Liputan6.com, Jakarta - Yogyakarta, 1 Maret 1949. Pagi hari, pukul 06.00 WIB, saat sirene dibunyikan usai berakhirnya jam malam, Belanda dibuat kalang kabut dengan serangan besar-besaran yang dilakukan pasukan Tentara Nasional Indonesia (TNI) didukung seluruh elemen kekuatan Republik Indonesia. Alhasil, serangan umum yang masif itupun membuat TNI berhasil menduduki Yogyakarta, yang ketika itu berstatus sebagai ibukota negara, selama enam jam.
Sekitar 69 tahun peristiwa itu berlalu, Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Sri Sultan Hamengku Buwono X mengusulkan kepada Pemerintah untuk menetapkan 1 Maret sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara, pada 31 Oktober 2018.
Meskipun melalui proses panjang, akhirnya pengajuan disetujui oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi. Namun Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara menuai kritik dari sejumlah pihak.
Advertisement
Pasalnya, tidak ada nama mantan Presiden Soeharto dalam Keppres yang ditandatangani Jokowi pada 24 Februari 2022 itu. Padahal, Soeharto dinilai memiliki peranan penting dalam penyerangan. Hanya nama Soekarno, Mohammad Hatta, Jenderal Sudirman, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang dicantumkan.
Sebenarnya seperti apa peristiwa Serangan 1 Maret itu?
Baca Juga
Sejarawan Bonnie Triyana mengaku bingung karena seringkali peristiwa sejarah Indonesia menjadi bahan perdebatan. Untuk peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949, dia menilai saat itu komunikasi antarpimpinan Indonesia sangat baik dan didasarkan pada semangat bersatu tanpa ada saling ego komunikasi. Setiap tokoh memiliki perannya masing-masing tanpa ada sentralisasi salah satu pihak.
Bonnie menyebut terdapat sejumlah sumber sejarah yang dapat digunakan untuk melihat kembali garis besar peristiwa 73 tahun yang lalu itu. Seperti halnya dari buku Laporan Banaran oleh TB Simatupang. Saat itu Simatupang menjabat sebagai wakil kepala staf angkatan perang dan sedang bergerilya di wilayah Banaran.
Dalam catatannya disebutkan Kolonel Bambang Sugeng yang menjabat sebagai gubernur militer daerah Yogyakarta, Kedu, Banyumas, Pekalongan dan sebagian Semarang mendatanginya pada 28 Februari 1949. Bambang menyampaikan gagasannya untuk menyerang Yogyakarta yang dikuasai oleh Belanda.
Propaganda Belanda
Penyerangan itu dimaksudkan untuk kembali merebut ibu kota ke Indonesia. Belanda juga terus melakukan propaganda terhadap Indonesia yang saat itu presiden, wakil presiden, dan sejumlah menteri ditangkap serta diasingkan di luar Jawa. Karena hal itu, Indonesia dianggap hanya dikuasai sejumlah kelompok ekstremis sporadis.
"Menurut Jendral Simatupang serangan itu sangat disetujui karena akan memberikan dampak diplomasi," kata Bonnie kepada Liputan6.com.
Sejarawan lulusan Universitas Diponegoro itu juga menyebutkan terdapat sumber lain yang menyatakan gagasan serangan ke Yogyakarta datang dari Sultan Hamengku Buwono IX yang dieksekusi oleh TNI dan sejumlah elemen masyarakat. Kemudian berdasarkan film karya Usmar Ismail, "Enam Jam di Jogja" pada tahun 1951 atau dua tahun paska peristiwa terjadi.
Dalam film itu, menurut Bonnie juga digambarkan rencana serangan besar-besaran itu dibahas oleh sejumlah pihak. Bukan hanya satu tokoh sentral saja seperti yang diketahui masyarakat selama ini yaitu Soeharto. Ketika peristiwa berlangsung presiden kedua Indonesia itu menjabat sebagai komandan wehrkreise III dan bertanggungjawab untuk wilayah Yogyakarta.
Kerja Sama Semua Pihak
Soeharto juga masih memiliki atasan yaitu Kolonel Bambang Sugeng. Meski film fiksi, Bonnie menyebut karya Usmar itu dibuat saat para tokoh dan pimpinan negara, hingga saksi kejadian masih hidup.
"Dalam militer itu enggak ada bawahan punya ide. Yang memerintah, pasti hirarki dari atas. Di atas Soeharto ada siapa? Ada Bambang Sugeng. Disinilah yang membawahi tiga wehrkreise dan masing masing wehrkreise punya sub wehrkreise. Secara hirarki komando enggak mungkin anak buah di bawah itu punya ide menjalankan idenya sendiri. Ini bukan kerja kreatif konten kreator, bukan. Ini kan kerja militer, kerja berdasarkan hirarki komando," papar dia.
Sebagai pemimpin wehrkreise III atas Yogyakarta, Soeharto memiliki peran memimpin komando serangan. Namun di sisi lain kata Bonnie, ada sosok lainnya yang ikut serta berperan dalam aksi serangan tersebut. Seperti halnya sosok Gatot Subroto yang berperan menghalau bantuan Belanda untuk datang ke Yogyakarta.
Sejumlah wilayah sekitar luar Yogyakarta diamankan olehnya. Karena pergerakan bersama itu Bonnie menyebut Yogyakarta berhasil dikuasai Indonesia selama enam jam. Namun setelah terbitnya Keppres Nomor 2 Tahun 2022 sejumlah pihak mempertanyakan nama Soeharto yang tidak dimunculkan.
Bonnie mempertanyakan pula kenapa hanya satu nama saja yang diperdebatkan. Padahal banyak tokoh-tokoh lainnya yang memiliki peran dalam perebutan Yogyakarta waktu itu. Menurutnya ingatan masyarakat akan sentralisasi sosok Soeharto sudah terjadi sejak tahun 1970-an saat menjadi presiden. Hal itu dimulai dengan adanya film "Janur Kuning" yang memperlihatkan peran salah satu pihak.
"Ingatan kita yang dominan itu mengingat Soeharto yang identik dalam peristiwa itu sehingga ketika di Keppres tidak memunculkan Soeharto semua bertanya di mana Soeharto. Tapi tidak ada yang bertanya di mana Bambang Sugeng, di mana TB Simatupang, di mana Gatot Subroto, enggak ada. Cuma yang ditanya di mana Soeharto," ujar dia.
Bonnie menyebut, Keppres merupakan produk politik yang dikeluarkan oleh seorang presiden bukan historiografi produk dari para sejarawan. Dalam sebuah Keppres seharusnya yang menjadi sorotan adalah ketetapan yang dihasilkan meskipun konsiderannya menimbulkan kegaduhan. Dalam Keppres tersebut mengacu ke produk sejarawan yaitu naskah akademik.
Advertisement
Surat Perintah Penyerangan
Sejarawan Anhar Gonggong bercerita, usai kemerdekaan, persoalan Indonesia dan Belanda jadi pembahasan di PBB. Anhar menyebut berita soal itu pun didengar oleh Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang berujung pada peristiwa Serangan Umum 1 Maret.
Namun, belakangan mantan Presiden Soeharto juga mengeluarkan pernyataan yang sama ketika sudah jadi orang nomor satu di Indonesia. Anhar mengaku memiliki dua sumber sejarah yang tidak dapat dibantah dari peristiwa tersebut.
Pertama yaitu adanya dokumen surat perintah yang ada dalam arsip Nasional. Dalam lembaran itu berisikan perintah dari Kolonel Bambang Sugeng sebagai gubernur militer kepada Letkol Soeharto untuk mempersiapkan serangan besar-besaran ke Yogyakarta. Surat perintah tersebut ditandatangani oleh Bambang pada 25 Februari 1949.
Sumber kedua yaitu dari tulisan harian Staf Angkatan Perang Kolonel TB Simatupang. "Ada satu kalimat yang menarik di situ. Suatu ketika saya bertemu dengan Kolonel Bambang Sugeng di sebuah desa dan kolonel Bambang Sugeng menyarankan atau mempertanyakan kepada saya apakah tidak lebih baik kalau kita menyerang Yogyakarta agar supaya ketika Yogyakarta kembali kita tidak dianggap cuma dikasih, tapi kita merebut," kata Anhar kepada Liputan6.com.
Namun, kata dia hal itu juga masih dipertanyakan. Yakni usulan tersebut memang merupakan inisiatif dari Bambang Sugeng atau dari atasannya. Atasan Bambang Sugeng ada Komando Jawa Kolonel AH Nasution, lalu Panglima TNI Jenderal Sudirman, dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX sebagai menteri pertahanan saat itu. Kerumitan terjadi ketika Soeharto mengklaim sepihak dalam pelaksanaan serangan tersebut.
Sebagai komandan wehrkreise III yang bertanggungjawab di Yogyakarta, Soeharto memiliki kewenangan mengatur pertempuran di lapangan. "Faktanya adalah peranan besar Soeharto adalah saat penyerangan itu karena dia yang mengatur dan menentukan orang-orang yang akan melakukan penyerangan itu mau di mana dan sebagainya," ucapnya.
Aksi itu kata dia, menjadi kekaguman tersendiri oleh tentara Belanda Kolonel Van Langen. Sebab serangan umum besar-besaran berhasil menduduki Yogyakarta selama enam jam. Dalam peristiwa tersebut lanjut Anhar, memang harus dijelaskan secara baik peranan setiap tokoh yang terlibat tanpa harus adanya klaim sepihak.
"Jadi jangan ada klaim mengkalim gitu. Sejarahnya ada, sebagai sejarawan punya fakta penyerangan 1 Maret itu memang ada. Soeharto memang terlibat bahkan Sultan juga terlibat. Buktinya Soeharto datang ke istana dan seterusnya," Anhar menandaskan.
Dampak Secara Internasional
Selang beberapa hari dari penerbitan Keppres Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara, Pemerintah merilis ke publik mengenai naskah akademik yang menjadi dasar kajiannya. Salah satunya dari website Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri (Polpum Kemendagri). Dalam naskah akademik itu nama Soeharto disebut sebanyak 48 kali. Sedangkan nama Sri Sultan Hamengkubuwono IX disebut sebanyak 69 kali.
Naskah akademik tersebut memuat 138 halaman dan setidaknya ada 30 buku yang dijadikan rujukannya. Sejarawan dari Universitas Indonesia, Bondan Kanumoyoso menilai ada kemungkinan hal yang membuat nama Soeharto dipertanyakan. Seperti halnya adanya tafsiran peran besar Soeharto dalam Serangan 1 Maret 1949 selama bertahun-tahun menjadi fokus utama.
Serangan 1 Maret kata Bondan merupakan rangkaian momentum sejarah yang berkesinambungan sejak masa revolusi. Hal yang lumrah kata dia jika terdapat sejumlah pihak yang tidak setuju dengan tafsir yang disampaikan oleh pemerintah. Seperti halnya menganggap peran Soeharto yang dinilai tidak signifikan atau sebesar tokoh lainnya dalam peristiwa 73 tahun lalu itu.
"Peran Pak Harto (dalam serangan 1 Maret) memang ada, tapi mau sejauh mana kita menempatkan peran kesejarahan Pak Harto itu di dalam kontes persejarahan Indonesia. Itulah yang kemudian bisa berbeda dari satu pemerintahan ke pemerintahan yang lain," kata Bondan kepada Liputan6.com.
Menurut dia, pemaknaan kesejarahan itu selalu dinamis jika dikaitkan dengan versi yang disampaikan oleh Pemerintah. Contohnya saat pemerintahan orde baru yang menafsirkan peran Soeharto dalam Serangan 1 Maret sebagai bentuk perjuangan yang ditempuhnya. Saat itu Soeharto yang bertanggungjawab untuk wilayah Yogyakarta dengan pangkat Letkol.
Serangan itu kata Bondan untuk memberikan dampak diplomasi secara internasional yang menunjukkan keberadaan Indonesia melalui kekuatan militer saat itu TNI meskipun pimpinan negara tengah diasingkan di luar Jawa oleh Belanda. Setelah Ibu Kota saat itu Yogyakarta dikuasai Belanda Soekarno mengadakan rapat kabinet untuk tetap melanjutkan pemerintahan. Yaitu melalui Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittingi, Sumatera Barat.
Kemudian dari pihak militer Indonesia langsung menyiapkan rencana serangan besar-besaran ke Yogyakarta. Sebagai inisiator serangan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX juga melakukan koordinasi dengan pihak militer yang saat itu dipimpin oleh Jendral Sudirman.
"Dan salah satu komandan wehrkreise (daerah) yang ada di Yogyakarta saat itu adalah Letkol Soeharto. Sehingga karena itulah kemudian tentu saja dengan jenjang otoritas tadi di terapkan ya mungkin dari panglima yang tertinggi terus diturunkan hingga ke jenjang pelaksana di lapangan itu melibatkan Pak Harto," dia menjelaskan.
Advertisement
Pertemuan di Istana
Sejarawan dan pendiri Komunitas Historia Indonesia, Asep Kambali menyebut Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Hari Penegakan Kedaulatan Negara semacam upaya dari Pemerintah untuk meluruskan atau menyeimbangkan peran semua pihak terkait peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949. Sebab kata dia, ada distorsi pada naskah saat orde baru atau pemerintahan Presiden Soeharto yang menonjolkan perannya dalam serangan 73 tahun lalu itu.
Kata dia, serangan besar-besaran itu merupakan upaya yang dilakukan oleh semua pihak dari level bawah hingga paling tinggi. Inisiatif pertama pertempuran yaitu Menteri Pertahanan, Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat mendengarkan radio berita dunia. Lalu gagasan itu disampaikan kepada Jenderal Sudirman melalui seorang kurir. Saat itu Yogyakarta memang tengah dikuasai oleh Belanda.
Sementara itu Soekarno dan Hatta ditangkap dan diungsikan di Bangka paska agresi militer Belanda II. Sebelum penangkapan Soekarno telah melakukan rapat kabinet dan meminta pemerintahan sementara dipindah ke Bukittinggi, Sumatera Barat di bawah kepemimpinan Syafruddin Prawiranegara.
"Jadi secara logika yang pegang pemerintahan itu Syafrudin karena Bung Karno pada saat kejadian 1 Maret dan Bung Hatta diasingkan di Bangka. Otomatis kan pimpinannya saat itu Syafrudin Prawiranegara," kata Asep kepada Liputan6.com.
Menurut dia, gagasan dari Sri Sultan Hamengku Buwono IX yaitu memberikan efek kejut kepada Belanda. Sebab saat itu pemerintah Belanda melakukan propaganda dengan menyebut Indonesia sudah tidak ada. Setelah usulan sampai di Sudirman persiapan penyerangan dilakukan. Saat itu komando dari wilayah Yogyakarta yaitu Soeharto yang berpangkat Letkol.
Yogyakarta sebagai wehrkreise III di bawahi oleh Gubernur Militer Kolonel Bambang Sugeng. Sebagai atasannya Soeharto, Bambang juga dinilai memiliki peran besar dalam serangan besar-besaran tersebut. Awalnya, kata Asep, rencananya penyerangan dilakukan pada akhir Februari 1949.
"Secara kemiliteran peran Soeharto sangat besar karena beliau sendiri sudah melakukan setidaknya empat kali serangan dengan pasukan. Secara ilmu perang, militer, strategi dan beliau ini menguasai. Perannya sangat penting," ucapnya.
Sebelum penyerangan, kata Asep, usai mendapatkan rekomendasi untuk penyerangan, Soeharto bertemu dengan Sri Sultan Hamengku Buwono IX di Istana Yogyakarta. Yaitu untuk membicarakan mengenai teknis. Sebab Soeharto merupakan komandan yang akan bertugas.
"Jadi saya melihatnya ini (Keppres) politis dan tidak semestinya, tidak perlu dipolitisasi kalau sejarah. Meskipun banyak juga sejarah di putuskan melalui politik misal hari jadi Jakarta," ujarnya.
Infografis
Advertisement