KedaiKOPI: Kriminalisasi dan Egoisme Elite Parpol Bisa Bendung Anies dan Tokoh Non-Partai di Pilpres 2024

Bagi Hendri, penjegalan itu bisa dan mungkin terjadi karena potensi kemenangan tokoh yang muncul dari bawah atau didorong rakyat (bottom up) dan tidak memiliki “darah biru” elite parpol. Dia mencontohkan fenomena dukungan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju di Pilpres 2024.

oleh Liputan6.com diperbarui 12 Jul 2022, 15:37 WIB
Diterbitkan 12 Jul 2022, 13:10 WIB
Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo
Ridwan Kamil, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo saat ngopi bareng (Dok. Instagram/@ridwankamil/https://www.instagram.com/p/BpzBgOTnmVz/Komarudin)

Liputan6.com, Jakarta Jalan menuju perhelatan pemilihan presiden (pilpres) 2024 bagi Anies Baswedan dan sejumlah tokoh nasional yang bukan kader partai politik lainnya masih belum sepenuhnya membentang mulus. Masalah tiket politik dari parpol sebagai syarat wajib bertarung di pilpres masih menjadi kendala. 

Begitu pula kendala resistensi dari penguasa, yang bisa berwujud kriminalisasi yang dicari-cari. Potensi “penjegalan” itu diungkapkan oleh pengamat politik Lembaga KedaiKOPI, Hendri Satrio.

Menurut Hendri, penguasa dan elite parpol bisa dan punya kemampuan untuk mencegah tokoh-tokoh yang didorong rakyat bawah agar tidak bisa maju berkontestasi di pilpres. 

"Sangat bisa dan mungkin saja. Misalnya melalui aturan harus dari partai politik, ya dijegal dari parpol supaya tidak dapat tiket politik. Yang kedua bisa dari jalur atau persoalan hukum, misalnya dikriminalisasi,” ungkap Hendri dalam keterangannya Selasa (12/7/2022).

Bagi Hendri, penjegalan itu bisa dan mungkin terjadi karena potensi kemenangan tokoh yang muncul dari bawah atau didorong rakyat (bottom up) dan tidak memiliki darah biru elite parpol. Dia mencontohkan fenomena dukungan kepada Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan untuk maju di Pilpres 2024.

"Kenapa ada potensi Pak Anies dicegah? Karena bisa saja dari pandangan penguasa atau kalangan yang tidak suka dengan langkah Anies Baswedan untuk maju ke pilpres 2024, dia dianggap paling berpeluang untuk memenangkan kontestasi di 2024. Caranya dicegah untuk mendapatkan tiket dari parpol, dan atau dikriminalisasi supaya gagal maju bertarung di 2024,” jelas Dosen Paramadina ini.

Hendri juga menyoroti jalan mulus para tokoh non-kader parpol sangat tergantung dari kedewasaan serta ego dari partai politik, misalnya ketua umum atau elit partai, apakah akan memberikan kesempatan bagi tokoh lain yang bukan berasal dari parpol untuk menjadi pemimpin negeri.

"Mungkin saja mereka bersepakat untuk tidak mendorong atau tidak mau memberikan tiket bagi tokoh-tokoh non-parpol yang muncul dari rakyat seperti Anies Baswedan, Ridwan Kamil, Erick Thohir, Khofifah Indarparawangsa atau tokoh-tokoh kuda hitam lainnya seperti Susi Pudjiastuti, Andika Perkasa dan lainnya. Itu jika memang berpikir egois dan tidak mengindahkan suara atau aspirasi rakyat, mereka pasti tidak akan memberikan “tiket politik” itu,” tegasnya.

Konstelasi politik saat ini, sambung Hendri, mirip dengan fenomena pada era 2004 dan 2014, saat Mantan Menko Polhukam Kabinet Gotong Royong Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Walikota Solo Joko Widodo (Jokowi) bertarung di pilpres saat itu.

"Fenomena pencapresan atau munculnya tokoh dari dorongan rakyat maju ke pilpres dalam perhelatan kontestasi pemilihan presiden itu sudah terjadi dalam sejarah Indonesia. SBY di 2003 dan Jokowi di 2013, keduanya muncul sebagai tokoh rakyat dan bukan elite parpol, yang kemudian bertarung di pilpres 2004 dan 2014, lantas akhirnya keduanya menang sebagai presiden hingga dua periode,” papar Hendri.

 

Contoh Era SBY dan Megawati

PHOTO: Momen Keakraban Presiden Jokowi, Megawati dan SBY
Presiden ke 6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono berjabat tangan dengan Presiden ke 5 RI, Megawati Soekarnoputri jelang Upacara HUT Kemerdakaan RI ke 72 di Istana Merdeka, Kamis (17/8). (Liputan6.com/via Anung Anindhito)

Jadi, lanjut Hendri, SBY dan Jokowi adalah tokoh rakyat yang dipersilakan oleh penguasa sebagai calon presiden dan berkompetisi di pilpres. Keduanya punya tiga kesamaan terkait saat kemunculannya, yakni tokoh rakyat, bukan elite partai dan diberikan izin atau dipersilakan penguasa saat itu untuk maju berkontestasi di pilpres. 

Mengapa penguasa memberikan izin? Hendri berpendapat, era pencapresan SBY di pilpres 2004 misalnya, karena Presiden Megawati melihat dan memahami betul bahwa demokrasi dan suara rakyat harus dijaga. Begitu juga era Presiden SBY, yang mempersilakan dan tidak menjegal Jokowi untuk maju ke pilpres 2014.

"Keduanya sebagai guru bangsa punya kedewasaan politik, demokratis dan legowo terkait kepemimpinan nasional,” tuturnya.

Hendri memprediksi sejarah seperti itu sangat mungkin akan berulang kembali pada kontestasi politik 2024, jika penguasa dan partai politik berorientasi pada kepentingan bangsa.

Menurutnya, Jokowi bisa mengikuti dan mengulang sejarah yang pernah dialaminya. Demikian juga bagi para elite parpol, sepatutnya tak segan memberikan tiket politik kepada tokoh-tokoh non-parpol yang didukung rakyat dan memang punya kapasitas untuk memimpin negeri.

"Itu akan menjadi bukti bahwa pemerintah maupun elit parpol menjunjung tinggi demokrasi dan membuang egoisme politik demi memberikan peluang seluas-luasnya kepada tokoh-tokoh yang muncul dan didukung oleh rakyat tersebut.” pungkas Hendri.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya