Hukuman Koruptor Makin Ringan di KUHP Baru, Ketua KPK: Kita Punya UU Sendiri

RKUHP yang baru disahkan DPR menjadi UU ini tetap menuai polemik. Salah satunya soal aturan hukuman bagi koruptor yang lebih ringan.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Des 2022, 11:56 WIB
Diterbitkan 10 Des 2022, 11:51 WIB
Ketua KPK, Firli Bahuri
Ketua KPK, Firli Bahuri saat menyampaikan rilis penahanan Bupati Mimika Eltinus Omaleng sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan Gereja Kingmi Mile 32 di Mimika, Papua di Gedung KPK Jakarta, Kamis (8/9/2022). Eltinus Omaleng ditangkap dan dijemput paksa tim penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) lantaran tak kooperatif terhadap proses hukum. (Liputan6.com/Helmi Fithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri menyatakan, pihaknya tidak terganggu dengan hukuman koruptor yang lebih ringan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru disahkan DPR.

"Kita punya undang-undang tersendiri dan tidak tergantung undang-undang pidana," kata Firli Bahuri kepada wartawan Sabtu (10/12).

Karena, kata dia, KPK dalam bekerja tidak mengacu pada Pasal 603 KUHP tentang pengurangan masa tahanan bagi koruptor. KPK memiliki pegangan sendiri dalam menjalankan tugasnya sesuai dengan tugas dan wewenang dalam memberantas korupsi.

"Karena disebutkan dalam pasal 14 bahwa KPK menjalankan sesuai tugas pokok dan wewenang dalam memberantas korupsi. Jadi itu tidak akan terjadi benturan karena ada azas yang kita kenal dengan ketentuan khusus tentu akan bisa mengalahkan ketentuan umum," kata ia.

Lebih lanjut, Firli menjelaskan ketentuan yang dimaksud adalah KPK mengedepankan azas lex specialis derogat generalis (ketentuan khusus bisa mengalahkan ketentuan umum).

"Jadi itu tidak akan terjadi benturan karena ada azas yang kita kenal dengan lex specialis derogat generalis, jadi ketentuan khusus itu akan bisa mengalahkan ketentuan umum. Jadi itu tidak berpengaruh pada kita," ujarnya.

 

Hukuman Koruptor Jadi Lebih Ringan

Aksi Teatrikal Depan Gedung Mahkamah Agung
Sejumlah massa aksi dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menggelar aksi teatrikal klinik sunat putusan koruptor di depan Gedung Mahkamah Agung, Jakarta, Jumat (29/3). Dalam aksinya mereka menuntut Mahkamah Agung untuk menolak setiap permohonan PK yang diajukan oleh terpidana korupsi. (Liputan6.com

Sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) menjadi UU. Pengesahan UU KUHP anyar ini menuai kontroversi.

Salah satunya, lebih ringannya hukuman bagi para koruptor seperti dalam KUHP Pasal 603 yang menuangkan hukuman paling rendah dua dan maksimal 20 tahun penjara. Lalu, denda paling sedikit kategori II atau Rp10 juta yang dulunya Rp200 juta dan paling banyak Rp2 miliar.

Pidana penjara tersebut lebih rendah, ketimbang dari ketentuan pidana penjara dalam kasus pemberantasan tindak pidana korupsi, yang tertuang dalam undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) no 2 tahun 2001.

Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa koruptor bisa mendapat pidana penjara paling singkat selama empat tahun dan paling lama 20 tahun.

 

Reporter: Bachtiarudin Alam

Merdeka.com

Infografis Pasal-Pasal Krusial di UU KUHP Baru Jadi Sorotan. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Pasal-Pasal Krusial di UU KUHP Baru Jadi Sorotan. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya