika dan kimia yang terlihat secara visual maupun yang terukur secara instrumental sebagai tanda aktivitas vulkanik sebelum erupsi. Tapi, ada gunung api yang aktivitasnya tiba-tiba, yang kadang-kadang prekursornya tidak teramati dengan baik. Hal ini mesti menjadi evaluasi bersama untuk memahami karakteristik dari tiap-tiap gunung api itu.
Dia mengambil contoh bagaimana letusan Gunung White Island di Selandia Baru pada 2019, di mana peristiwa itu memakan 24 orang korban jiwa. White Island adalah gunung api yang menjadi tempat wisata.
Selandia Baru yang dianggap punya perangkat sistem peringatan dini kegunungapian lebih canggih dibanding Indonesia, kala itu tidak mendeteksi adanya prekursor erupsi dari aktivitas Gunung White Island. Wisawatan pun banyak yang menjadi korban.
Ahli vulkanologi, Surono, mengatakan, adanya korban terdampak erupsi Gunung Semeru lantaran aktivitas warga menambang pasir. Di samping itu, warga juga ada yang beternak. Pria yang karib disapa Mbah Rono ini menekankan, Pemda setempat seharusnya lebih serius memerhatikan mitigasi bencana pada warga sekitar Gunung Semeru.
Warga yang tinggal di kawasan tersebut juga tidak boleh mengabaikan peringatan waspada, yang dikeluarkan terhadap aktivitas gunung itu. "Pertanyaannya, kapan masyarakat yang harus mengikuti, kapan Semeru memberikan rezeki,” ucap Mbah Rono.
Sampai sekarang belum ada sistem peringatan dini paling canggih yang mampu meramalkan kapan erupsi gunung terjadi. Jalan menyelamatkan diri satu-satunya adalah tidak berada di kawasan Gunung Semeru, sekitar 5-7 kilometer dari kawasan kubah lava, saat dikeluarkannya peringatan status waspada.
Menurut Mbah Rono, semestinya tidak sekadar memikirkan bagaimana menanggulangi korban bencana erupsi gunung, tapi juga pemerintah diharapkan mengambil langkah tegas mitigasi yang mengutamakan keselamatan masyarakat.
Advertisement
Kesadaran Masyarakat Rendah
Kepala PVMBG, Andiani, menyatakan, bencana geologi umumnya tidak bisa ketahui, walaupun dapat diperkirakan. Khusus erupsi gunung api, untuk mengetahui kapan pastinya terjadi, maka dilakukan monitoring dengan memasang alat di gunung api. Apa yang terjadi kemudian dilaporkan ke masyarakat. Hal itu sebagai salah satu upaya mengurangi korban jiwa.
PVMBG ketika melakukan mitigasi kepada masyarakat menyiapkan peta kawasan rawan bencana gunung api terlebih dahulu. Sejauh ini, terdapat juga 69 pos pemantau gunung api di Indonesia.
Pembuatan peta kawasan rawan bahaya gunung api pun dibuat PVMBG, yakni dengan memetakan material-material produk vulkanik dari erupsi gunung api yang terjadi di masa lalu. Peta-peta itu dijadikan dasar untuk perkiraan ancaman kawasan rawan bencana gunung api saat ini.
"Kenapa begitu? Karena sebetulnya apa yang terjadi di suatu tempat itu akan berulang kembali di tempat yang sama di masa depan. Batu-batu itu kan sebenarnya merupakan suatu bukti nyata bahwa daerah itu sebetulnya dahulunya sudah terancam," terang Andiani.
Peta-peta tersebut pun diterapkan dalam perencanaan dan pengembangan pembangunan di suatu wilayah rawan bencana erupsi gunung api. Andiani berharap masyarakat memahami peta-peta tersebut demi alasan faktor keamanan dan pencegahan.
Andiani juga mengedepankan aplikasi Magma yang dimiliki PVMBG, sebagai salah satu aplikasi kebencanaan. Di dalam aplikasi Magma terdapat informasi tentang gunung api yang terus diperbarui beberapa jam sekali, berdasarkan laporan dari pos pemantau. Informasi juga bisa diperoleh di media sosial PVMBG dan situs resmi mereka. Sementara aplikasi Magma bisa diunduh di playstore.
Sosialisasi Jadi PR Bersama
Terkait edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat, Andiani menyebut hal itu seharusnya dilakukan oleh semua pihak. Ketika PVMBG sudah menyampaikan peta-peta kawasan rawan bencana erupsi gunung, sosialisasi juga mesti dilakukan pemerintah daerah kepada masyarakat.
"Masyarakat itu harus mulai peduli dengan masalah bencana ini. Jadi, masyarakat itu harus mulai mengerti bahwa mereka itu tinggal pada kawasan rawan bencana. Nah pada saat ini saya melihat masih kurang ya. Mungkin sifat dan budaya kita ya mudah melupakan. Kesadaran masyarakat perlu ditingkatkan untuk semua lapisan," beber Andiani.
Bagi PVMBG, bagaimana mengedukasi masyarakat untuk mulai menerapkan prinsip hidup yang berbasiskan mitigasi bencana, menjadi tantangan ke depan. Tantangan itu harus dijawab bukan saja oleh PVMBG, tapi juga kementerian terkait serta pemerintah daerah, serta masyarakat itu sendiri.
Andiani ingin adanya kesadaran semua lapisan masyarakat tentang betapa pentingnya memahami potensi bencana. Dia berharap aplikasi Magma bisa diakses masyarakat agar paham peta kawasan rawan bencana gunung api. "Kita harus memahami di mana kita berdiri di Indonesia dan apa potensi bencana pada saat kita berdiri pada daerah itu," ungkapnya.
Mitigasi Masih Lemah
Pengamat Kebijakan Publik Universitas Trisakti, Trubus Rahadiansyah, menilai Indonesia masih lemah dalam mitigasi, mapping dan antisipasi bencana. Hal ini yang membuat korban jiwa terus berjatuhan.
Ia berkaca pada bencana erupsi Gunung Semeru. Jika mitigasi dilakukan dengan baik, maka korban jiwa harusnya bisa diminimalisir.
"Kolaborasi pemprov Jawa Timur dengan kabupaten dan kotanya lemah. Jadi masyarakatnya banyak yang tidak tahu. Peringatan dini kalau tidak salah sudah keluar beberapa hari sebelumnya, tapi banyak masyarakat tidak tahu. Jadinya banyak jatuh korban. Harusnya kan masyarakat sudah mengungsi sejak peringatan keluar," kata Trubus kepada Liputan6.com.
Menurut Trubus, mapping ancaman bencana juga tidak jelas. Harusnya daerah-daerah mana saja yang akan terdampak sejak awal bisa diprediksi, sehingga masyarakat dapat diselamatkan.
Idealnya, langkah mitigasi tinggal mengikuti Pasal 1 ayat 6 Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana. Salah satu poinnya adalah "Melakukan sosialisasi mengenai peringatan dini yang diberikan oleh aparat di sekitar gunung api". Namun, hal ini tidak dilakukan.
Harus Dipaksa
Trubus mengakui, komunikasi dan sosialisasi mengenai ancaman bencana kepada masyarakat bukan hal yang mudah. Ini jadi salah satu tantangan pemerintah.
Masih banyak masyarakat yang kurang peka dengan bencana, bahkan ngotot tidak mau meninggalkan tempat tinggal di daerah rawan bencana.
"Masyarakat harus dipaksa karena kadang-kadang masyarakat cuma menuntut doang, tapi kerjasamanya rendah, kesadaran menghadapi bencana rendah. Pengalaman di Gunung Merapi dulu juga banyak yang jadi korban karena masyarakatnya acuh. Ini potret masyarakat kita. Sering kali informasi yang diberikan pemerintah tidak digubris."
Salah satu kunci mengatasi masalah ini adalah dengan menggunakan jasa relawan yang mengenal masyarakat sekitar dan kondisi lapangan. Relawan harus bisa melakukan pendekatan dan proaktif dalam menyadarkan masyarakat.
"Di Merapi kan dulu juga begitu, walau akhirnya ada juga gesekan dengan relawan karena masyarakatnya tidak mau pindah. Padahal niat relawannya baik untuk menyelamatkan," ucap dia.
Advertisement