Liputan6.com, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyampaikan sikap atas temuan awal hasil pemantauan sidang Pengadilan Militer III/19 Jayapura terkait kasus pembunuhan dan mutilasi empat warga yang melibatkan oknum anggota TNI di Kabupaten Mimika.Â
"Komnas HAM menyampaikan sikap sebagai berikut. Komnas HAM RI mendesak agar persidangan dilakukan secara independen dan imparsial, sesuai prinsip persidangan yang adil (fair trial) menurut UU HAM dan konvenan hak sipil dan politik," kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (21/1/2023) dilansir Antara.Â
Advertisement
Baca Juga
Kemudian, Komnas HAM RI meminta Panglima TNI untuk melakukan pengawasan terhadap proses peradilan dan penegakan hukum agar berjalan efektif dan akuntabel.Â
Komnas HAM juga meminta Mahkamah Agung RI untuk pengawasan terhadap perangkat peradilan yang menyidangkan terdakwa anggota militer maupun sipil agar proses peradilan dan penegakan hukumnya berjalan efektif dan akuntabel.Â
Berikutnya, Komnas HAM RI meminta Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) untuk memberikan perlindungan serta pemulihan bagi keluarga para korban. Komnas HAM RI juga mengimbau masyarakat untuk mendukung kelancaran proses persidangan agar proses persidangan dapat berjalan dengan baik.Â
"Komnas HAM RI mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan informasi dan keterangan yang dibutuhkan dalam proses pemantauan ini," kata Atnike.Â
Â
Hasil Pantauan Komnas HAM RI atas Proses Persidangan
Pada 2 November 2022, Komnas HAM RI telah menyelesaikan laporan akhir pemantauan dan penyelidikan atas peristiwa pembunuhan dan mutilasi empat warga yang melibatkan oknum anggota Brigif R/20/IJK/3 di Kabupaten Mimika.
Komnas HAM juga telah menyampaikan rekomendasi kepada TNI terkait tindak lanjut penanganan peristiwa tersebut. Sebagai upaya tindak lanjut rekomendasi terkait penegakan hukum, Komnas HAM RI melakukan pemantauan tahapan proses persidangan.Â
Hal itu dilakukan sebagai bentuk tanggung jawab Komnas HAM RI untuk memastikan seluruh proses persidangan berjalan dengan baik dan dapat memenuhi rasa keadilan, utamanya bagi keluarga korban.Â
Komnas HAM RI melalui Kantor Perwakilan Provinsi Papua terus melakukan serangkaian proses pemantauan persidangan tersebut yang digelar dalam tiga persidangan terpisah di PM III-19 Jayapura pada 10, 19 dan 20 Januari 2023.Â
Temuan dan analisis fakta antara lain sebagai berikut, sidang dapat dihadiri dan diikuti oleh keluarga korban dan masyarakat secara langsung dengan pengamanan dari Kepolisian dan TNI. Namun, proses persidangan tidak berjalan dengan efektif karena minimnya kesiapan perangkat pengadilan.Â
Pemeriksaan saksi pelaku sipil yang dihadirkan melalui daring menjadi tidak efektif karena permasalahan jaringan internet. Hal itu berbeda dengan saksi dari keluarga korban yang bersedia hadir dari Kabupaten Mimika ke Jayapura guna memberikan kesaksian nya secara langsung. Â
Hasil pemantauan lainnya, saat pemeriksaan barang bukti dilakukan secara daring menjadi tidak efektifkarena permasalahan jaringan internet. Ruang sidang juga dinilai kurang proporsional untuk mengakomodasi jumlah keluarga korban dan masyarakat yang ingin mengikuti proses persidangan.Â
Â
Advertisement
Selanjutnya...
Proses peradilan mengabaikan aksesibilitas bagi keluarga untuk mengikuti seluruh tahapan persidangan. Terpisahnya proses peradilan menurut Atnike sangat tidak efisien secara waktu dan biaya khususnya bagi keluarga yang diperiksa sebagai saksi.
"Proses pertanggungjawaban pidana tidak maksimal karena proses hukum para terdakwa dari anggota militer dan sipil diadili secara terpisah. Saksi pelaku sipil juga tidak dapat dihadirkan secara langsung dalam persidangan terdakwa anggota TNI," jelas Atnike.Â
Selain itu, tersangka sipil hingga saat ini belum menjalani proses persidangan melalui pengadilan umum. Berdasarkan informasi terakhir, berkas perkara masih di pihak Kejaksaan Negeri Timika.
Keluarga korban tidak puas dengan konstruksi dakwaan Oditurat Militer Tinggi Makassar terhadap terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki, karena menempatkan Pasal 480 KUHP sebagai dakwaan premier, Pasal 365 KUHP sebagai dakwaan pertama subsidair, sedangkan Pasal 340 KUHP sebagai dakwaan pertama lebih subsidair.Â
Hal itu berimplikasi pada putusan yang sangat ringan bagi pelaku sehingga kasus serupa dimungkinkan dapat terulang kembali.Â
Keluarga dan pengacara korban menilai proses persidangan terdakwa Mayor Helmanto Fransiskus Daki terkesan dilakukan maraton, padahal proses tahapan persidangan harus memberikan waktu yang cukup agar seluruh fakta dapat diuji dengan detail.Â
"Keluarga korban menyampaikan bahwa mereka memerlukan jaminan perlindungan dan pemulihan dari LPSK selama proses persidangan kasus ini berlangsung," ujar Atnike.Â