Soal Putusan MK Larang Koruptor Nyaleg, Komisi II DPR: KPU Harus Tunduk pada Keputusan

Junimarti menyebut KPU tidak perlu ragu untuk menerapkan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 karena tidak perlu tafsir atas putusan tersebut.

oleh Liputan6.com diperbarui 02 Des 2022, 08:40 WIB
Diterbitkan 02 Des 2022, 08:40 WIB
Bantu Petani Dairi Hadapi Inflasi, Junimart Girsang Salurkan 20 Ton Bibit Bawang dan Pupuk NPK
Wakil Ketua Komisi II DPR RI, Junimart Girsang.

Liputan6.com, Jakarta - Wakil Ketua Komisi II DPR RI Junimart Girsang mengemukakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak perlu berkonsultasi terkait putusan Mahkamah Konstitusi soal mantan narapidana kasus korupsi baru dapat mencalonkan diri sebagai anggota legislatif setelah lima tahun bebas dari penjara.

"KPU tidak perlu berkonsultasi dengan Komisi II DPR terkait dengan perintah keputusan pengadilan yang sudah berkekuatan hukum tetap dan tidak perlu tafsir," kata Junimart di Jakarta, Kamis (1/12/2022).

Menurut ia, KPU tidak perlu ragu untuk menerapkan putusan MK Nomor 87/PUU-XX/2022 karena tidak perlu tafsir atas putusan tersebut.

Junimart mengatakan KPU harus segera mencantumkan ketetapan atas putusan MK tersebut dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU). Putusan MK itu merupakan bagian dari undang-undang yang mengikat.

"KPU jangan ragu, wajib dan harus tunduk kepada keputusan pengadilan yang sudah inkracht van gewijsde. KPU tidak boleh membuat regulasi yang bertentangan dengan undang-undang karena keputusan pengadilan adalah undang-undang yang mengikat bagi siapa saja," ujarnya. Dilansir dari Antara.

Junimart menyatakan setuju dengan putusan MK tersebut selama mengikuti amar putusan pengadilan umum yang sudah inkracht yang mensyaratkan seorang narapidana dicabut hak politiknya tidak boleh mencalonkan dan atau dicalonkan dalam proses jabatan politik.

Ia menilai dalam penerapan putusan tersebut harus ada penyesuaian bagi para mantan napi yang status hak politiknya sudah dicabut pengadilan umum, seperti pengadilan tindak pidana korupsi (tipikor).

Hal itu agar tidak terjadi tumpang tindih yang menciptakan ketidakadilan apabila seorang mantan napi sebelumnya dicabut hak politiknya di bawah lima tahun oleh pengadilan.

"Tentunya tidak boleh karena putusan ini terjadi tumpang tindih. Sebagai contoh, jika seseorang oleh pengadilan umum dicabut hak politiknya hanya tiga tahun, tentunya putusan MK ini tidak dapat diterapkan kepada orang tersebut karena MK tidak bisa mengoreksi putusan pengadilan. Hal ini harus dipahami," jelasnya.

Uji Materi UU Pemilu

Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK)
Ilustrasi Mahkamah Konstitusi (MK) (Liputan6/Putu Merta)

Sebelumnya pada Rabu 30 November 2022, MK memutuskan untuk mengabulkan sebagian permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diajukan oleh karyawan swasta Leonardo Siahaan.

Permohonan yang dikabulkan tersebut terkait dengan larangan bagi mantan narapidana kasus korupsi atau koruptor untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif selama lima tahun sejak ia dibebaskan atau keluar dari penjara.

Menurut MK, norma Pasal 240 ayat (1) huruf g Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang mengatur hal tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Adapun Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu menyebutkan bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah warga negara Indonesia dan harus memenuhi beberapa persyaratan, di antaranya tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana.

Infografis Jadwal dan Usulan Tahapan Pemilu Serentak 2024
Infografis Jadwal dan Usulan Tahapan Pemilu Serentak 2024 (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya