Menko Mahfud Md: Perampasan Harta Hasil TPPU Dapat Turunkan Angka Kriminalitas

Menko Polhukam Mahfud Md mengungkap dua konsep dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni penangkapan pelaku dan penelusuran hasil tindak pidananya.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 14 Des 2021, 18:25 WIB
Diterbitkan 14 Des 2021, 18:25 WIB
Mahfud Md
Menko Polhukam Mahfud Md. (Merdeka.com)

Liputan6.com, Jakarta Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md mengungkap dua konsep dalam penanganan kasus tindak pidana pencucian uang (TPPU), yakni penangkapan pelaku dan penelusuran hasil tindak pidananya. Setelah diketahui, maka selanjutnya hasil tindak pidananya dirampas oleh negara atau dikembalikan kepada yang hak.

"Apabila dapat disita atau dirampas, dengan sendirinya dapat menurunkan tingkat kriminalitas," tutur Mahfud Md dalam webinar PPATK, Selasa (14/12/2021).

Untuk itu, lanjut dia, penanganan TPPU memerlukan landasan hukum yang kuat demi menjamin kepastian hukum dan menjaga efektivitas penegakan hukum. Termasuk dalam pengembalian harta kekayaan hasil tindak pidananya.

"Saya menyambut baik kegiatan diseminasi peraturan PPATK ini yaitu tentang tata cata permintaan informasi ke PPATK. Dengan ini saya berharap kegiatan diseminasi ini dapat meningkatkan komuniksi dan koordinasi dengan seluruh pemangku kepentingan di Indonesia dalam pemberantasan tindak pidana pencucian uang," kata Mahfud.

Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menggelar acara diseminasi Peraturan PPATK Nomor 15 Tahun 2021 Tentang Tata Cara Permintaan Informasi. Hal tersebut dalam rangka menyamakan presepsi dan pengertian terkait regulasi pertukaran data.

Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyampaikan, pihaknya sangat masif menerima permohonan permintaan informasi. Tidak hanya dari aparat penegak hukum, namun juga banyak lembaga.

"Tidak hanya kasus, tapi juga panitia seleksi pimpinan lembaga, dan masyarakat," tutur Ivan dalam acara tersebut, Selasa (14/12/2021).

 

 

Era Money Laundry 4.0

Menurut Ivan, kondisi ini memerlukan perbaikan tata kelola demi menjamin pemenuhan informasi PPATK kepada pemerintah dan pihak berkepentingan lainnya. Sementara saat ini telah memasuki era money laundry 4.0 dengan pelaku tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang mendelegasikan hartanya ke pihak lain atau disebut proxy crime.

"Oleh karena itu kita berpikir bahwa tidak mudah memenuhi semua permintaan yang disampaikan ke PPATK dan tidak mudah juga dengan data yang sudah kita terima. Hampir 250 juta data di database PPATK," jelas dia.

Atas dasar itu, Ivan mengatakan, PPATK melihat penanganan permintaan data harus diatur secara hati-hati dan bijaksana. Tentunya regulasi data tersebut mesti didukung oleh aturan perundang-undangan dan fasilitas teknologi yang memadai.

Sejauh ini, dalam melakukan pencegahan dan penanganan TPPU, tindak pidana lain terkait pencucian uang, termasuk penanganan terorisme, beberapa pihak dalam dan luar negeri yang bisa meminta informasi kepada PPATK meliputi instansi penegak hukum, lembaga berwenang penyedia jasa keuangan yakni OJK, lembaga yang bertugas memeriksa keuangan negara atau BPK, hingga lembaga lain yang terkait pemberantasan TPPU dan lembaga intelijen dari negara lain.

"Sampai saat ini saja kita masih menerima langsung dari level yang belum dan tidak memiliki kewenangan ke PPATK. Misalnya Kejati atau Kapolres langsung meminta kepada PPATK. Nah itu yang harus kita tempatkan pada porsi yang seharusnya. Kita bisa menangani semuanya tapi tidak semuanya bisa meminta sesuai kehendaknya," Ivan menandaskan.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya