Komnas Sebut Ada Indikasi Pelanggaran HAM dalam Kasus Kematian Brigadir J

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyebut jika pihaknya telah mencermati sedari awal kasus kematian Brigadir J yang penuh kejanggalan.

oleh Liputan6.com diperbarui 11 Agu 2022, 13:42 WIB
Diterbitkan 11 Agu 2022, 13:37 WIB
Komisioner Komnas HAM berikan tanggapan terkait kasus pembunuhan Brigadir J
Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam memberikan keterangan terkait kasus dugaan pembunuhan Brigadir Nofriyansah Yoshua Hutabarat atau Brigadir J, di kantornya, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (11/8/2022). Choirul Anam menyatakan ada indikasi pelanggaran HAM dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat atau Brigadir J. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Unsur pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berupa dugaan perbuatan menghalangi proses hukum (obstruction of justice) dalam pengusutan kasus kematian Brigadir J alias Nofriansyah Yosua Hutabarat semakin kuat. Demikian hal itu disampaikan Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam.

"Salah satunya adalah adanya indikasi kuat obstruction of justice. Obstruction of justice itu dalam konteks hak asasi manusia itu erat kaitannya dengan proses hukum, apakah ada hambatan atau tidak," kata Anam kepada wartawan, Kamis (11/8/2022).

Menurut Anam, dalam dalam konteks obstruction of justice ini sangat terasa dengan adanya upaya menghalang -halangi proses pengusutan kasus. Di mana dari situ, nantinya akan menjadi dasar dalam mengungkap adanya pelanggaran HAM.

"Kasus ini itu terkait dengan bagaimana TKP berubah dan sebagainya. Makanya kami bilang terkait obstruction of justice, indikasi kuat memang terjadi obstruction of justice," ujar Anam.

"Obstruction of justice itu diskusinya, ini pelanggaran hak asasi manusia atau tidak. Indikasinya sangat kuat ke sana," tambah dia.

Pada kesempatan terpisah, Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik menyebut jika pihaknya telah mencermati sedari awal kasus kematian Brigadir J yang penuh kejanggalan.

"Misalnya peristiwa terjadi pada tanggal 8 (Juli 2022), tetapi kenapa baru dipublikasi tanggal 10, kemudian ada beberapa informasi yang di awal itu simpang siur satu dan lainnya," kata Taufan kepada wartawan, dikutip Kamis (11/8/2022).

Atas hal tersebut, Taufan mengatakan jika kejanggalan tersebutlah menjadi dorongan bagi pemerintah melalui Menko Polhukam Mahfud MD, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo, termasuk Komnas HAM sebagaimana Undang-Undang 39 Tahun 1999 mengungkap kasus ini.

 

 

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

Indikasi Lain

Sehingga Komnas HAM sebagai lembaga negara, kata Taufan, bertugas dalam kasus kematian Brigadir J untuk memastikan konstruksi peristiwa yang sebenarnya, termasuk memastikan penyelidikan kasus yang seadil-adilnya

"Maka Komnas HAM ingin memastikan bahwa konstruksi peristiwa, apa yang terjadi terhadap Saudara Brigadir Yosua ini harus benar-benar didasarkan kepada satu penyelidikan yang fair. Penyelidikan yang berdasarkan fakta-fakta," sebutnya.

Pasalnya, Taufah menyebut jika selama proses penyelidikan kasus kematian Brigadir J yang berlangsung di Komnas HAM ditemukan adanya dugaan obstruction of justice atau percobaan tindak pidana menghalangi proses hukum.

"Dengan langkah-langkah yang cukup sistematis, berupa penghilangan barang bukti misalnya, pengubahan-pengubahan terhadap TKP, pembuatan skenario atau pengkondisian para saksi-saksi yang kemudian memberikan keterangan- keterangan yang tidak seperti fakta sesungguhnya," beber Taufan

"Dan dari situ kami mencoba untuk mengangkat beberapa hal yang kami anggap serius," tambah dia.

Alhasil, lanjut Taufan, dugaan adanya obstruction of justice pun telah terindikasi dengan sikap dari Kapolri melalui Timsus dan Inspektorat Khusus (Insus) melakukan pembersihan terhadap 15 personel yang dimutasi, termasuk Irjen Pol Ferdy Sambo.

"Puluhan anggota Kepolisian bahkan beberapa di antaranya Perwira Tinggi. Yang memang secara bersama-sama terlibat di dalam tindakan-tindakan yang diduga sebagai tindakan obstruction of justice itu," ujar Taufan

 

 

 

* BACA BERITA TERKINI LAINNYA DI GOOGLE NEWS

Bisa Dipidana

Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengungkapkan, polisi yang memberikan keterangan salah ke publik saat awal kasus penembakan Brigadir J bisa dikenakan pidana. Sebab, penjelasan yang salah menunjukkan polisi tidak profesional dan pelanggaran etik.

"Itu pelanggaran etik tadi, tidak profesional, pelanggaran etik dan diperiksa oleh Irsus. Itu tidak boleh, memberikan keterangan yang belum jelas, terjadi tembak-menembak sehingga yang satu meninggal, itu alat buktinya tidak ditunjukkan," kata Mahfud saat jumpa pers, pada Selasa (9/8) malam.

Menurutnya, bila ada kesengajaan menyembunyikan fakta dalam kasus Brigadir J maka polisi itu bisa dipidana. Kata dia, antara pelanggaran disiplin dan pidana berhimpitan.

"Sudah pasti itu tidak profesional, nanti kalau ketemu bahwa oh ini ada kesengajaan menyembunyikan fakta, itu bisa dipidana. Jadi, berhimpit antara disiplin dan pidana," jelasnya.

Meski begitu, Mahfud mengapresiasi kinerja Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang serius dalam mengungkap kasus ini. Khususnya, telah menetapkan tersangka Irjen Ferdy Sambo sebagai otak pembunuhan.

"Proficiat untuk Pak Listyo Sigit dan timsus, para jenderal bintang tiga, dua, satu, dan seterusnya ke bawah. Penetapan mantan Kadiv Propam Irjen FS sebagai tersangka beserta satu orang bintara dan satu orang tamtama serta satu orang sipil dan pengusutan lebih lanjut terhadap 28 personel lainnya adalah bukti bahwa Polri senantiasa menjalankan amanah dan kepercayaan masyarakat," tutur Mahfud.

Reporter:Bachtiarudin Alam/Merdeka.com

Infografis Menguak Misteri Motif Pembunuhan Brigadir J
Infografis Menguak Misteri Motif Pembunuhan Brigadir J (Liputan6.com/Triyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya