Liputan6.com, Jakarta - Tiga tahun terakhir resolusi tahun baru Putra (30) selalu sama. Dia ingin berhenti merokok. Namun, entah bagaimana, dia selalu gagal mewujudkannya.
Putra mengaku ingin hidup sehat. Ia takut kesehatannya terancam jika terus mempertahankan kebiasaan merokok. "Pas 2019 sempat bertekad kuat, tapi cuma bertahan sebulan. Kemudian 2020 juga sama. Tahun 2021 ini pas pandemi, sekitar dua bulan pertama berhasil, tapi kemudian menyerah lagi," ucap dia.
Pria yang bekerja di salah satu perusahaan swasta itu sadar, untuk mencapai resolusinya, maka dia harus bisa mengalahkan diri sendiri. Tapi terkadang, kata Putra, ada saja faktor eksternal yang membuat resolusinya gagal. "Walau sudah serius, tapi ya namanya hidup, apalagi dalam bekerja, ada saja tekanan dan stres. Akhirnya balik lagi dan resolusi gagal lagi," ujarnya.
Advertisement
Menyambut 2022, Putra mengaku ingin mencoba lagi dengan resolusi yang sama. Ia tak mau lagi gagal dan mencari-cari alasan. "Mudah- mudahan kali ini bisa. Yang penting tekadnya," kata dia.
Lain lagi dengan Mayang (31), yang menargetkan menurunkan berat badan sebagai resolusi tahun baru 2022. Resolusi yang sama dia buat ketika tahun baru 2021. Meskipun berhasil turun, namun masih belum mencapai target yang diinginkan.
Kendati gagal, ia tidak terlalu mempermasalahkannya. Sebab, dia menyadari masih belum menjaga pola makannya dengan disiplin dan maksimal. "Yang penting turun dulu berat badannya. Tahun depan resolusinya benar-benar mengurangi minuman manis sampai 50 persen dan setop ngemil saat malam," tuturnya.
Sejatinya, banyak dari kita yang memakai momen menuju tahun baru sebagai waktu menetapkan target untuk dicapai oleh diri kita sendiri. Kita sering menyebutnya dengan membuat resolusi.
Fenomena membuat resolusi konon bertujuan supaya bisa lebih bersemangat menghadapi tahun baru. Setiap orang punya impian, harapan, dan rencana yang ingin diwujudkan di tahun yang baru. Bentuknya bisa berupa kenaikan jabatan di tempat kerja, berat badan yang ideal, memiliki pasangan, hingga punya rumah, atau kendaraan idaman.
Tahun baru 2022 sudah di depan mata. Sebagian orang pun mulai menyusun apa yang bakal menjadi resolusi mereka di tahun yang baru. Tapi, tidak sedikit yang akhirnya menjadi wacana belaka.
Apa yang direncanakan sebagian orang kala menatap tahun baru, nyatanya tidak pernah benar-benar tercapai karena sulit dilakukan atau dipenuhi. Kendati demikian, orang-orang tetap tidak pernah berhenti membuatnya.
Dalam penelitian University of Scranton, Amerika Serikat, menunjukkan bahwa hanya 19 persen orang yang bisa memenuhi resolusi tahun baru, yang mereka buat sendiri.
Seperti dilansir Popular Science, menurut Timothy Pychyl, associate professor bidang psikologi Universitas Carleton di Ottawa, Kanada, sebagian besar resolusi gagal karena biasanya orang tersebut hanya fokus pada tujuan yang belum bisa diraih selama satu tahun terakhir.
Dan hal buruk lainnya soal resolusi Tahun Baru yakni, ucap Pychyl, orang-orang sekadar membuatnya dan tidak benar-benar melakukan tindakan yang diperlukan untuk mencapainya.
"Mereka membuat resolusi saat ini, namun mereka tidak melakukan apa-apa. Dan orang-orang menyukai hal tersebut," beber Pychyl.
Target Tidak Realistis
Memiliki resolusi tahun baru bukanlah hal yang buruk. Tentu ada dampak positifnya, setidaknya dengan keinginan memenuhi target tersebut. Tapi, kegagalan memenuhi resolusi juga mesti dihadapi.
Psikolog Universitas Indonesia (UI), Dian Wishnuwardani, menjelaskan, masalah yang kerap terjadi ketika menetapkan resolusi adalah memilih target yang tidak realistis. Padahal, menurut Dian, sangat penting untuk mengukur kemampuan diri.
Membuat resolusi adalah tindakan yang dipengaruhi oleh pikiran kita. Tapi, ada beberapa hal yang harus dipahami agar resolusi dapat dicapai, tanpa menyulitkan diri sendiri.
"Kemampuan yang kita miliki apa? Kita tahu dulu, jadi kita memetakan kemampuan diri. Kemampuan diri itu kan ada keterampilan, keuangan, harapan, dan motivasi. Tapi harus diingat juga ada faktor-faktor lingkungan sosial dan eksternal yang bisa memengaruhi," terang Dian kepada Liputan6.com.
Ia menjelaskan, harapan di tahun depan untuk menjadi lebih baik membuat seseorang termotivasi. Motivasi pula yang bisa membuat perubahan dalam diri, di mana hal itu merupakan yang utama ketika menetapkan resolusi. Tapi, dia mengingatkan agar tidak memasang target yang terlalu tinggi dan tidak realistis.
"Memang ada orang-orang yang high achiever, yang harus berprestasi sangat tinggi. Tapi, jangan sampai lupa, kita lihat dulu, yang kita punya setinggi itu enggak? Contoh, target lulus S2 setahun, padahal normalnya dua tahun, paling cepat saja 1,5 tahun," ujarnya.
Wanita yang mengambil gelar magister ilmu psikologi di Universitas Indonesia ini khawatir, apabila hal-hal seperti itu tidak dipahami malah dapat menimbulkan stres bagi si pembuat resolusi.
Ketika resolusi gagal terpenuhi, kata Dian, proses penerimaannya juga kerap tidak mudah dan panjang. Biasanya, Dian meminta kliennya membuat jurnal yang dibagi dua tabel yakni kegagalan dan kesuksesan.
Ia berpendapat, menulis daftar kesuksesan lebih banyak daripada kegagalan bisa menutupi kegagalannya sekaligus menuangkan pikiran dan emosi. Kegagalan dalam memenuhi resolusi bisa dijadikan pelajaran bahwa segala hal yang ada di dunia tidak mungkin didapat dalam waktu singkat.
"Ternyata banyak proses yang harus dipelajari. Itu harus dilakukan dengan penerimaan diri bahwa pernah gagal," katanya.
Advertisement
Mengapa Resolusi Sering Gagal
Head of Center for Human Capital Development PPM Manajemen, Maharsi Anindyajati, menjelaskan, ada beberapa penyebab kenapa kita sering gagal mencapai resolusi. Salah satunya adalah illusory superiority.
Illusory superiority adalah sebuah bias kognitif yang ditunjukkan dengan melebih-lebihkan kemampuan diri dibanding orang lain. Jadi, kita sering berpikir bahwa kita akan berhasil melakukan resolusi tahun ini, meskipun gagal dalam mewujudkannya pada tahun sebelumnya. Dampaknya, kita luput melakukan evaluasi.
Selain itu, kita juga cenderung melihat penyebab kegagalan karena faktor eksternal. Misalnya gagal menurunkan berat badan karena harus melakukan jamuan makan dengan klien. Karena itu, sangat penting dalam membuat resolusi, kita melakukan evaluasi penyebab kegagalan tanpa menyalahkan faktor eksternal.
"Jadi awalnya itu kita merasa lebih mampu dari orang lain, kemudian kita tidak terlalu bisa mengevaluasi penyebab kegagalan. Dan sekalipun evaluasi, biasanya kita melemparkan kesalahan ke pihak eksternal. Pada akhirnya selalu saja dicari-cari alasan kenapa gagal," kata Maharsi kepada Liputan6.com.
Penyebab kegagalan lainnya, kata Maharsi, adalah terlalu banyak keinginan yang kita buat. Saat membuat resolusi, kita memiliki tekad kuat untuk dapat mewujudkannya. Area di otak kita yang banyak bertanggung jawab terkait dengan tekad adalah Pre Frontal Cortex (PFC) yang terletak persis di belakang dahi kita.
Bagian ini berfungsi untuk menjaga kita agar tetap fokus, mengelola ingatan jangka pendek, dan melakukan pemecahan masalah kompleks. Dengan tugasnya yang berat tersebut, tidak mengherankan jika PFC dapat luput menjaga kita untuk tetap melakukan upaya mewujudkan resolusi.
Oleh karena itu, disarankan untuk memilih resolusi paling penting dari sekian banyak keinginan. Hal ini akan lebih memudahkan kerja PFC. Menurut Maharsi, resolusi haruslah disusun secara SMART (specific, measureable, achievable, realistic, dan timely).
"Misalnya mau turun berat badan, harus spesifik mau turunnya berapa kilogram. Karena beda, mau turun 5kg dalam setahun dan sebulan, effort-nya beda. Jadi biasanya orang itu tidak detail, spesifik dan tidak jelas batas waktunya. Pada akhirnya resolusi cuma angan-angan belaka," ucap dia.
Affective Forecasting
Maharsi mengatakan, setelah menyusun resolusi, biasanya kita akan mengalami fenomena affective forecasting. Fenomena ini terjadi lantaran kita menggunakan apa yang kita rasakan saat ini untuk memprediksi perasaan kita di masa mendatang. Hanya dengan membuat resolusi tahun baru, kita merasa senang dan beranggapan bahwa rasa senang tersebut akan hadir di waktu-waktu mendatang.
Kondisi ini sering membuat kita terlena untuk mengambil tindakan dan cenderung menundanya. Karena tentunya saat bertindak, perasaan yang muncul tidak sesenang saat menyusun resolusinya.
"Jadi, saat bikin resolusi, kita senang membuatnya. Tapi ketika menjalankan, kebanyakan kita melihatnya sebagai beban. Dan begitu menjalankannya tidak fun lagi, kita langsung melepasnya," kata Maharsi.
Ia menjelaskan, prokrastinasi atau kecenderungan menunda untuk bertindak, merupakan salah satu penyebab kegagalan resolusi. Oleh karena itu, sangat penting untuk segera mengambil tindakan, terutama dalam kurun waktu dua bulan pertama.
Kegagalan dalam mewujudkan resolusi juga disebabkan karena kita tidak mampu membentuk kebiasaan baru. Kebiasaan terbentuk dari pengulangan perilaku. Pada dasarnya, kebiasaan adalah sebuah koneksi antar neuron di otak kita. Semakin kita sering menampilkan perilaku, semakin kuat koneksi antar neuron yang terjadi.
Permasalahannya, kita sering mempersepsikan perilaku terkait dengan resolusi kita sebagai hal yang kurang menyenangkan. Mencoba lebih sabar, mengubah pola hidup, atau mengurangi belanja konsumtif, lebih sering kita asosiasikan dengan hal yang memberatkan dan kurang menyenangkan.
Akibatnya, sulit bagi kita untuk mulai memunculkan perilaku tersebut, apalagi kemudian membentuk kebiasaan atas perilaku. Oleh karena itu, terlebih dahulu bentuk asosiasi yang positif antara perilaku dan hal yang menyenangkan, sehingga kita lebih antusias dalam menampilkan perilakunya.
"Jadi lawan terbesar kita pada saat mewujudkan resolusi adalah diri kita sendiri. Ketika kita bisa mengalahkan diri kita sendiri, muncul rasa percaya diri dan harga diri. Tapi begitu gagal, kita merasa tidak berharga. Kemudian menunda lagi sampai tahun depan," ujarnya.
Bagaimana Mencapai Resolusi
Pakar Neuroscience Bisnis, Lyra Puspa, menjelaskan, dalam sistem otak manusia bekerja, ada empat cara orang menjalani hidup demi mencapai tujuan.
Yang pertama adalah malas untuk bermimpi. Jadi, hidup orang tersebut penuh dengan pesimisme. Bahkan untuk membuat resolusi saja malas. Mereka sibuk dengan blaming dan complain. Orang-orang seperti ini selalu melihat ke masa lalu.
Kedua, adalah orang yang punya mimpi besar, tapi tidak ada tindakannya. Semua tidak dijalankan dan orang tersebut hanya sekadar mengkhayal.
Ketiga, orang yang punya rencana, tapi pencapaiannya biasa saja. Mereka hanya melakukan hal-hal standar. Dan yang keempat, adalah punya mimpi besar dan rencana bagus, tapi implementasinya putus di tengah jalan.
Â
Wanita lulusan Harvard Business School tersebut mengatakan, untuk mencapai tujuan resolusi, maka otak manusia harus berpikir ke depan, memiliki imajinasi, estimasi dan determinasi kuat.
Jadi ketika seseorang bermimpi soal resolusi, jangan langsung dikritik. Mimpi saja dulu, lalu segera ikuti dengan estimasi, yakni bikin rencana ke depan dengan resolusi kita. Berikutnya melatih determinasi untuk mencapai resolusi tersebut.
"Itu kalau mau punya resolusi yang strong dan mimpi besar yang terwujud di akhir tahun depan," kata Lyra kepada Liputan6.com.
Ia mengatakan, secara statistik, orang-orang yang sukses mencapai resolusi tidak banyak. Orang yang berhasil, biasanya terampil mengkombinasikan empat hal di atas.
"Jadi orang itu terlatih dan terampil. Jadi, ujung-ujungnya adalah latihan otak demi mencapai resolusi," dia menegaskan.
Advertisement