Liputan6.com, Jakarta Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan rasa hormatnya kepada perempuan pada peringatan Hari Kartini. Menurut dia, Indonesia pada tiap zamannya terus memiliki penerus semangat dan perjuangan Kartini dengan versinya masing-masing.
"Setiap zaman di sepanjang sejarahnya, Indonesia selalu melahirkan perempuan-perempuan yang tangguh, berpengaruh, dan menjadi inspirasi," kata Jokowi seperti dikutip dari laman Instagramnya, Kamis (21/4/2022).
Baca Juga
Jokowi meyakini, kekinian setiap perempuan terus mengambil peranannya masing-masing untuk mendukung kemajuan bangsa. Tujuannya agar Indonesia bisa tetap kuat tegak berdiri.
Advertisement
"Mereka mengambil peran di semua palagan pengabdian yang membuat bangsa besar ini tetap tegak dan melangkah maju," ujar Jokowi.
Kartini adalah salah satu pahlawan nasional wanita yang paling berpengaruh di negara ini. Hari kelahirannya pada 21 April selalu diperingati sebagai titik balik perjuangan kelompok peremuan bangsa Indonesia melawan penjajah.
Penetapan 21 April sebagai Hari Kartini tertuang Keputusan Presiden Republik Indonesia No.108 Tahun 1964 yang ditandatangani pada tanggal 2 Mei 1964.
Ditetapkannya RA Kartini sebagai Pahlawan Nasional mengingat jasa-jasanya dalam mewujudkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Dia bertekad ingin memajukan pola pikir dan kesetaraan dalam hal mengenyam pendidikan bagi kaum wanita.
6 Sosok Perempuan Pejuang Feminis Indonesia
Gadis Arivia
Perempuan kelahiran New Delhi 1964 ini mengawali pendidikannya pada 1974 di British Embassy School, Hungaria. Gadis Arivia mendapat gelar S3 dari Universitas Indonesia, Jurusan Ilmu Filsafat, Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya pada 2002. Dirinya merupakan Direktur Eksekutif Jurnal Perempuan, yang merupakan jurnal pertama di Indonesia yang fokus pada feminisme dan berbagai persoalan perempuan. Lewat berbagai tulisannya, Gadis Arivia terus berjuang membicarakan persoalan perempuan, dan menjadikan hal tersebut sebagai persoalan pokok yang perlu diatasi. Selain menulis dan mengajar, dirinya juga pernah terlibat dalam pembuatan film dokumenter yang berjudul ‘Perempuan di Wilayah Konflik’ pada 2002.
Aquarini Priyatna Prabasmoro
Jika ada yang menganggap bahwa feminisme adalah gerakan yang ingin mendongkel dan melebihi kedudukan laki-laki, Aquarini adalah orang yang paling depan menentangnya. Bagi dirinya, feminisme adalah gerakan yang mengkritisi adanya ketimpangan dalam struktur sosial masyarakat. Mengambil studi Kajian Perempuan di Universitas Indonesia, dan sempat belajar Feminis Cultural Theory and Practise di Lancaster Uiversity, Inggris, dan program doktoral Feminist Cultural Studies di Monash University, Australia, membuat dirinya makin cemerlang sebagai perempuan yang terus mengkritisi persoalan kaumnya dari kacamata kebudayaan.
Advertisement
Toety Heraty
Toety Heraty
Akademisi yang lulus sebagai Doktor Filsafat dari Universitas Indonesia ini dianggap sebagai salah satu pemikir feminis generasi pertama di Indonesia. Dirinya banyak menulis pemikiran tentang perempuan, termasuk dalam berbagai karya fiksinya. Toety Heraty pernah menjabat sebagai Ketua Yayasan Mitra Budaya Indonesia, dan pada 1998, dirinya mendirikan Jurnal Perempuan. Sepanjang hidupnya Toety Heraty mengabdikan dirinya pada Suara Ibu Peduli, yaitu organisasi non-pemerintah yang memperjuangkan pemberdayaan perempuan.
Ayu Utami
Usai kemenangannya dalam sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta, nama Ayu Utami sebagai salah satu sastrawan muda perempuan makin mencuat. Berbagai karya fiksinya yang membicarakan persoalan perempuan menjadi tren dan menginspirasi penulis lainnya untuk tidak lagi tabu memandang persoalan perempuan. Ayu Utami adalah pejuang feminisme yang bersenjatakan kata-kata.
Ratna Sarumpaet
Terlepas dari kasus hoaks yang menjeratnya dalam Pilpres lalu, aktivis perempuan pro-demokrasi ini selalu vokal terhadap permasalahan yang menimpa kaumnya. Naskah drama ‘Marsinah: Nyanyian dari Bawah tanah’ menjadi karya pertamanya yang lahir dan terjun langsung mencari duduk perkara yang jelas tentang kasus pembunuhan Marsinah, seorang buruh yang ditembak kemaluannya hanya karena menuntut kenaikan upah Rp500 saja. Bagi Ratna Sarumpaet, satu naskah drama Marsinah, efeknya setara dengan 10 paper yang membicarakan tentang persoalan perempuan.
Kalis Mardiasih
Nama Kalis Mardiasih mencuat sebagai seorang feminis setelah cuitan dan pemikirannya di media sosial menghantam tepat ke jantung patriarkis. Dikenal sebagai penulis banyak buku, Kalis Mardiasih juga menjadi anggota Sekretariat Nasional Jaringan Nasional Gusdurian, kelompok fanatisme yang mencintai pemikiran Gusdur. Dalam berbagai kesempatan, perempuan asal Yogyakarta ini kerap menyuarakan isu-isu perempuan yang selalu teropresi dengan hal-hal yang bahkan mengatasnamakan agamanya sendiri. Dalam salah satu bukunya, Muslimah yang Diperdebatkan (2019), Kalis berani mendobrak kungkungan patriarki yang mengatasnamakan ajaran Islam. Karena Kalis meyakini bahwa Islam merupakan agama keadilan yang mempromosikan kesetaraan untuk semua manusia.
Advertisement