Liputan6.com, Jakarta Polisi akan minta pandangan ahli Kementerian Perdagangan terkait dengan modus penipuan yang diduga dilakukan oleh perusahaan PT Bingoby Digital Kreasi dalam mengelola aplikasi e-commerce Jombingo.
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak menerangkan, skema ponzi dalam investasi aplikasi tersebut perlu pendalaman.
"Terkait skema ponzi masih perlu pendalaman dan koordinasi lebih lanjut dengan ahli dari Kemendag," kata Ade dalam tertulis, Rabu (19/7/2023).
Advertisement
Ade Safri menerangkan, korban yang ditangani Penyidik Ditreskrimsus mulai mengikuti aplikasi jombingo sekitar bulan mei 2022. Ketika itu, korban pernah mendapatkan keuntungan, namun dana korban yang masih ada pada aplikasi jombingo tidak dapat dicairkan.
"Karena aplikasi jombingo sudah tidak dapat diakses lagi," ujar dia.
Ada 2 Laporan Terkait Aplikasi Jombingo
Polda Metro Jaya saat ini sedang menangani dua laporan polisi (lp) terkait aplikasi Jombingo. Tercatat, dari dua laporan polisi yang ditangani nilai kerugian mencapai Rp42,1 juta.
Adapun, korban atas nama N membuat laporan ke Polres Metro Depok, pada 26 Juni 2023. Sementara itu, korban lainnya atas nama EN membuat laporan ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya.
Terkait hal ini, Ade Safri menerangkan, LP di Polrestro Depok akan ditarik ke Ditreskrimsus Polda Metro Jaya supaya efektif dalam menangani kasus tersebut.
"Ditangani menjadi satu dengan LP yang ditangani penyidik pada Subdit II Fismondev," jelas Safri.
Advertisement
Polisi Dalami Dugaan Penipuan Aplikasi Jombingo, Waspadai Modusnya
Polisi kini tengah mendalami modus penipuan yang menimpa sejumlah pengguna aplikasi e-commerce Jombingo. Sejauh ini, dua orang korban telah membuat laporan polisi.
Ade Safri menerangkan, pihaknya telah memeriksa pelapor sebagai saksi. Menurut keterangan mereka, awalnya para korban mendapatkan email dari zhangdandan33@gmail.com berisi penawaran untuk bergabung dalam aplikasi yang bernama Jombingo. Ini, kata dia, aplikasi jual-beli dengan sistem komisi.
"Korban tidak mengenal pengirim email yang diduga dari pihak aplikasi. Korban tertarik mengunduh dan instal aplikasi," ujar dia.
Ade Safri menerangkan, pengguna aplikasi diharuskan top up sejumlah dana untuk memulai transaksi pembelian barang yang ditawarkan pada aplikasi. Korban pun menyetorkan uang secara bertahap senilai Rp 20 juta.
"Korban terlebih dahulu diminta melakukan top up," ujar dia.