Liputan6.com, Jakarta Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa dikaitkannya kenaikan tunjangan pegawai Bawaslu dengan dugaan adanya cawe-cawe politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Pilpres 2024 adalah mengada-ngada.
Sebab, pemberian tunjangan kepada pegawai Bawaslu menjadi program Kementerian PANRB yang telah diatur dalam anggaran sebelumnya.
Baca Juga
"Bahwa pihak terkait menerangkan dalil pemohon tentang kenaikan gaji dan tunjangan penyelenggaraan pemilu di momen kritis adalah dalil yang keliru dan mengada-ngada," kata Hakim MK Daniel Yusmic Foekh, saat membacakan putusan sengketa Pilpres, di Gedung MK, Jakarta, Senin, (22/4/2024).
Advertisement
Daniel menyampaikan, tunjangan yang diberikan kepada pegawai Bawaslu berbasis dengan capaian kinerja pegawai. Sehingga, tak ada kaitannya dengan Presiden Jokowi.
"Hal tersebut merupakan program PANRB yang telah ditetapkan para tahun anggaran sebelumnya pemberian dilakukan dakam bentuk tunjangan berbasis capaian kinerja dan bykan kenaikan gaji sebagaimana didalilkan pemohon. Progtam tersebut helas tidak ada kaitannya fengan presiden apalagi dihubhnhkan dengan kontestasi pemilu 2024," imbuhnya.
Mahkamah Konstitusi (MK) menggelar sidang pembacaan putusan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024 hari ini, Senin (22/4/2024). Sidang tersebut digelar secara terbuka sekitar pukul 09.00WIB.
Perkara untuk gugatan pasangan capres-cawapres nomor urut satu, Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar teregistrasi dengan nomor 1/PHPU.PRES-XXII/2024, sementara untuk gugatan pasangan nomor tiga, Ganjar Pranowo-Mahfud Md adalah 2/PHPU.PRES-XXII/2024.
Kedua pasangan meminta MK membatalkan Keputusan KPU Nomor 360 Tahun 2024 yang menetapkan hasil Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024.
Keduanya juga meminta MK untuk menyatakan diskualifikasi pasangan nomor dua, Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai peserta Pilpres 2024, serta memerintahkan KPU untuk melakukan pemungutan suara ulang tanpa kehadiran pasangan tersebut.
Sebagai informasi, dalam sidang PHPU Pileg 2024 itu MK telah menentukan tiga panel hakim konstitusi yang akan memimpin sengketa Pileg.
MK pun mengungkap masing-masing ketua tiga panel hakim konstitusi tersebut. Ketua MK Suhartoyo menjadi Ketua Panel I, Wakil Ketua MK Saldi Isra menjadi Ketua Panel II, dan hakim konstitusi Arief Hidayat menjadi Ketua Panel III.
Hakim MK Arief Hidayat: Dalil Mendiskualifikasi Paslon 02 Tidak Beralasan Menurut Hukum
Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan perkara perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU) atau sengketa Pilpres 2024.Â
Hakim MK Arief Hidayat membacakan putusan yang menyebutkan bahwa tak terbukti adanya intervensi Presiden terkait penetapan capres-cawapres 2024.Â
âSecara substansi perubahan syarat pasangan calon yang diterapkan termohon dalam Keputusan KPU 1368/2023 dan PKPU 23/2023 adalah sesuai dengan apa yang telah diperintahkan amar putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023,â kata Arief.
Oleh karena itu, dalil pemohon yang menyebut terjadi intervensi Jokowi tidak terbukti dan MK tidak beralasan hukum untuk mendiskualifikasi paslon 02.
âDalil pemohon yang menyatakan terjadi intervensi presiden dalam perubahan syarat pasangan calon dan dalil pemohon mengenai dugaan adanya ketidaknetralan termohon dalam verifikasi dan penetapan pasangan calon yang menguntungkan pasangan calon nomor urut 2, sehingga dijadikan dasar bagi pemohon untuk memohon Mahkamah membatalkan pihak terkait sebagai peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2024, adalah tidak beralasan menurut hukum,â beber Arief.
Sementara itu, Hakim MK Saldi Isra menyatakan pihaknya berwenang mengadili perkara tersebut dan membantah argumen Termohon, dalam hal ini pihak capres dan cawapres 02 Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Saldi Isra menyampaikan, sekalipun UU Pemilu telah mendesain penyelesaian masalah hukum di masing-masing kategori dan diserahkan kepada lembaga yang berbeda, bukan berarti pihaknya tidak berwenang untuk menilai masalah hukum pemilu yang terkait dengan tanapan pemilu berkenaan dengan penetapan suara san hasil pemilu.Â
âSalah satu dasar untuk membuka kemungkinan tersebut adalah penyelesaian yang dilakukanembaga-lembaga sebagaimana diuraikan di atas masih mungkin menyisakan ketidaktuntasan, terutama masalah yang potensial mengancam terwujudnya pemilu yang berkeadilan, demokratis, dan berintegritas,â tutur Saldi Isra di Gedung MK, Jakarta, Senin (22/4/2024).
Salah satu penyebabnya adalah terbatasnya waktu penyelesaian masalah hukum di masing-masing tahapan, termasuk terbatasnya wewenang lembaga yang diberi kewenangan untuk menyelesaikan masalah-masalah hukum pemilu.
Â
Reporter:Â Alma Fikhasari/Merdeka
Advertisement