Kejagung Tetapkan 3 Tersangka Kasus Korupsi Proyek Satelit Kemhan

Edy merinci, perbuatan para tersangka yang melakukan korupsi satelit Kemhan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara mencapai Rp 500 miliar.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 15 Jun 2022, 14:44 WIB
Diterbitkan 15 Jun 2022, 14:44 WIB
Ilustrasi Kejaksaan Agung RI (Kejagung)
Gedung Kejaksaan Agung RI (Kejagung). (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Liputan6.com, Jakarta - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan tiga tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemhan) tahun 2012 sampai dengan 2021.

Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung Edy Imran menyampaikan, ketiga tersangka korupsi proyek satelit Kemenhan adalah Laksamana Muda (Purn) AP selaku Mantan Direktur Jenderal Kekuatan Pertahanan Kemhan periode Desember 2013-Agustus 2016, SCW selaku Direktur Utama PT Dini Nusa Kesuma, dan AW selaku Komisaris Utama PT Dini Nusa Kesuma.

"Tim Penyidik Koneksitas telah melakukan pemeriksaan terhadap 47 orang saksi yang terdiri dari saksi TNI dan Purnawirawan berjumlah 18 orang, saksi sipil berjumlah 29 orang dan permintaan keterangan ahli berjumlah dua orang," tutur Edy di Kejagung, Jakarta Selatan, Rabu (15/6/2022).

Edy merinci, perbuatan para tersangka yang melakukan korupsi satelit Kemhan telah mengakibatkan kerugian keuangan negara, antara lain pembayaran sewa satelit dan putusan arbitrase sebesar Rp480.324.374.442, pembayaran konsultan sebesar Rp20.255.408.347, sehingga total keseluruhan berjumlah Rp500.579.782.789.

"Yang telah dilakukan audit oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan atau BPKP," jelas dia.

Lebih lanjut, kata Edy, Tim Penyidik Koneksitas juga secara intens melakukan koordinasi dengan BPKP untuk menentukan unsur-unsur yang memenuhi terjadinya dugaan tindak pidana korupsi dalam perkara proyek pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur (BT) pada Kemhan tahun 2012 sampai dengan 2021.

"Hasil audit BPKP telah dilakukan sebanyak tiga kali, yaitu audit internal, audit atas tujuan tertentu, dan audit investigasi di mana dari hasil pemeriksaan keterangan para saksi secara maraton serta alat bukti lainnya, baik berupa dokumen, surat, rekaman video, rekaman suara serta alat bukti lainnya, terdapat unsur-unsur yang kuat dan meyakinkan patut diduga bahwa telah terjadi kerugian negara dalam proses pengadaan dan sewa Satelit Slot Orbit 123 derajat Bujur Timur tersebut," Edy menandaskan.

Sebelumnya, Kejagung menyatakan negara mengalami kerugian Rp 500 miliar lebih terkait dugaan perkara proyek pembuat dan penandatangan kontrak satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) Kemhan pada 2015-2016.

"Jadi indikasi kerugian negara yang kita temukan hasil dari diskusi dengan rekan-rekan auditor, ini kita perkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar lebih dan ada potensi. Karena kita sedang digugat di arbitrase sebesar 20 juta USD," kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Febrie Ardiansyah saat konpers, Jumat 14 Januari 2022.

 

 

 

Persidangan Arbitrase

Ilustrasi Kejaksaan Agung RI (Kejagung).
Gedung Kejaksaan Agung RI (Kejagung). (Liputan6.com/Muhammad Radityo Priyasmoro)

Ia menjelaskan, jumlah Rp 500 miliar dari proyek satelit Kemhan tersebut diperuntukkan untuk membayar biaya sewa Avanti sebesar Rp 491 miliar, kemudian untuk biaya konsultan sebesar Rp18,5 miliar. Selanjutnya untuk biaya Arbitrase Navajo senilai Rp 4,7 miliar.

"Nah ini yang masih kita sebut potensi ya, karena ini masih berlangsung dan kita melihat bahwa timbulnya kerugian atau pun potensi sebagaimana tadi yang disampaikan di persidangan Arbitrase ini," jelasnya.

"Karena memang ada kejahatan yang kualifikasinya ketika ekspose dilakukan, ini masuk ke dalam kualifikasi tindak pidana korupsi," sambungnya.

Menko Polhukam Mahfud Md meminta agar pembuat dan penandatangan kontrak proyek satelit komunikasi pertahanan (Satkomhan) Kementerian Pertahanan (Kemhan) pada 2015-2016 bertanggung jawab. Hal itu karena belum ada kewenangan negara di dalam APBN dalam pengadaan satelit.

"Yang bertanggung jawab yang membuat kontrak itu karena belum ada kewenangan dari negara di dalam APBN bahwa harus melakukan pengadaan satelit dengan cara-cara itu," katanya dalam konferensi pers, Kamis (13/1/2022).

Mahfud juga mengakui telah memberitahu Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait adanya dugaan pelanggaran hukum tersebut. Jokowi pun meminta kepada Mahfud untuk menuntaskan kasus tersebut.

"Presiden memerintahkan saya untuk meneruskan dan menuntaskan kasus ini," kata Mahfud.

Tidak hanya itu, dia juga sudah sempat membahas terkait hal itu bersama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dan Jaksa Agung ST Burhanuddin. Kemudian Mahfud pun berkoordinasi dengan Kejaksaan Agung untuk menyelidiki pihak-pihak yang bertanggung jawab terkait hal itu.

"Karena kalau ada sesuatu pelanggaran hukum dari sebuah kontrak kalau kita harus membayar itu kita harus lawan," ungkapnya.

Minta Kejagung Serius

Menko Polhukam Mahfud MD
Menko Polhukam Mahfud MD

Mahfud meminta Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk menindaklanjuti masalah tersebut secara serius. Sebab, bukan tidak mungkin empat perusahaan lain, Airbus, Detente, Hogan Lovels, dan Telesat juga mengajukan gugatan yang sama.

"Karena itu pemerintah akan meminta Kejaksaan Agung menerus apa yang telah dilakukan. Kami mohon Kejaksaan Agung mempercepat. Daripada tagihan-tagihan kita tidak punya alat. Maka kita segera konfirmasi maka yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung sudah benar di dalam seluruh proses pemeriksaan," bebernya.

Sebab kata dia tidak menutup kemungkinan negara berpotensi ditagih lagi oleh Airbus, Detente, Hogan Lovels, dan Telesat. Mahfud pun berharap agar segera diselesaikan sehingga negara tidak perlu membayar kontrak yang belum jelas asalnya.

"Sehingga banyak sekali ini beban kita kalau ini tidak segera diselesaikan," pungkasnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya