Liputan6.com, Jakarta - Anggota DPR RI Sihar Sitorus menekankan pentingnya pemanfaatan data yang akurat dan berbasis wilayah dalam upaya penanganan stunting serta isu-isu kependudukan lainnya dalam Rapat Kerja Komisi IX DPR RI dengan Kementerian Kependudukan dan Pembangunan Keluarga/BKKBN yang berlangsung pada Rabu 19 Februari 2025.
Dalam rapat tersebut, Sihar Sitorus menggarisbawahi bahwa angka prevalensi stunting sangat bervariasi antar daerah, sehingga kebijakan yang diterapkan tidak bisa bersifat one-size-fits-all. Ia mencontohkan bahwa di Surabaya, prevalensi stunting hanya 1,2%, jauh di bawah angka nasional yang masih berada di kisaran 21%. Kalau dibandingkan dengan Kabupaten yang ada di Kepulauan Nias akan jauh sekali perbedaannya. Hal ini menunjukkan bahwa ada faktor tertentu yang mempengaruhi persebaran kasus stunting di berbagai wilayah.
Advertisement
"Dengan adanya data yang akurat, kita bisa melihat pola yang terjadi di berbagai daerah dan menyesuaikan kebijakan yang lebih tepat sasaran. Kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya memiliki angka stunting yang lebih rendah dibandingkan daerah lainnya, sehingga perlu ada keberpihakan terhadap daerah dengan angka stunting tinggi dalam formulasi kebijakan," ujar Sihar.
Advertisement
Selain itu, ia menyoroti pentingnya perspektif yang digunakan dalam memahami stunting, apakah lebih dipengaruhi oleh faktor kemiskinan, kualitas makanan, atau kesehatan. Sihar menyinggung keberhasilan negara Peru dalam menurunkan angka stunting dari 30% menjadi 10% dalam waktu 15 tahun sebagai contoh keberhasilan yang patut dikaji lebih dalam.
"Stunting ini adalah masalah kompleks dan multidimensi yang membutuhkan kolaborasi antar kementerian dan lembaga. Kita harus belajar dari berbagai pengalaman internasional dan menerapkannya sesuai dengan kondisi di Indonesia,"tegasnya.
Tidak hanya menyoroti isu stunting, Sihar juga mengangkat persoalan lansia dan ketimpangan partisipasi kerja antara laki-laki dan perempuan. Menurutnya, data menunjukkan bahwa usia harapan hidup perempuan lebih panjang daripada laki-laki, namun tingkat partisipasi kerja perempuan masih lebih rendah. Hal ini menjadi tantangan tersendiri dalam kebijakan kependudukan jangka panjang, terutama dalam memastikan produktivitas lansia tetap terjaga.
"Saat ini, lansia di Indonesia sebagian besar adalah perempuan. Jika partisipasi kerja perempuan tetap rendah, maka di masa tua mereka akan lebih rentan terhadap masalah ekonomi dan sosial. Oleh karena itu, kita perlu menyiapkan program jangka panjang untuk mengatasi persoalan ini," jelasnya.
Tren Childfree
Di sisi lain, Sihar juga menyinggung tren childfree yang lebih banyak terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, serta bagaimana hal ini dapat berdampak pada kebijakan kependudukan di masa depan. Ia menekankan perlunya memiliki data yang lebih detail mengenai persebaran balita dan tren kependudukan agar kebijakan yang diterapkan dapat lebih efektif.
"Persoalan kependudukan, baik itu stunting, lansia, maupun tren kelahiran, harus kita lihat dengan perspektif yang tepat. Apakah ini lebih disebabkan oleh faktor ekonomi, kesehatan, atau pola makan? Dengan memahami akar masalahnya, kita bisa menyiapkan kebijakan yang lebih efektif dan berkelanjutan," tutup Sihar.
Rapat kerja ini menjadi momentum penting dalam membahas strategi nasional dalam menghadapi tantangan kependudukan di Indonesia. Dengan pendekatan berbasis data dan kolaborasi lintas sektor, diharapkan kebijakan yang dihasilkan dapat lebih akurat dan tepat sasaran.
Advertisement
