Yusril: Pemerintah Akan Dengar Masukan Semua Pihak Ubah UU Pemilu Terkait Presidential Threshold

Yusril mengatakan, baik pemerintah dan DPR akan mendengar semua masukan dan pertimbangan dari semua pihak, termasuk dari partai politik peserta pemilu dan partai politik non peserta pemilu, para akademisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

oleh Nila Chrisna Yulika diperbarui 08 Jan 2025, 11:40 WIB
Diterbitkan 08 Jan 2025, 11:40 WIB
Prabowo Subianto Panggil Para Calon Menteri, Ini Sosok-sosoknya
Yusril Ihza Mahendra, seorang advokat, akademisi di bidang hukum tata negara, politikus, dan salah seorang tokoh pemikir dan intelektual Indonesia. Ia pernah menjabat sebagai Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia pada era Presiden Abdurrahman Wahid dan Megawati Soekarnoputri. (Liputan6.com/Herman Zakharia)

Liputan6.com, Jakarta - Pemerintah akan merevisi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilu atau UU Pemilu usai Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold, terutama pada pasal 222. 

Menteri Koordinator bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan saat ini menteri-menteri terkait masih melakukan konsolidasi dan membahas bagaimana perubahan terhadap pasal terkait presidential threshold akan dilaksanakan.

"Saya berkeyakinan tentu akan ada perubahan terhadap Pasal 222 UU Pemilu dan ini bisa muncul sebagai inisiatif dari pemerintah, bisa juga muncul dari Dewan Perwakilan Rakyat," kata Yusril dalam keterangannya, Rabu, (8/1/2025).

Yusril mengatakan, baik pemerintah dan DPR akan mendengar semua masukan dan pertimbangan dari semua pihak, termasuk dari partai politik peserta pemilu dan partai politik non peserta pemilu, para akademisi, hingga tokoh-tokoh masyarakat.

"Bagaimana sebaiknya kita merumuskan satu norma baru pengganti pasal 222 UU Pemilu dengan rumusan-rumusan yang sesuai dengan perkembangan zaman ke depan dan pula sesuai dengan lima rekayasa konstitusional atau constitutional engineering dalam pertimbangan hukum putusan MK," kata Yusril.

Yusril berpandangan, setiap keinginan untuk kembali menghidupkan presidential threshold setelah adanya putusan MK bisa-bisa saja disahkan oleh DPR. Namun, Yusril meyakini jika pembatasan itu kembali muncul, maka MK akan membatalkannya.

"Kalau ada pihak yang kembali mengajukan pengujian kepada MK, saya dapat membayangkan atau meramalkan bahwa kemungkinan besar MK akan membatalkan kembali norma UU yang mengandung presidential threshold itu," tutur Yusril.

Yusril mengatakan, presidential threshold sejatinya tidak ada jika menggunakan tafsir tematik dan sistematik dengan cara menghubungkan pasal-pasal pemilu dalam Pasal 22E UUD NRI 1945 dan pasal pengaturan tentang pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam Pasal 6A, yang menyatakan bahwa pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilu sebelum dilaksanakannya pemilihan umum (anggota DPR dan DPRD).

Tetapi menurut Yusril, disitulah ada rekayasa konstitusional yang dilakukan pembentuk undang-undang untuk membatasi capres-cawapres sebagaimana diatur dalam Pasal 222 UU Pemilu. Rekayasa sebelumnya itu sebelumnya dibenarkan MK dengan alasan untuk memperkuat sistem presidensial. Namun Putusan MK No 62/PUU-XII/2024 tanggal 2 Januari 2025 yang lalu justru mengubah pendirian MK selama ini.

"Setelah 32 kali diuji, baru pada pengujian yang ke 33 MK mengabulkannya. Jadi ada qaul qadim atau pendapat lama dan qaul jadid atau pendapat baru di MK," kata Yusril.

Yusril menyatakan, bahwa pemerintah menghormati putusan MK yang menyatakan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden bertentangan dengan UUD 1945.

"Apapun putusan yang diambil mahkamah, pemerintah akan patuh pada Mahkamah Konstitusi, dan kita tahu putusan MK adalah final dan binding dan tidak ada upaya hukum apa pun yang dapat dilakukan," ucap Menko Yusril.

Putusan MK Hapus Presidential Threshold, Baleg DPR: Saat Ini Butuh Sejumlah Revisi Undang-Undang

Wakil Ketua Badan Legislatif atau Baleg DPR RI Ahmad Doli Kurnia menilai, putusan Mahkamah Konstitusi (putusan MK) menghapus ambang batas presiden atau presidential threshold merupakan momentum untuk melakukan revisi Undang-Undang (UU) terkait Pemilu. Mulai dari UU Pemilu, UU Pilkada sampai UU Partai Politik.

"Jadi putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden itu tidak akan punya makna besar kalau tidak diikuti dengan penyempurnaan sistem Pemilu bahkan sistem politik dan demokrasi kita," ujar Doli, dalam keterangannya, Minggu (5/1/2025).

"Itu jugalah kenapa MK pada setiap putusannya selalu memerintahkan pembuat Undang-Undang untuk menindak lanjutinya dengan revisi UU secara komprehensif, bukan sekedar pasal per pasal," sambung dia.

Doli mengatakan, saat ini bola berada di tangan pemerintah dan para Ketua Umum Partai Politik untuk mendorong pembentukan Undang-Undang dan DPR segera melakukan revisi UU terkait Pemilu.

"Oleh karena itu, 'bola' sekarang ada di tangan Presiden dan para Ketua Umum Partai Politik agar mendorong Pemerintah dan DPR untuk bisa meng-konkret-kan agenda pembahasan revisi UU Pemilu, UU Pilkada, dan UU Partai Politik untuk segera dimulai," ujar Doli.

Menurut Doli, penghapusan ambang batas bukan satu-satunya solusi untuk menjawab masalah kepemiluan di Indonesia. Karena itu butuh revisi Undang-Undang secara komprehensif.

"Kita harus memaknai bahwa putusan penghapusan ambang batas pencalonan presiden oleh MK itu bukanlah jawaban yang menyelesaikan seluruh problematika ke-Pemilu-an kita," kata dia.

"Presidentially Threshold cuma salah satu isu dari sekian banyak isu yang menjadi bagian pembahasan penyempurnaan sistem Pemilu kita," tandas Doli.

 

Reporter: Muhammad Genantan Saputra/Merdeka

Infografis 24 Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024 Lolos ke Tahap Verifikasi Administrasi
Infografis 24 Partai Politik Calon Peserta Pemilu 2024 Lolos ke Tahap Verifikasi Administrasi (Liputan6.com/Abdillah)
Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya