Liputan6.com, Yogyakarta - Aktivis HAM Haris Azhar menyebut kemiskinan di Indonesia tidak seabtas ekonomi tetapi juga akses dalam memndapatkan keadilan hukum. Menurutnya masyarakat miskin kerap kali menghadapi tantangan dalam memperoleh hak-haknya secara hukum. “Kemiskinan bukan hanya soal tidak mampu memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tetapi juga keterbatasan akses terhadap keadilan,” ujar Haris saat memberikan ceramah salat tarawih di Masjid Kampus UGM, Senin (17/3/2025).
Menurutnya masyarakat miskin di Indonesia sering terjebak dalam situasi yang membuat mereka tidak berdaya. Maka kondisi ini membuat masyarakat miskin bergantung pada pihak yang memiliki kekuasaan dalam mendistribusikan sumber daya, termasuk akses terhadap ilmu dan keadilan hukum.
Advertisement
Baca Juga
Haris mengatakan hukum positivistik di Indonesia mampu memposisikan masyarakat lapisan rendah sebagai pelaku kriminal saat mereka mempertahankan haknya menjadi korban kebijakan, seperti dalam kasus Proyek Strategis Nasional (PSN). “Mereka yang terdampak sering kali melakukan protes, yang kemudian dianggap sebagai persengketaan hukum dan bisa berujung pada tindak kriminal atau justru mereka yang dikriminalisasikan,” kata pendiri Yayasan Lokataru itu.
Soal akses keadilan hukum, Haris menyebut alokasi puluhan miliar dana bantuan hukum oleh negara belum merata dari segi persebarannya. Hal ini berdasarkan survei organisasi internasional tahun 2019 yang menunjukkan adanya persentase yang cukup besar terkait ketersediaan bantuan hukum, tetapi tidak 100% keadilan bagi orang miskin dapat diakses.
Haris menyebut organisasi bantuan hukum juga dibiayai oleh negara dan di dalamnya memiliki carut marut permasalahannya sendiri, seperti masalah administrasi dan birokrasi organisasi. “Ini artinya negara tidak sukses memastikan ketersediaan bantuan hukum bagi orang miskin ketika mereka mengalami ketidakadilan, beruntung masih ada organisasi sosial yang mengerjakan bantuan hukum tadi,” ungkapnya.
Kendala keadilan hukum bagi warga miskin ini menambah tantangan mewujudkan kesejahteraannya. Ditambah ketidakseimbangan akses terhadap ilmu dan pekerjaan membuat warga miskin bergantung pada kelompok otoritas. “Ketergantungan ini menciptakan ketakutan. Bahkan, saat ada yang berani melawan, mereka tetap berada dalam posisi yang tidak seimbang,” ujarnya.
Haris menegaskan soal pentingnya negara dalam membangun kesadaran akan keadilan hukum yang lebih luas di masyarakat. “Kita tidak bisa hanya bergantung pada negara. Perlu ada inisiatif untuk membangun struktur keadilan dari warga sendiri. Dengan begitu, negara bisa mencontoh dan mulai berbenah,” ujarnya.