Kata Aktivis HAM soal Kasus Mantan Bupati Tanah Bumbu Mardani H Maming, Nilai Alat Bukti Tak memadai

Aktivis hak asasi manusia senior Todung Mulya Lubis menyoroti dugaan terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan perkara dugaan korupsi atas nama mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan periode 2010-2015 dan 2016-2018 Mardani H Maming.

oleh Tim News diperbarui 25 Okt 2024, 21:54 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2024, 14:14 WIB
PHOTO: Todung Mulya Lubis Sambangi KPK soal BLBI
Pengacara Todung Mulya Lubis tiba di Gedung KPK untuk memenuhi pemeriksaan ulang, Jakarta, Jumat (22/12). Todung diperiksa terkait permintaan bantuan hukum oleh obligor BLBI maupun BPPN. (Liputan6.com/Faizal Fanani)

Liputan6.com, Jakarta - Aktivis hak asasi manusia senior Todung Mulya Lubis menyoroti dugaan terjadinya miscarriage of justice (peradilan sesat) dalam penanganan perkara dugaan korupsi atas nama mantan Bupati Tanah Bumbu Kalimantan Selatan periode 2010-2015 dan 2016-2018 Mardani H Maming.

Menurut Todung, penjatuhan pidana terhadap Mardani H Maming merupakan hal yang dipaksakan karena tidak didasarkan pada alat bukti yang memadai.

"Bentuk miscarriage of justice yang paling mencolok adalah tidak dipenuhinya hak atas fair trial. Hakim melakukan cherry picking terhadap alat bukti yang dihadirkan selama persidangan," ujar Todung melalui keterangan tertulis, Jumat (25/10/2024).

Dia mengatakan, Hakim lebih memilih untuk mempertimbangkan keterangan saksi yang tidak langsung (testimonium de auditu) karena hal itu sesuai dengan dakwaan penuntut umum, ketimbang mempertimbangkan alat bukti lain yang menyatakan hal sebaliknya.

"Sikap berat sebelah seperti ini jelas merupakan unfair trial. Jika alat bukti yang ada dilihat secara fair, sebenarnya dakwaan penuntut umum tidaklah terbukti," papar pendiri ICW yang akrab dipanggil Todung ini.

Todung juga menjelaskan, hakim memaksakan konstruksi hukum dalam peristiwa-peristiwa hukum yang terjadi untuk dapat menyimpulkan terpenuhinya unsur dalam Pasal 12 huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah melalui Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.

"Pemaksaan konstruksi hukum yang paling terlihat adalah menjadikan keuntungan dan pembagian hasil usaha sebagai pemberian hadiah," ucap dia.

"Dengan menyatakan bahwa keuntungan dari hasil usaha sama dengan pemberian hadiah, maka hakim sebenarnya sedang melakukan analogi. Padahal, analogi merupakan pelanggaran berat terhadap prinsip legalitas, yang merupakan prinsip paling mendasar dalam hukum pidana," sambung Aktivis HAM Todung.

 

Korupsi Masalah Serius

Honorary Chairman DPP IKADIN Todung Mulya Lubis
Honorary Chairman DPP IKADIN Todung Mulya Lubis. (Dok. Istimewa)

Todung menilai, korupsi memang masalah serius bagi bangsa ini, namun tidak berarti penanganannya bisa dilakukan secara serampangan.

Dia menyebut, ketika ada miscarriage of justice dalam penanganan perkara—termasuk perkara korupsi—maka seharusnya terdakwa dinyatakan bebas. Untuk itu, langkah korektif menjadi suatu keniscayaan.

"Indonesia memang tidak mengenal langkah retrial seperti yang ada di Inggris. Namun keberadaan lembaga peninjauan kembali bisa menjadi opsi untuk melakukan koreksi ini," kata Todung.

"Secara spesifik dalam perkara Maming, saya berharap agar Mahkamah Agung dalam proses peninjauan kembali bisa benar-benar menyoroti miscarriage of justice yang terjadi, dan mengoreksinya. Untuk itu, saya akan menyiapkan sebuah amicus curiae berkenaan dengan perkara ini untuk saya kirimkan kepada Mahkamah Agung di pekan depan," tutup Todung.

Infografis Perbandingan Skor Indeks Persepsi Korupsi di Asia Tenggara dan Dunia. (Liputan6.com/Trieyasni
Infografis Perbandingan Skor Indeks Persepsi Korupsi di Asia Tenggara dan Dunia. (Liputan6.com/Trieyasni
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya