Terdakwa Galumbang: Tuntutan Jaksa Mengamini Saya Tak Nikmati Korupsi BTS

Galumbang mempertanyakan penerapan pasal TPPU oleh Kejagung. Hal itu lantaran dirinya tidak menikmati hasil korupsi seperti yang disampaikan jaksa dalam tuntutan.

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 07 Nov 2023, 15:53 WIB
Diterbitkan 07 Nov 2023, 15:46 WIB
Galumbang
Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Base Transceiver (BTS) 4G BAKTI Kominfo Galumbang Menak Simanjuntak dalam pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023). (Liputan6.com/Nanda Perdana Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Terdakwa kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek pembangunan Base Transceiver (BTS) 4G BAKTI Kominfo Galumbang Menak Simanjuntak keberatan atas tuntutan 15 tahun penjara dari Jaksa Penuntut Umum (JPU). Pasalnya, jaksa pun menyebut bahwa dirinya tidak menikmati hasil korupsi.

"Sampai hari ini saya tidak menerima apa yang dituduhkan. Hal ini juga diamini JPU dalam tuntutannya bahwa saya tidak menikmati hasil korupsi proyek BTS 4G," tutur Galumbang dalam pembacaan nota pembelaan atau pleidoi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Senin (6/11/2023).

Galumbang juga membantah kesaksian dari Direksi PT Aplikanusa Lintasastra yakni Arya Damar dan Alfi Asman yang menuduh dirinya menerima fee sebesar 10 persen saat dilakukan rapat direksi.

Di mana dalam fakta persidangan yang menghadirkan Direktur PT Aplikanusa Lintasastra Bramudija Hadinoto ditemukan beberapa fakta. Antara lain, tidak pernah diadakan rapat untuk membahas fee sebagaimana disampaikan Arya Damar dan Alfi Asman.

"Sehingga bertentanganlah keterangan Saudara Saksi Alfi Asman yang menyatakan komitmen fee tersebut telah dibahas di rapat Direksi," jelas dia.

Sementara itu, terkait uang yang diserahkan kepada terdakwaa Irwan Hermawan melalui beberapa perusahaan dengan menciptakan PO fiktif sebanyak empat kali, Galumbang menilai uang tersebut bukan untuk dirinya namun untuk kepentingan BAKTI.

"Saya menduga keras uang yang mereka serahkan itu adalah untuk menutupi kesalahan mereka," ujarnya.

Pasalnya, dalam persidangan terungkap jumlah uang yang serahkan sebanyak 4 kali tidak cocok dengan komitmen fee sebesar 10 persen yang dituduhkan. Adapun fakta persidangan yang disampaikan Alfi Asman, Arya Damar, saksi lain dan terdakwa Irwan Hermawan dan terdakwa Windy Purnama, PT Aplikanusa Lintasarta hanya mengeluarkan sekitar Rp60 miliar.

"Sementara bila merujuk komitmen fee 10 persen seharusnya adalah Rp240 Miliar. Jadi dapat dilihat dengan jelas tuduhan komitmen fee 10 persen hanyalah karangan belaka yang mungkin saja bertujuan untuk menutupi perbuatan yang mereka lakukan, yang pada akhirnya memberatkan saya di dalam perkara ini," ungkap Galumbang.

 

 

Pertanyakan Penerapan Pasal TPPU

Galumbang juga mempertanyakan penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Hal itu lantaran dirinya tidak menikmati hasil korupsi seperti yang disampaikan jaksa dalam tuntutan.

“Sebagaimana pernyataan saksi ahli Jamin Ginting bahwa TPPU itu kan ada uangnya dulu Pak baru disembunyikan, kalau Bapak enggak punya uang apa yang mau Bapak sembunyikan. Di mana saya sangat jelas, tidak pernah menerima uang korupsi dari Proyek BTS 4G BAKTI ini namun tetap didakwa melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang,” kata dia.

Mantan Direktur Utama (Dirut) PT Mora Telematika Indonesia (Moratelindo) itu juga keberatan atas penyitaan aset yang dilakukan penyidik. Sebab sejumlah aset yang disita diperoleh secara sah sebelum pengadaan proyek BTS 4G.

"Beberapa aset masuk dalam laporan pajak pribadi saya sejak lama. Namun disita oleh penyidik," tuturnya.

Protes Asetnya Disita

Bahkan, aset-aset tersebut juga telah diikutsertakan dalam tax amnesty pertama pada tahun 2016 dan tax amnesty pada kedua tahun 2021. Untuk itu, dia merasa heran dengan langkah penyitaan ini.

Lebih lanjut Galumbang merasa terkejut atas jaksa persidangan yang seolah-olah menganggap kondisi keamanan di Papua yang mengancam korban jiwa sebagai hal biasa yang bisa diantisipasi, sehingga menganggap tidak dapat dimasukkan sebagai peristiwa force majeure. Menurutnya, membangun di Papua tidak hanya dengan keahlian, tetapi dengan air mata.

"Kondisi keamanan bukanlah hal yang biasa, orang ditembaki dan digorok bukanlah hal biasa seperti halnya bencana gunung berapi atau banjir yang bisa di antisipasi," terangnya.

Menurut Galumbang, seharusnya negara bertanggung jawab dan hadir dalam menjamin keamanan di saat pihaknya yang juga rakyat Indonesia berpartisipasi dalam proyek-proyek pembangunan di Papua, yang ironisnya adalah proyek negara sendiri. Bukan malah diputarbalikkan menjadi suatu keadaan yang biasa-biasa saja.

"Saya khawatir jika hal ini dibenarkan maka orang- orang atau perusahaan-perusahaan menjadi enggan membangun di Papua karena dibunuh, digorok, ditembaki, diculik dan diintimidasi dikategorikan sebagai hal yang biasa-biasa saja dan resiko ini hanya ditimpakan kepada rakyat," ujarnya.

 

Kata Pengacara Galumbang

 

Kuasa Hukum Galumbang, Maqdir Ismail mengatakan, penerapan Pasal Pencucian Uang terpenuhi jika seseorang sudah menerima sejumlah uang dan dipergunakan.

"Kalau tidak pernah menerima, apa yang dicuci,” ujar Maqdir.

Terkait dugaan terjadinya korupsi dalam proyek BTS 4G Kominfo, sambungnya, seharusnya diselesaikan dahulu pada ranah administratif. Sebab, proyek tersebut masih berjalan sementara justru yang dikejar adalah penyelesaian pidananya.

"Karena mereka telah berniat baik untuk menyelesaikam persoalan ini. Padahal kerugian negara tidak ada," tuturnya.

“Jadi, harusnya dibebaskan (Galumbang). Karena konsunsursiom rugi. Plus cara penghitungan BPKP juga keliru. Jaksa tidak bisa membuktikan apa pun," Maqdir menandaskan.

 

Infografis Sederet Tersangka Korupsi BTS 4G Kominfo. (Liputan6.com/Abdillah)
Infografis Sederet Tersangka Korupsi BTS 4G Kominfo. (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya