Menelisik Tantangan Media Mainstream di Era Medsos

Di era digitalisasi bermunculan media sosial, yang membuka peluang bagi siapapun memproduksi berbagai jenis konten. Saat yang sama, industri media mainstream mengalami disrupsi.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jun 2022, 14:36 WIB
Diterbitkan 12 Jun 2022, 14:27 WIB
Sudah Tahukan Kamu Netiquette Medsos?
Ilustrasi medsos (via: qureta.com)

Liputan6.com, Jakarta - Program Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana (Mikom UMB), konsentrasi Industri dan Bisnis Media menggelar webinar bertajuk Infighting, Tantangan Media Mainstream di Era Media Sosial'. Di era digitalisasi bermunculan medsos, yang membuka peluang bagi siapapun memproduksi berbagai jenis konten. Saat yang sama, industri media mainstream mengalami disrupsi. Fakta ini jelas menjadi tantangan serius bagi industri media mainstream baik secara politik maupun ekonomi. Strategi industri media mainstream menjawab tantangan tersebut mencuat menjadi pembahasan utama.

Dalam sambutan saat membuka secara resmi webinar yang digelar pada Sabtu (11/6), di Jakarta, itu, DR. Elly Yuliawati, M.Si,Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi UMB, mengatakan banyak korporasi media merasa perlu memasuki media sosial guna menjaga pasar, bahkan mengintervensi pasar. Maka, terjadi persaingan, mulai persaingan produk, sosial komunitas hingga masalah pribadi tampil di media sosial.

"Menurut saya, dalam sepuluh tahun terakhir, medsos bisa menjadi mitra, minilab komunitas, bahkan control of balance informasi bagi pemberitaan media mainstream. Tapi sepuluh tahun ke depan media mainstrean masih belum tergantikan media sosial," jelasnya dalam keterangan tertulis.

Elly menambahkan media pemberitaan merupakan bisnis yang luar biasa dan masih dipegang pemain lama seperti Kompas, Tempo, Republika. Pesan yang disampaikan bersifat serius terkait kemanusiaan, perdagangan, sospol, kesehatan dan teknologi. Sehingga, tambahnya, meskipun saat ini disebut era disrupsi, banyak media yang tumbang, khususnya cetak, tapi media mainsream seperti televisi dan radio masih menjadi rujukan utama suatu peristiwa.

Sedangkan media cetak beradaptasi dengan mengahdirkan fitur streaming secara online sebagai penguat berita. Bagi akademisi, pengalaman empirik tersebut, dapat diteliti dan diamati untuk mensarikan pengalaman tersebut menjadi suatu pengetahuan baru, guna membagikan kembali ke masyarakat di masa datang.

Dalam webinar yang dihadiri mahasiswa berbagai perguruan tinggi dan masyarakat umum itu, Ketua Program Studi Pascasarjana UMB, DR. Heri Budianto, M.Si.dalam sambutannya menyampaikan di era digital sekarang, media massa dan media sosial sangat penting.

"Tantangannya adalah fakta geliat medsos begitu kuat memasuki sendi-sendi kehidupan masyarakat, menerobos ruang dan waktu, yang juga menjadi tantangan bagi media mainstream," ungkapnya. Maka, melalui gelaran webinar, mahasiswa dan masyarakat bisa mendapat perspektif berbeda serta pengetahuan baru dari kalangan praktisi maupun akademisi yang komepeten di bidang media.

Pengguna Medsos Berkembang Pesat

Medsos
Ilustrasi Penggunaan Media Sosial (Credit: pexels.com/AndreaPiacquadio)

Tampil sebagai pembicara pertama, Yan Kurniawan, Analis senior Drone Emprit, menyebutkan pengguna media sosial di Indonesia mengalami pertumbuhan pesat, sekitar 12,6 persen, dari 170 juta pengguna pada Januari 2021 menjadi 192 juta pada Januari 2022. Platform media sosial yang tumbuh pesat adalah TikTok dan Twitter. TikTok pada 2018-2109 belum muncul dalam sepuluh besar media sosial populer di Indonesia. Sekarang ini ada di urutan keempat. "Artinya, pertumbuhannya signifikan di Indonesia," ujar Yan. Sedangkan Twitter, pada tahun 2018-2019, pertumbuhan Twitter naik hampir 100 persen.

Kenaikan tinggi TikTok dan Twitter tersebut menurut Yan biasanya terjadi pada tahun politik, seperti pada tahun 2019. Pada 2024 mendatang kembali memasuki tahun politik, dan diperkirakan platform media sosial terutama Twitter diperkirakan kembali meninggi. Twitter digunakan untuk membangun opini, kontra narasi politik negatif campaign. Penggunaan media sosial menurutnya semakin signifikan dalam membangun pesan, reputasi, branding, atau meghancurkan reputasi.

Mennyinggung posisi media mainstream di era media sosial, Yan menjelaskan media mainstream perlu membangun engagement publik di media sosial. Konten yang diminati tergantung apa yang sedang menjadi perbincangan populer. Dalam konteks itu, media online atau media mainstream diharapkan memiliki strategi yang baik, dengan memperhatikan isu-isu menarik di publik. Publiklah yang menentukan media mana yang dia konsumsi. Media sosial bisa digunakan untuk melihat isu apa yang sedang menjadi perbincangan publik," paparnya.

Tantangannya, lanjut Yan, posisi media mainstream dituntut tidak hanya menyajikan konten untuk legitimasi, tapi bisa juga menjadi pionir sekaligus legitimasi informasi yang sedang menjadi perhatian masyarakat. Jika informasi terlebih dulu muncul di media sosial, kemungkinan besar engagement publik media mainstream menjadi rendah. "Tapi media mainstream bisa menjadi legitimasi bagi informasi di media sosial. Ke depan, media mainstream diharapkan menjadi pionir legitimasi ini. Media mainstream berperan penting karena tingkat hoax tidak dapat dihindari, masih cukup tinggi," paparnya.

Penting pula bagi media mainstream menguatkan literasi media pada masyarakat karena media sosial menghadirkan risiko hoax yang tinggi. "Media mainstream harus berupaya mengambil inisiatif untuk menjadi pionir informasi yang valid karena banyak hoaks," tegas Yan.

TV Masih Pilihan Utama

Smart TV 2022 dari Samsung bisa Video Call hinggabBermain game favorit Titi Kamal
Ilustrasi TV (credit: Unsplash/Glen)

Sementara, Gilang Iskandar, Sekjen Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), mengungkapkan televisi masih menjadi pilihan utama konsumen media meski bermunculan platform media digital (new media/media baru). Televisi masih menjadi pilihan karena free to air. Selain itu televisi juga masih menjadi pilihan utama pengiklan.

Meskipun begitu Gilang menjelaskan televisi menghadapi tantangan konvergensi, digitalisasi, globalisasi dan perubahan demografi. "Salah satu tantangan terkait konvergensi (telekomunikasi, penyiaran, dan internet) adalah belum adanya regulasi yang fair," ungkapnya.

Televisi tidak lagi hanya bersaing dengan sesama televisi, tapi melebar dengan media baru (Netflix, Youtube). "Ini ada unfair playing field," sambungnya. Televisi free to air diatur sangat ketat. Sedangkan media baru nyaris tidak diatur, padahal berada di sektor yang sama, mencari iklan. Terkait regulasi, Gilang menjelaskan terdapat dua pemikiran, yaitu memasukkan regulasi media baru dalam UU Penyiaran atau dimasukkan dalam UU ITE.

Regulasi itulah yang diperjuangkan ATVSI termasuk melalui parlemen (Komisi I DPR) sehingga terbentuk level playing field. Regulasi, menurut Gilang juga dibutuhkan terkait pemain-pemain platform global seperti Netflix dan Youtube yang mendapat animo besar dari publik. "Seluruh negara di Eropa sedang merencanakan pengaturan (legislasi) untuk pemain global tersebut," ujarnya.

Tantangan lain bagi industri televisi adalah digitalisasi, yang menuntut televisi meningkatkan kualitas penerimaan siaran dengan optimalisasi konten lokal, serta bermigrasi ke teknologi digital. Selain itu juga perubahan demografi, berupa proyeksi meningkatnya penduduk urban, yang menuntut kebutuhan konten yang berbeda untuk setiap segmen pasar. Tuntutan konten kini berorientasi pada lifesyle, life assistant, serta kemudahan mengakses.

Secara umum, Gilang menekankan upaya melahirkan media yang sehat menjadi tanggung jawab seluruh stakeholders termasuk konsumen media. Jadi penting meningkatkan literasi media, mulai dari lingkungan terkecil.

Pergeseran Pola Produksi Konten

Youtube - Vania
Ilustrasi Youtube/unsplash

Tampil sebagai pembicara terkait media siber, Wenseslaus Manggut, Ketua Umum Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI)/CCO KLY, menjelaskan terjadi pergeseran pola produksi konten. Dulu, industri media konvensional mengendalikan produksi, konten, sampai distribusinya. Sehingga mudah memasukkan nilai-nilai verifikasi dan kode etik. Sekarang, hampir 80 persen tidak lagi dikendalikan industri media tapi dikendalikan media sosial (platform). Maka tidak mudah lagi menerapkan rumusan kode etik dan sebagainya.

"Rumusan verifikasi dan kode etik, harus berbagi ruang dengan rumusan teknologi. Industri media harus kompromi," tegas Wenseslaus.

Posisi platform (media baru) yang awalnya hanya transmisi, berkembang menjadi distribusi dalam bentuk algoritma, yang mempengaruhi industri media. Algoritma mempengaruhi industri media sehingga cenderung menjadi bisnis (monetisasi).

"Pertanyaannya, apakah media masih netral?" Maka, menurut Wenseslaus, terjadi kompromi jurnalisme dengan platform distribusi (media baru), di mana newsroom perlu memahami pola pikir platform digital (Google, Facebook). Terkait inilah junalisme data dianjurkan.

Lebih lanjut, Wenseslaus memaparkan saat ini industri media sedang menyesuaikan diri dengan pola pikir platform. "Di satu sisi, ini baik. Tapi di sisi lain, itu adalah 'kecelakaan' karena kepentingan publik dipertaruhkan," ujarnya.

Platform distribusi tersebut mendistribusikan apa saja, baik konten media yang bekerja secara prudent maupun konten media yang asal-asalan. Platform itu melakukan fungsi distribusi dengan algoritma, dan algoritma terjadi berdasarkan viralisasi.

"Akibatnya, sulit menemukan berita viral itu merupakan berita yang mengandung kepentingan publik tinggi," jelas Wenseslaus.

Lebih detail, Wenseslaus berpandangan sekarang perlu mencari keseimbangan baru antara industri media dengan platform distribusi. "Intinya, menjawab pertanyaan bagaimana jurnalisme kembali ke jalannya? Pertanyaan ini juga menjadi problem di banyak negara," sambungnya.

Diterangkannya bagaimana iklan muncul di informasi dengan muatan hate speech tinggi, hingga akhirnya hate speech menjadi produk yang laku di jual. "Sama sekali tidak ada hubungannya dengan politik dan ideologi. Semata-mata karena kebencian menjadi barang dagangan yang laku dijual."

Lantaran itulah, menurut Wenseslaus, regulasi tetap diperlukan untuk melindungi publik sekaligus melindungi medianya. Argumennya sederhana, kata Wens, kebebasan dan ekosistem media yang sekarang, menurunkan kualitas berpolitik, menurunkan demokrasi, menurunkan keadaban di ruang publik, karena medianya juga terseret ke dalam ekosistem seperti itu. Regulasi dibutuhkan supaya medianya setia dengan tugasnya mengabdi pada kepentingan publik, bekerja sesuai standar dan taat pada kode etik jurnalistik.

"Intinya, bagaimana ekosistem media menghargai kualitas kepentingan publik, bukan click bait. Harus konvergensi regulasi. Ekosistem harus memberi insentif untuk media dengan konten berkualitas," tandasnya.

Selain itu, untuk menjawab tantangan yang ada, penting juga upaya menyadarkan media agar patuh pada fungsinya sebagai pengabdi, serta diingatkan soal etika. Bersamaan dengan itu penting pula memperhatikan ekosistem media yang mungkin memunculkan gangguan. Ekosistem media harus disehatkan.

Kolaborasi

Selanjutnya, sebagai pembicara pamungkas, DR Ahmad Mulyana, M.Si, dosen Magister Ilmu Komunikasi UMB merangkum seluruh pandangan di atas dari perspektif akademisi. Menurut Mulyana, tantangan-tantangan media mainstream di era media sosial masih dapat dikelola dengan mengutamakan kolaborasi.

"Kolaborasi tersebut berangkat dari pemahaman terhadap realitas baru, cyberspace," ujarnya. Cyberspace merupakan sebuah realitas alamiah dengan konvergensi yang menggantikan realitas nyata. Secara aktivitas, meskipun dikatakan sebagai dunia maya, tapi itulah realitas sesungguhnya. Realitas ini kemudian berkembang dan berpengaruh pada tersingkirnya media yang sudah mapan. Cyberspace dijelaskannya memunculkan cyberculture sehingga terjadi pergeseran budaya, dari budaya nyata menjadi budaya berbasis cyberspace, memunculkan kebiasaan baru, yang menggeser peta khalayak yang menjadi acuan bagi media mainstream.

Khalayak mengikuti bentukan konvergensi dengan banyak peran yang dimainkan. "Inilah penantang baru bagi media mainstream, content creator," ungkapnya. Dijelaskannya content creator melakukan inovasi-inovasi, opini-opini, bahkan memunculkan konten antietika yang dibalut dengan inovasi sehingga menjadi suatu yang menarik. Semua, sambung Mulyana, tergambar dalam media baru yang mengandalkan konten. Media mainstream menjadi gagap karena content creator muncul dari manapun. Hal-hal kecil menjadi menarik sebagai konsekuensi dari cyberculture.

Dalam kondisi itu, Mulyana berpandangan, berdasar perspektif teori Uses and Gratification, kebutuhan khalayak berbeda dan karenanya khalayak aktif mencari kebutuhan informasi yang juga berbeda. "Dalam konteks inilah, diperlukan kolaborasi. Media mainstream bisa melakukan diversifikasi produk konten dalam merespons perubahan pola konsumsi media, melalui media sosial. Sebaliknya, media sosial menjalankan fungsi verifikator dari informasi dan berita melalui media mainstream, untuk memenuhi kebutuhan informasi yang mendalam bagi khalayak," papar Mulyana.

Secara keseluruhan, dengan konsep kolaborasi dan fokus pada literasi, diharapkan masing-masing platform mampu mengkonstruksi konten yang baik, yang bisa menciptakan kebutuhan akan informasi yang baik. "Jadi, tidak cenderung fokus ke logika pasar. Kolaborasi perlu dikembangkan antar industri media, untuk meningkatkan kebutuhan akan informasi kebaikan," tandas Mulyana.

Infografis Cek Fakta
Infografis Cek Fakta: 6 Tips Cara Identifikasi Hoaks dan Disinformasi di Medsos
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya