Wakil Menteri Agama Nasaruddin Umar sempat menyebut pihak yang tidak taat terhadap keputusan pemerintah dalam penentuan awal puasa dianggap tidak mengakui Ulil Amri. Pernyataan itu pun dipersoalkan sejumlah kalangan dari berbagai organisasi berbasis Islam, salah satunya Muhammadiyah.
Menanggapi hal itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyebut pernyataan Nasaruddin tidaklah etis sebagai pejabat negara.
"Saya tidak mau menanggapi sebenarnya karena jelas pernyataan itu pernyataan yang tidak bijak. Seyogyanya pernyataan pejabat negara baik menteri maupun wakil menteri bisa memposisikan diri sebagai pengayom masyarakat," kata Din usai acara silahturahmi antara TNI AD dengan tokoh masyarakat di Balai Kartini, Jakarta, Senin (8/7/2013).
Ia menjelaskan, soal perbedaan penentuan awal Ramadan dan awal Syawal adalah masalah keyakinan, yang ditetapkan masing-masing dan ditetapkan dengan alasan agama kuat ditambah dengan ilmu pengetahuan. Maka sebaiknya saling menghargai.
"Marilah kita berpuasa bagi yang meyakini malam ini sudah ada hilal Ramadan marilah salat tarawih. Bagi yang belum meyakini atau menundanya silahkan berpuasa pada waktunya. Itu yang terbaik," jelas mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 1989-1993 itu.
Ia pun menyayangkan penyataan Wamenag yang menyebut Muhammadiyah salah dalam menetapkan puasa pada Selasa 9 Juli besok. "Nah itulah penyataan yang salah. Itu tidak seyogyanya dikeluarkan oleh Wakil Menteri Agama, sahabat baik saya yang sudah tahu agama. Begitu banyak dalil-dalil syar'i baik dari Alquran maupun hadis yang menyuruh kita umat Islam untuk mencermati dan menghitung peredaran matahari bumi dan bulan artinya ada dalilnya," imbuh Din.
Awal Ramadan Versi Muhammadiyah
Ia menambahkan Muhammadiyah memutuskan 1 Ramadan 1434 H karena ada hilal nanti malam. Itu berdasarkan ayat-ayat al Quran dan berdasarkan hadis yang mungkin tidak perlu diperdebatkan. Terutama pada Senin jam 14.15 WIB siang telah terjadi Ijtima atau konjungsi matahari, bumi, bulan pada garis lurus itu pertanda bulan Syaban akan berakhir.
"Dan nanti pada waktu matahari terbenam dan bulan belum terbenam itulah hilal menurut Muhammaddiyah," jelas Din.
Karena itu, ia menegaskan, pihaknya meyakini bahwa nanti malam adalah malam pertama Ramadan untuk sholat tarawih dan besok waktu untuk menunaikan ibadah Ramadan dan bagi yang belum kelihatan bulan maka menambah bulan Syaban maka silahkan karena ada dalilnya.
"Ini memang tidak ketemu antara penegakan ilmu pengetahuan bersasarkan penghitungan dengan harus melihat," tegas Din.
Bagi Muhammadiyah bila bulan malam ini tidak kelihatan tidak berarti tidak ada. Sesuatu yang ada itu tidak harus kelihatan, dan yang tidak kelihatan itu bukan berarti tidak ada. Itu menurut pemikiran Muhammadiyah.
"Jadi biarlah ini menjadi pemikiran masing-masing sesuai dengan konstitusi kia bahwa warga negara punya kebebasan menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Itu yang harus dihargai oleh pejabat tinggi kementerian agama dan tidak boleh bersikap inskonstitusional," jelas Din.
Karena itu, ia minta pemerintah tidak campur tangan terlalu jauh dalam penentuan awal Ramadan dan Syaban.
"Seharusnya pemerintah jangan ikut campur. Ini gara-gara pemerintah ikut campur wilayah keyakinan apakah sholah tarawih 8 atau 20 gak usah diatur oleh negara. Dan insya Allah, masyarakat sudah dewasa untuk berbeda pendapat," tukas Din.
Ia pun mengingatkan semua pihak dan pemerintah agar tidak terlalu campur tangan keyakinan itu karena hanya menimbulkan perdebatan dan masalah.
"Dan gara-gara pemerintah ikut campur dan dia sepihak, tidak mengayomi, maka itulah yang menimbulkan permasalahan seperti ini. Jadi saya sungguh menyesalkan dan sebaiknya pernyataan itu dicabutlah," tukas Din. (Adi/Mut)
Menanggapi hal itu, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin menyebut pernyataan Nasaruddin tidaklah etis sebagai pejabat negara.
"Saya tidak mau menanggapi sebenarnya karena jelas pernyataan itu pernyataan yang tidak bijak. Seyogyanya pernyataan pejabat negara baik menteri maupun wakil menteri bisa memposisikan diri sebagai pengayom masyarakat," kata Din usai acara silahturahmi antara TNI AD dengan tokoh masyarakat di Balai Kartini, Jakarta, Senin (8/7/2013).
Ia menjelaskan, soal perbedaan penentuan awal Ramadan dan awal Syawal adalah masalah keyakinan, yang ditetapkan masing-masing dan ditetapkan dengan alasan agama kuat ditambah dengan ilmu pengetahuan. Maka sebaiknya saling menghargai.
"Marilah kita berpuasa bagi yang meyakini malam ini sudah ada hilal Ramadan marilah salat tarawih. Bagi yang belum meyakini atau menundanya silahkan berpuasa pada waktunya. Itu yang terbaik," jelas mantan Ketua Umum PP Pemuda Muhammadiyah 1989-1993 itu.
Ia pun menyayangkan penyataan Wamenag yang menyebut Muhammadiyah salah dalam menetapkan puasa pada Selasa 9 Juli besok. "Nah itulah penyataan yang salah. Itu tidak seyogyanya dikeluarkan oleh Wakil Menteri Agama, sahabat baik saya yang sudah tahu agama. Begitu banyak dalil-dalil syar'i baik dari Alquran maupun hadis yang menyuruh kita umat Islam untuk mencermati dan menghitung peredaran matahari bumi dan bulan artinya ada dalilnya," imbuh Din.
Awal Ramadan Versi Muhammadiyah
Ia menambahkan Muhammadiyah memutuskan 1 Ramadan 1434 H karena ada hilal nanti malam. Itu berdasarkan ayat-ayat al Quran dan berdasarkan hadis yang mungkin tidak perlu diperdebatkan. Terutama pada Senin jam 14.15 WIB siang telah terjadi Ijtima atau konjungsi matahari, bumi, bulan pada garis lurus itu pertanda bulan Syaban akan berakhir.
"Dan nanti pada waktu matahari terbenam dan bulan belum terbenam itulah hilal menurut Muhammaddiyah," jelas Din.
Karena itu, ia menegaskan, pihaknya meyakini bahwa nanti malam adalah malam pertama Ramadan untuk sholat tarawih dan besok waktu untuk menunaikan ibadah Ramadan dan bagi yang belum kelihatan bulan maka menambah bulan Syaban maka silahkan karena ada dalilnya.
"Ini memang tidak ketemu antara penegakan ilmu pengetahuan bersasarkan penghitungan dengan harus melihat," tegas Din.
Bagi Muhammadiyah bila bulan malam ini tidak kelihatan tidak berarti tidak ada. Sesuatu yang ada itu tidak harus kelihatan, dan yang tidak kelihatan itu bukan berarti tidak ada. Itu menurut pemikiran Muhammadiyah.
"Jadi biarlah ini menjadi pemikiran masing-masing sesuai dengan konstitusi kia bahwa warga negara punya kebebasan menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya. Itu yang harus dihargai oleh pejabat tinggi kementerian agama dan tidak boleh bersikap inskonstitusional," jelas Din.
Karena itu, ia minta pemerintah tidak campur tangan terlalu jauh dalam penentuan awal Ramadan dan Syaban.
"Seharusnya pemerintah jangan ikut campur. Ini gara-gara pemerintah ikut campur wilayah keyakinan apakah sholah tarawih 8 atau 20 gak usah diatur oleh negara. Dan insya Allah, masyarakat sudah dewasa untuk berbeda pendapat," tukas Din.
Ia pun mengingatkan semua pihak dan pemerintah agar tidak terlalu campur tangan keyakinan itu karena hanya menimbulkan perdebatan dan masalah.
"Dan gara-gara pemerintah ikut campur dan dia sepihak, tidak mengayomi, maka itulah yang menimbulkan permasalahan seperti ini. Jadi saya sungguh menyesalkan dan sebaiknya pernyataan itu dicabutlah," tukas Din. (Adi/Mut)