Komisi X DPR Belum Sepakat soal Tugas Akhir Pengganti Skripsi

Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah mengatakan, Komisi X DPR belum satu suara bahkan belum membahas perihal Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 episode ke-26 yang tidak mewajibkan skripsi.

oleh Delvira Hutabarat diperbarui 13 Sep 2023, 10:51 WIB
Diterbitkan 13 Sep 2023, 10:51 WIB
Ilustrasi mengerjakan skripsi
Ilustrasi mengerjakan skripsi. (Photo created by storyset on www.freepik.com)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbudristek No. 53 Tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi dalam program Merdeka Belajar episode ke-26.

Dalam Permendikbud tersebut, mahasiswa sarjana dan mahasiswa diploma 4 tidak lagi wajib membuat skripsi untuk tugas akhir sebagai syarat kelulusan.

Anggota Komisi X DPR RI Himmatul Aliyah mengatakan, Komisi X DPR belum satu suara bahkan belum membahas perihal Permendikbudristek No. 53 tahun 2023 episode ke-26.

"Kami di Komisi X memang kan belum juga satu suara untuk menyampaikan, karena kami juga sampai saat ini belum rapat tentang hal ini," kata Himma di Media Center DPR, dikutip Rabu (13/9/2023).

Politisi Partai Gerindra ini justru baru mengetahui perubahan ini 2 minggu lalu, ketika ia sedang bertemu dengan rektor-rektor seluruh Indonesia. Secara pribadi ia mendukung ketentuan yang diatur pada episode ke-26 ini karena tidak adanya diskriminasi soal akreditasi kampus.

"Tapi dalam hal ini, keluarnya permen ini saya sendiri mendukung karena ini adanya penyederhanaan, yang tadinya akreditasi mungkin terbagi A, B, C gitu, Kalau yang C pasti udah dianggapnya, padahal kan mungkin belum tentu akreditasi C itu kualitas pendidikannya belum tentu rendah, tapi image di masyarakat kadang kalau C itu "ah sekolah pinggiran, sekolah kecil"," terangnya.

"Tetapi dengan adanya peraturan baru ini saya mendukung, karena ini berarti tidak ada lagi diskriminasi terhadap kampus-kampus, itu baik tapi nanti kita minta pendapat dari Mustopo dan dari Mercu Buana," imbuh Himma.

Oleh karena itu, Himma pun berharap kepada pemerintah, khususnya Kemendikbudristek untuk memastikan Permendikbud 53/2023 bisa meningkatkan mutu perguruan tinggi, bukan diskriminasi perguruan tinggi.

"Jadi bukan malah dengan adanya akreditasi yang terstandarnya hanya unggul dan terakreditasi dan tidak terakreditasi, kemudian ada standarnya unggul, terakreditasi internasional. Jadi kalau misalnya, prodinya sudah dapat pengakuan internasional itu juga sudah dianggap terakreditasi," kata dia.

 

Belanja Penelitian Sangat Rendah

Selain itu, Himma juga menyoroti belanja penelitian di Indonesia hanya sebesar 0,09% dari PDB (produk domestik bruto) tahun 2012, yang sangat rendah dibandingkan dengan negara tetangga kita Singapura dan juga Malaysia. Juga rendahnya kualitas sumber daya manusianya, baik dosen maupun peneliti di Indonesia.

"Kemudian masih adanya sistem penghargaan insentif yang ada membuat akademisi enggan menghasilkan penelitian dan pengajaran yang berkualitas tinggi. Kemudian pengelola perguruan tinggi oleh pemerintah masih bersifat sangat terpusat, top down dan restricted ataupun membatasi," kata Himma.

Infografis Penjelasan Mendikbud dan Menag soal Frasa Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)
Infografis Penjelasan Mendikbud dan Menag soal Frasa Madrasah di Draf RUU Sisdiknas. (Liputan6.com/Trieyasni)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya