BPJS Kesehatan Usul Evaluasi KRIS Lebih Komprehensif dan Ditanya ke Peserta JKN

Direktur BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti mengusulkan penerapan KRIS harus dievaluasi secara komprehensif terlebih dahulu sebelum diterapkan pada tahun 2025 mendatang.

oleh Fachri pada 06 Jun 2024, 21:03 WIB
Diperbarui 11 Jun 2024, 16:48 WIB
Ghufron Mukti.
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional, Agus Suprapto dan Direktur Utama BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti usai Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi IX DPR RI, Kamis (6/6/2024)

Liputan6.com, Jakarta Penerapan Kelas Rawat Inap Standar (KRIS) ditargetkan oleh pemerintah berlaku mulai 1 Juli 2025. Penerapan KRIS tersebut merupakan amanat Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).

Terkait hal itu,, Direktur BPJS Kesehatan, Ghufron Mukti mengusulkan penerapan KRIS harus dievaluasi secara komprehensif terlebih dahulu sebelum diterapkan pada tahun 2025 mendatang.

“Kita akan mengevaluasi paketnya seperti apa, tarif dan iurannya, yang jelas BPJS Kesehatan mengusulkan yang lebih komprehensif, termasuk ditanyakan kepada peserta Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), kemampuan dan kemauan untuk membayar seberapa, itu harus menjadi pertimbangan," kata Ghufron usai Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (6/6/2024).

Ghufron menegaskan bahwa BPJS Kesehatan akan menjalankan semua ketentuan yang berlaku dengan sebaik-baiknya.

“BPJS Kesehatan memandang, asal meningkatkan mutu dan tidak mengurangi akses pelayanan kesehatan dan kualitas layanan JKN seperti tidak mengurangi jumlah tempat tidur dan rumah sakit, kami akan menjalankan aturan yang berlaku,” tegasnya.

Kerja Sama Pemerintah dengan Swasta Esensial

DPR.
RDP komisi IX DPR RI dengan Kementerian Kesehatan, DJSN, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dan BPJS Kesehatan, Kamis (6/6/2024).

Di sisi lain, Ghufron juga mengungkapkan bahwa di Perpres 59 Tahun 2024 menjelaskan terkait dengan kerja sama antara pemerintah dan pihak swasta. Kerja sama itu meliputi kenaikan kelas pelayanan kesehatan.

"Jadi sebetulnya di Perpres 59 Tahun 2024 tidak hanya bicara KRIS, tapi diatur juga masyarakat yang ingin naik kelas di atasnya seperti kelas I ingin di VIP, perbedaan tarif yang dari BPJS Kesehatan bisa dibayar sendiri, dibayar oleh perusahaan tempat bekerja, atau Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT)," ungkapnya.

"Menurut saya, kerja sama antara swasta dengan pemerintah itu esensial, karena tidak mungkin BPJS Kesehatan membiayai sendiri, tetapi ini harus dicari titik temu yang pas, jangan sampai yang satu ditekan, yang satu menekan, di mana pun kerja sama swasta dengan pemerintah itu sangat strategis,” jelas Ghufron.

Sebagai informasi, kerja sama pemerintah dengan swasta itu tertuang dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Undang-undang itu menyebut bahwa peserta yang menginginkan kelas lebih tinggi daripada haknya dapat mengikuti asuransi kesehatan tambahan (AKT) atau membayar sendiri selisih antara biaya yang dijamin BPJS dengan biaya yang harus dibayar akibat peningkatan kelas.

Selain itu, diatur pula pada Pasal 51 ayat (1) Peraturan Presiden Nomor 59 tahun 2024 tentang Jaminan Kesehatan yang menyebut bahwa peserta dapat meningkatkan perawatan lebih tinggi dari haknya, termasuk rawat jalan eksekutif dengan mengikuti asuransi kesehatan tambahan.

Dewas BPJS Kesehatan: KRIS Harus Dievaluasi

DPR.
RDP komisi IX DPR RI dengan Kementerian Kesehatan, DJSN, Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, dan BPJS Kesehatan, Kamis (6/6/2024).

Ketua Dewan Pengawas BPJS Kesehatan, Abdul Kadir memaparkan kendala yang terjadi di lapangan terkait dengan KRIS. Menurutnya, fasilitas kesehatan masih menunggu peraturan terkait KRIS.

“Pemahaman KRIS belum tersosialisasikan merata dan dalam ruang publik terjadi banyak pertanyaan, rumah sakit juga harus merenovasi ruangan serta membutuhkan dana, karena maksimal 4 tempat tidur dan masih banyak rumah sakit yang memiliki 8-12 tempat tidur dalam satu ruangan,” paparnya dalam Rapat Dengar Pendapat bersama Komisi IX DPR, Kamis (6/6/2024).

Abdul Kadir meminta KRIS harus dievaluasi secara menyeluruh, termasuk tarif dan iuran. Selain itu, agar tidak terjadi kegaduhan, harus dilakukan sosialisasi secara masif ke seluruh peserta.

“Perhatikan juga jumlah peserta JKN, dengan KRIS, kemungkinan peserta JKN mendapatkan pelayanan yang kurang optimal karena antrean panjang,” ujarnya.

Lebih lanjut, Abdul Kadir menyebut bahwa kerja sama antar penyelenggara masih menimbulkan kebingungan bagi fasilitas kesehatan. Pasalnya, hingga saat ini belum ada peraturan teknis yang jelas.

“Belum ada acuan untuk cost sharing karena rumah sakit memiliki pemahaman berbeda, kami harap, Kemenkeu menetapkan standar biaya tertinggi di RS, supaya tidak terjadi fraud dan permainan tarif,” sebutnya.

“Kami tentu memberikan masukan bahwa peraturan teknis harus bisa dijalankan cepat dan disosialisasikan ke seluruh pihak agar pemahaman sama, terutama sistem monitoring,” jelas Abdul Kadir.

 

(*) 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya