Liputan6.com, Jakarta - Wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali bergulir. Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) membuka wacana amandemen UUD 1945 terkait penundaan Pemilihan Umum (Pemilu) di masa darurat.
Wakil Ketua MPR RI, Arsul Sani menyebut, pihaknya akan mengusulkan wacana tersebut pada Hari Konstitusi 18 Agustus 2023 mendatang. Namun dia menegaskan bahwa usulan tersebut tidak bertujuan untuk menunda Pemilu 2024.
Amandemen ini akan digunakan untuk pemilu selanjutnya guna mengantisipasi apabila terjadi kondisi kedaruratan seperti pandemi atau lainnya yang memaksa harus menunda penyelenggaraan pemilihan umum.
Advertisement
Terkait hal ini, Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi dari Universitas Muslim Indonesia (UMI) Fahri Bachmid berpendapat bahwa rencana amandemen konstitusi UUD 1945 adalah sesuatu yang normal dan lazim.
"Tidak ada yang luar biasa, itu seperti "academic discourse" yang harus dilihat secara objektif," ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Kamis (10/8/2023).
Dia melihat bahwa memang ada persoalan besar dan riskan yang belum sepenuhnya mendapat jalan keluar dari konstitusi saat ini, jika keadaan yang demikian itu terjadi. Misalnya secara akademik, dalam UUD 1945 telah dengan tegas mengatur bahwa masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah lima tahun.
Pengaturan yang sebangun dengan itu adalah masa jabatan anggota DPR, DPD, DPRD, Menteri adalah lima tahun. Karena itu, ketentuan Pasal 22E UUD 1945 tegas mengatur bahwa Pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
"Maka menjadi pertanyaan teoritik adalah jika sekiranya terjadi sebuah keadaan-keadaan yang membuat kesinambungan kepemimpinan bangsa dan negara terhenti baik karena adanya bencana alam yang dahsyat, adanya pandemi, adanya pemberontakan dan kerusuhan atau krisis keuangan, maka keadaan-keadaan demikian mungkin saja dapat diatasi oleh presiden dan wakil presiden dengan menyatakan keadaan bahaya sebagaimana diatur dalam Pasal 12 UUD 1945. Presiden masih dapat mengatasi hal tersebut," kata Fahri.
Namun demikian, bagaimana jika terjadi situasi di mana presiden dan wakil presiden, berikut triumvirat (Menteri Dalam Negeri, Menteri Luar Negeri, dan Menteri Pertahanan) beserta jajaran yang lain lumpuh atau berhalangan tetap secara serentak, sehingga situasi bahaya itu sama sekali tidak bisa diatasi oleh organ-organ konstitusional yang ada.
"Atau keadaan darurat negara sehingga pelaksanaan Pemilu tidak dapat diselenggarakan sebagaimana mestinya, tepat pada waktunya sesuai perintah konstitusi. Maka secara hukum tentunya tidak ada presiden dan atau wakil presiden yang terpilih sebagai sebuah produk Pemilu," sambungnya.
Jika hal itu terjadi, siapa yang punya kewajiban hukum untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut? Fahri menyatakan bahwa lembaga MPR yang diisi oleh anggota DPR dan DPD pilihan rakyat lah yang harus dikedepankan untuk mengatasi keadaan-keadaan bahaya tersebut.
"Saya berpendapat bahwa UUD 1945 harus dapat memberikan jalan keluar secara konstitusional untuk mengatasi kebuntuan ketatanegaraan "constitutional deadlock" jika situasi seperti itu benar benar terjadi," ujarnya.
"Sesuai amanat Pasal 1 ayat (2) UUD, sebagai representasi dari prinsip daulat rakyat, maka MPR dapat diatribusikan dengan kewenangan serta kewajiban hukum untuk mengambil keputusan dalam rangka mengatasi keadaan bahaya tersebut," sambung Fahri.
Meski begitu, dia mengingatkan bahwa dalam melakukan amendemen UUD 1945 dibutuhkan sikap kehati-hatian yang tinggi, karena sangat potensial materi perubahan itu dapat membuka kotak pendora, serta menyasar kemana-mana. Bukan tidak mungkin, proses amandemen menjadi tidak fokus dan justru dapat menyasar pada isu-isu yang telah selesai.
"Misalnya isu masa jabatan presiden yang sebenarnya tidak perlu lagi dibicarakan. Sesungguhnya yang paling esensial dalam amandemen ini adalah: terkait dengan isu organ konstitusioanl seperti MPR diatribusikan dengan kewenangan mengatasi keadaan darurat negara; kemudian penguatan DPD RI; serta perlu diadopsinya pengaturan terkait PPHN (Pokok-Pokok Haluan Negara) sebagai dokumen otoritatif arah berbangsa dan bernegara. Selebihnya harus dibatasi secara tegas," kata Fahri.
Lebih lanjut, Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi dan Pemerintahan Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia (Pakem FH UMI) ini mengatakan bahwa, sebaiknya amandemen UUD 1945 tidak dilakukan oleh anggota MPR yang ada saat ini, tetapi oleh MPR hasil Pemilu 2024.
"Agar tingkat legitimasi politiknya lebih tinggi, serta proses perubahan dilakukan dalam keadaan tenang serta kondusif, agar pandangan serta pikiran-pikiran konstitusionalisme benar-benar muncul tanpa ada agenda jangka pendek, serta pragmatis. Amandemen harus ideal dengan memandang bahwa kebutuhan perubahan (amandemen) UUD 1945 bertujuan untuk bernegara dalam jangka waktu yang panjang," ucap Fahri Bachmid memungkasi.
Tak Ada Urgensinya
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti menilai, amandemen UUD 1945 terkait penundaan Pemilu di masa darurat yang diwacanakan MPR tidak memiliki urgensi. Sebab, kata dia, amandemen atau perubahan konstitusi itu harus berangkat dari keinginan seluruh rakyat Indonesia.
"Bukan apa yang diinginkan oleh elite. Saya khawatir kalau sekedar elite mulai pengin merapih-rapihkan Undang-Undang Dasar, ini terkesan seperti mau merapihkan supaya ada payung hukum, maksudnya gitu kan. Tapi jadi banyak efek samping yang juga bisa timbul, misalnya kalau ada pasal-pasal lain yang diusulkan pada saat bersamaan," ujarnya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (10/8/2023).
"Jadi kerannya jangan dibuka sekarang, karena menurut saya dalam situasi seperti sekarang tidak baik secara politik untuk mengubah konstitusi, karena banyak sekali agenda yang mungkin akan ikut ke situ. Jadi seperti kotak pandora," sambungnya.
Sebagai kontrak sosial, kata dia, perubahan UUD 1945 tidak bisa hanya ditentukan oleh elite-elite politik tanpa keinginan dari masyarakat. Menurut dia, amandemen UUD biasanya dilakukan ketika terjadi situasi politik tertentu.
"Seperti tahun 1998 dahulu kita menginginkan perubahan besar-besaran, jadi ada amandemen 1999- 2002. Sekarang bisa dibilang enggak ada persitiwa politik besar-besaran yang membutuhkan perubahan ketatanegaraan di level UUD. Jadi sebenarnya enggak perlu, enggak ada urgensinya," kata Bivitri.
Apalagi amandemen penundaan pemilu ini bukan untuk 2024, menurut Bivitri, perubahan konstitusi yang akan dilakukan ini hanyalah agenda seremonial MPR saja.
"Berarti cuman buat rapih-rapih UUD. Nah itu yang buat saya lebih banyak unsur politiknya ketimbang ketatanegaraan. Buat saya itu cenderung seperti mengada-adakan seremony politik bagi MPR. Itu sebenarnya yang saya lihat ketimbang urgensi yang riil sekali dari segi ketatangeraan untuk diubah," ucapnya.
"Kalau dibilang suatu saat akan ada kedaruratan sehingga menunda Pemilu, nanti kita selesaikan jalan konstitusinya tetap ada. Ada peraturan hukum ketatangeraan darurat, misalnya Pasal 12 UUD," kata Bivitri.
Jika suatu saat nanti amandemen UUD dilakukan untuk menunda Pemilu di masa darurat, dia khawatir justru akan menjadi alat baru penguasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Apalagi jika kategori daruratnya didefinisikan secara rinci.
"Saya khawatir kalau daruratnya didefiniskan nanti bisa dibuat-buat daruratnya, contohnya aja Perppu Cipta Kerja. Itu menurut saya enggak ada daruratnya. Riilnya kita lihat sampai sekarang kita hidup relatif tenang. Tapi kan argumennya yang dipakai waktu itu inflasi tinggi, bahaya nanti ada kondisi darurat ekonomi."
"Jadi nanti secara politik kalau didefinisikan duluan bisa dibuat-buat kondisi daruratnya, sehingga malah bisa terjadi dengan lebih mudah untuk ada penundaan Pemilu. Bahayanya justru di situ, karena sekali kita menunda Pemilu itu bisa merusak demokrasi," ucap Bivitri.
Terkait kapan waktu yang tepat mengamandemen UUD 1945 untuk penundaan Pemilu di masa darurat, dia kembali mengingatkan bahwa selama tidak berasal dari keinginan masyarakat, sebaiknya tidak perlu dilakukan. Sekalipun amandemen UUD 45 dilakukan oleh MPR periode berikutnya, apalagi dilakukan oleh MPR saat ini yang masa jabatannya kurang lebih tinggal setahun lagi.
"Ini MPR kan selesai masa jabatannya Oktober 2024, dalam masa transisi seperti ini harusnya enggak boleh ada perubahan ketatanegaraan yang sifatnya mendasar seperti di konstitusi. Jadi enggak bisa lah 2 tahun ini. Tapi bahkan kalau nanti mau tahun 2025, 2026 pun menurut saya kalau enggak ada keinginan yang luar biasa dari warga, bukan dari elite ya tapi warga, maka sebaiknya enggak usah ada amandemen dulu lah," kata Bivitri Susanti menandaskan.
Advertisement
Definisi Darurat Harus Jelas
Pengamat Politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno mengingatkan bahwa isu penundaan pemilu sangat sensitif untuk saat ini, sebab tengah bergulir tahapan Pemilu 2024.
"Jika ada konferensi pernyataan sikap atau usulan-usulan soal amandemen UUD 1945 harus dipastikan dan disampaikan kepada publik, bahwa usulan amandemen soal penundaan pemilu itu tidak ada kaitannya dengan penundaan Pemilu 2024," katanya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis (10/8/2023).
"Jadi statementnya itu harus ada disclaimer di awal bahwa isu penundaan pemilu tidak ada kaitannya dengan 2024, tapi hanya sebatas usul soal bagaimana penundaan pemilu itu ada kaitannya dengan kondisi darurat," sambungnya.
Adi menyambut baik wacana tersebut agar Indonesia memiliki payung hukum ketika menghadapi situasi darurat. Apalagi Indonesia juga pernah mengalami masa pandemi Covid-19 selama kurang lebih 3 tahun terakhir ini yang berdampak pada banyak aspek, mulai dari kesehatan, ekonomi, hingga sosial, dan politik.
"Sebenarnya dalam UU Pilkada kita ada sedikit celah yang men-drive bahwa pemilu ataupun pilkada itu bisa ditunda, jika terjadi misalnya kerusuhan berskala massal, jika terjadi huru hara berskala nasional, ataupun bencana secara nasional, maka semua tahapan dalam pemilu termasuk pilkada itu bisa ditunda. Tapi bunyi peraturannya ini tidak terlampau eksplisit. Oleh karena itu ketika ada usulan amandemen UUD terkait dengan penundaan pemilu saya kira bagus," ucap dia.
Berbeda dengan Bivitri, Adi justru ingin frasa kedaruratan yang dijadikan dasar penundaan pemilu ini didefinisikan secara eksplisit. Seperti ketika ada pandemi mematikan yang menyerang hampir seluruh dunia.
"Seperti yang terjadi pada kita dan seluruh dunia beberapa tahun lalu. Jadi yang disebut darurat itu karena ada penyakit yang sifatnya pandemik, mematikan, dan terjadi di seluruh dunia termasuk di Indonesia," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia (PPI) ini.
Selain itu, contoh lain definisi kedaruratan lain yang bisa digunakan adalah terjadinya bencana alam secara masif di hampir seluruh wilayah Indonesia. Kemudian terjadinya kerusuhan huru hara dan kegentingan berskala nasional yang tidak bisa dihentikan.
"Ketiga definisi ini salah satu contoh yang disebut dengan kegentingan itu apa. Termasuk kalau mau didefinisikan soal bagaimana kegentingan itu ditafsirkan, misalnya negara ini enggak punya uang, ennggak punya anggaran untuk melaksanakan pemilu," ucap Adi.
"Oleh karena itu, ini usulan yang sangat bagus, cukup rasional supaya kalau ada penundaan pemilu itu ada payung hukumnya. Tetapi ingat yang disebut kedaruratan itu harus dijelaskan makna eksplisit darurat itu apa, kriterianya apa, dan seperti apa. Saya kira di situ konteksnya," kata Adi Prayitno memungkasi.
Amandemen UUD Dibahas Setelah Pemilu 2024
Sebelumnya diberitakan, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) membuka wacana amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) terkait penundaan pemilu di masa darurat.
Wakil Ketua MPR Arsul Sani menyebut, pihaknya akan mengusulkan wacana tersebut pada Hari konstitusi 18 Agustus mendatang.
Meski demikian, ia mengklaim usulan itu tidak bertujuan untuk menunda Pemilu 2024 melainkan untuk Pemilu selanjutnya, untuk antisipasi apabila ada kegiatan pandemi atau darurat sehingga butuh penundaan pemilu.
"Kalau kita itu mengacu pada UUD sekarang, katakanlah akibat kedaruratan itu pemilu enggak mungkin dilaksanakan. Nah, kalau kita mengacu pada UUD sekarang ini kan enggak ada aturannya," kata Arsul di kompleks parlemen, dikutip Rabu (9/8/2023).
Menurut Arsul, payung hukum terkait penundaan pemilu tidak bisa hanya lewat undang-undang. Oleh karena itu, amandemen UUD untuk mengatur hal itu perlu menjadi pembahasan.
"Kalau kemudian katakanlah hanya diubah dengan undang-undang kan tidak bisa. Kalau kemudian tetap itu dilaksanakan, maka rakyat boleh membangkang," kata dia.
Politikus PPP itu berharap, wacana tersebut tak menimbulkan kecurigaan. Sebab ia memastikan Pemilu 2024 tetap harus diselenggarakan tepat waktu sesuai jadwal
"Tetapi supaya orang tidak curiga jangan-jangan mau menunda pemilu lagi, makanya kita tegaskan dulu di sidang tahunan, (bahwa) posisi MPR itu pemilu 14 Februari harus on time," pungkasnya.
Di tempat terpisah, Ketua MPR Bambang Soesatyo alias Bamsoet tak menampik bahwa pihaknya telah membahas soal rencana amandemen UUD 1945. Namun dia menegaskan bahwa perubahan konstitusi tersebut tidak dilakukan sekarang.
"Yang pasti kemarin kita bicara soal pentingnya PPHN untuk perjalanan bangsa ini ke depan. Pertanyaan kemudian apakah pembahasan ini kita lakukan sebelum pemilu atau setelah pemilu. Kita sepakat kemarin untuk membahas pokok-pokok haluan negara yang tinggal satu langkah lagi, yaitu pembentukan panitia adhoc di sidang paripurna MPR, kita tunda selesai pemilu," ujarnya saat ditemui di Istana Kepresidenan Jakarta, Rabu (9/8/2023) kemarin.
Politikus Golkar ini menjelaskan, bahwa MPR tengah mempersiapkan langkah-langkah konstitusional yang harus diantisipasi, tidak hanya untuk periode ini tapi juga untuk periode yang akan datang. Menurut Ketua MPR, UUD 1945 hasil amandemen keempat tersebut perlu penyempurnaan disesuaikan dengan tuntutan zaman.
"Misalnya kita belum ada di sana mencantumkan udara, angkasa dikuasai sepenuhnya oleh negara dan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Kita hanya mencatat di Pasal 33 itu sumber daya alam yang terkandung di bumi seluas-luasnya dikuasai oleh negara. Tapi angkasa, udara sementara kemajuan teknologi sudah sampai sana, belum masuk dalam konstitusi kita," kata Bamsoet.
Dia kembali menegaskan bahwa partai politik yang ada di parlemen sepakat bahwa amandemen UUD 1945 akan dibahas nanti setelah Pemilu 2024.
"Untuk sementara kesepakatan adalah kita bahas nanti setelah pemilu. Karena kalau sekarang takutnya, bukan apa, dicurigai untuk perpanjang masa jabatan presiden, untuk apa lagi? penundaan pemilu dan seterusnya. Jadi malah menurut kami kontraproduktif, sehingga kita berkesimpulan kita bahas nanti pasca-pemilu," ucap Bambang Soesatyo menandaskan.
Hal yang sama juga disampaikan Wakil Ketua MPR Ahmad Muzani usai bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Kepresidenan, Rabu kemarin. Dia menegaskan bahwa pertemuan para pimpinan MPR dengan Jokowi di Istana sama sekali tidak membahas amandemen, apalagi penundaan pemilu.
"Tadi dengan Pak Jokowi enggak dibicarakan sama sekali soal amandemen. Enggak," ujar Muzani, Rabu kemarin.
Politikus senior Partai Gerindra ini memastikan bahwa amandemen UUD 1945 tidak akan dibahas sekarang atau sebelum Pemilu 2024. Sebab saat ini seluruh partai politik, tak terkecuali yang ada di parlemen tengah fokus menghadapi Pemilu 2024.
"Kalau harus dipaksakan periode ini enggak mungkin. Karena semua partai dan anggota MPR anggota DPR sudah konsentrasi di dapil masing-masing. Partai politik sudah konsentrasi pada pemilihan umum, karena ini sudah masuk dalam tahun politik. Kalau kemudian amandemen UUD 1945 akan dilakukan pada periode ini, rasa-rasanya enggak mungkin," kata Muzani.
Ahmad Muzani juga menampik MPR tengah membahas soal penundaan pemilu. "Enggak, enggak ada penundaan pemilu. Sekarang ini pembicaraannya adalah koalisi, koalisi, koalisi. Berapa pasang, berapa pasang, berapa pasang. Wes, makasih," ucap Sekjen Gerindra ini memungkasi.
Advertisement