Liputan6.com, Jakarta Kasus kekerasan masih menjadi sorotan publik hingga saat ini. Banyak di antaranya yang masih kesulitan untuk meminta bantuan ataupun menyadari jika dirinya merupakan korban kekerasan.
Hal tersebut pernah dirasakan juga oleh aktivis kekerasan perempuan, Poppy Dihardjo yang sudah menjadi penyintas. Saat ini Poppy membantu sebagai pendamping para korban kekerasan. Sebelum menjadi penyintas, perjuangan ibu satu anak ini tak mudah.
Baca Juga
Perjalanan untuk menyelamatkan dirinya terjadi paska suaminya meninggalkan rumah dan tidak kembali pada tahun 2015. Bersama sang anak yang saat itu berusia lima tahun, Poppy harus tetap menjalani kehidupannya.
Advertisement
"Sebenarnya dari tahun 2007 kali ya masuk kategorinya KDRT. Namun saat itu belum sadar kalau aku adalah korban. Jadi berpikir bahwa ini hanya sesuatu konfliklah," kata Poppy kepada Liputan6.com.
Saat itu, dia belum memahami apa itu kekerasan terlebih terkait KDRT. Informasi dan pemahaman mengenai bentuk-bentuk kekerasan juga masih sangat minim. Dia juga kebingungan ketika ingin meminta bantuan.
Apalagi kekerasan yang dia alami bukan bentuk fisik tapi verbal dan psikis. Menurutnya banyak masyarakat yang masih menormalisasi kekerasan berbentuk verbal dan psikis. Setelah beberapa tahun menjadi korban Poppy pelan-pelan mencari tahu apa yang dia alami.
Awalnya dia mencoba bangkit sendiri dan meminta pertolongan kepada beberapa temannya. Namun, keadaan belum kian membaik dan pada akhirnya memilih ke tenaga profesional yaitu psikolog dan psikiater.
"Jadi dari situ kemudian menjadi lebih mudah itu untuk aku sendiri untuk memahami untuk mengurailah kekusutan di dalam otakku. Untuk bagaimana caranya supaya aku bisa menemukan solusi yang paling tepat buatku untuk penyintas," ucapnya.
Alasan Jadi Pendamping Korban Kekerasan
Proses pemulihan yang dia jalani sekitar dua tahun sebelum akhirnya melayangkan gugatan perceraian kepada mantan suaminya. Poppy memilih untuk menceraikan suaminya pada 2017 setelah berelasi selama 11 tahun. Selain kekerasan verbal, dia juga korban pemerkosaan dalam pernikahan dan penelantaran rumah tangga.
"Dia pergi pada akhirnya adalah berkat juga sebenarnya. Karena mungkin kalau dia enggak pergi aku masih bertahan di situ, bisa jadi mungkin karena sudah kebiasaan. Kalau kamu kebiasaan di tempeleng tiap hari aku lama-lama makin biasa aja," ujar Poppy.
"Jadi akunya sendiri banyak banget yang aku trabas batasan-batasan di mana yang menurutku seharusnya tidak aku trabas malah aku normalisasi pada akhirnya begitu," sambungnya.
Setelah mengalami sulitnya mencari bantuan dan pemahaman, Poppy memilih untuk menjadi pendamping korban kekerasan sejak 2018. Sebab banyak tantangan yang dilalui oleh para korban KDRT. Salah satunya yaitu bercerita kepada orang yang salah.
Misalnya ada beberapa pihak yang menganggap cerita yang dialami korban merupakan hal yang lumrah pada sebuah pernikahan. Saat ini sejumlah gerakan sosial isu perempuan sudah semakin aktif di media sosial. Sedangkan jika membutuhkan bantuan dapat datangi pengada layanan terdekat dengan akses carilayanan.com.
"Sehingga pada akhirnya jadilah penggerak, tergerak untuk jadi penggerak gitu, supaya tidak ada lagi perempuan-perempuan yang bingung di luar sana," jelas Poppy.
Advertisement
Siapa Saja Korban KDRT Itu?
Kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sering menjadi perhatian publik. Jumlah kasus yang terlaporkan juga cukup tinggi. Berdasarkan data dari KemenPPPA sampai September 2024, aduan terkait KDRT sebanyak 11.713 kasus.
Tingginya kasus KDRT tentu mengundang banyak pertanyaan. Sebab implementasi dari Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dakam Rumah Tangga (PKDRT) dipertanyakan. Sebab sampai saat ini kasus KDRT masih menjadi fenomena gunung es.
Psikolog klinis dewasa, Nirmala Ika menyatakan semua bentuk kekerasan pada rumah tangga yang biasa terjadi pada suami-istri, orang tua - anak, mantu-mertua bahkan dengan asisten rumah tangga dapat didefinisikan sebagai KDRT. Sedangkan untuk saat ini kasus yang banyak dilaporkan dalam KDRT yaitu kekerasan antara suami dan istri.
Menurut Nirmala, KDRT merupakan terjadi ketika dalam sebuah hubungan salah satu pihak merasa ingin lebih berkuasa. Kemudian merasa mampu untuk melakukan aksi intimidasi hingga merendahkan korbannya.
"Ini supaya si korban ini bisa kehilangan identitas dirinya dan tujuannya ya untuk membuat si korban ini makin tunduk dan makin dikuasai," kata Nirmala kepada Liputan6.com.
Dalam tindakannya, KDRT tak hanya berkaitan dengan kekerasan fisik, seperti halnya pemukulan. Namun juga kekerasan psikis. Misalnya dalam hal perselingkuhan.
Kemudian ada pula bentuk kekerasan lainnya yaitu permasalahan ekonomi seperti tidak memberikan nafkah. Selanjutnya yaitu kekerasan seksual dalam rumah tangga yang kerap kali masyarakat tidak sadar mengenai hal ini. Contohnya pemaksaan hubungan seksual oleh salah satu pihak.