Liputan6.com, Jakarta Program Gabungan PBB Untuk HIV/AIDS (UNAIDS) mengingatkan konsekuensi jika para pemimpin dunia gagal mengatasi ketidaksetaraan dan langkah-langkah transformatif dalam mengakhiri AIDS.
Dunia dikatakan akan terus terjebak dalam krisis covid-19 dan tetap tidak siap menghadapi pandemi yang akan datang.
Baca Juga
UNAIDS Indonesia Country Director, Krittayawan Boonto mengatakan jika saat ini masih ada jutaan orang di dunia yang terpinggirkan terkait HIV karena ketimpangan sosial.
Advertisement
“Hal ini semakin diperparah dengan adanya pandemi covid-19. Kegagalan untuk meningkatkan capaian baik layanan pencegahan, tes dan pengobatan HIV akan mengakibatkan 7,7 juta kematian selama dekade ini,” ujar Krittayawan.
Hal ini terungkap dari laporan terbaru yang diluncurkan UNAIDS dalam rangka peringatan Hari AIDS Sedunia 1 Desember 2021.
Laporan tersebut bertajuk “Unequal, unprepared, under threat: why bold action against inequalities is needed to end AIDS, stop COVID-19 and prepare for future pandemics".
Laporan ini diluncurkan UNAIDS Indonesia bersama Kementerian Kesehatan RI dan Jaringan Indonesia Positif di acara Tempo Press Briefing, Selasa (30/11/2021).
Beberapa negara, termasuk negara dengan angka HIV tertinggi, telah berhasil membuat kemajuan yang luar biasa melawan AIDS.
Namun capaian itu tidak merata, sehingga secara global masih terjadi 1,5 juta infeksi HIV baru di tahun 2020, di mana 31 persen terjadi di kalangan orang muda berusia 15-24 tahun.
Pada tahun 2020, diestimasikan ada 37,7 juta orang hidup dengan HIV di dunia, 15 persen diantaranya atau 5,8 juta orang tinggal di kawasan Asia dan Pasifik.
Tahun ini menandai 40 tahun pertamakalinya kasus AIDS dilaporkan. Sejak itu, data UNAIDS menunjukkan ada kemajuan besar, terutama pada perluasan akses ke pengobatan. Pada Juni 2021, sebanyak 28,2 juta orang telah mengakses pengobatan HIV, naik dari 7,8 juta pada 2010.
Namun, sayangnya, cakupan pengobatan HIV di Indonesia belum mencapai target. Saat ini diperkirakan ODHIV di Indonesia mencapai 543.100 orang, sampai dengan September 2021 sebanyak 378.446 diantaranya telah ditemukan.
Namun, diantara ODHIV itu baru 149.833 yang mengonsumsi obat antiretroviral (ARV) dan 48.588 ODHIV mengalami supresi viral load.
"Angka infeksi HIV baru di Indonesia mulai mengalami penurunan, namun masih di level yang cukup tinggi yakni 27.580 infeksi baru pada tahun 2020. Tentunya di tengah pandemi COVID-19 saat ini, isu HIV AIDS tidak boleh luput dari perhatian sehingga capaian Indonesia akan lebih baik lagi," ujar Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung Kementerian Kesehatan dr. Siti Nadia Tarmizi.
Covid-19 melemahkan respon AIDS di banyak tempat. Jumlah tes HIV menurun secara merata, dan sedikit orang yang hidup dengan HIV mulai melakukan pengobatan pada tahun 2020 di 40 dari 50 negara yang melapor ke UNAIDS.
Ketua Sekretariat Nasional Jaringan Indonesia Positif Meirinda Sebayang, mengatakan jika pandemi covid-19 menjadi situasi yang sangat berat bagi komunitas orang yang hidup dengan HIV dan populasi kunci yang rentan terhadap HIV.
Menghadapi krisis seperti ini membuat organisasi komunitas langsung sigap mendukung kebutuhan komunitas orang dengan HIV dan populasi kunci.
"Kami bekerja untuk memastikan akses pengobatan HIV tidak berhenti, kami berupaya agar orang dengan HIV mendapatkan akses yang setara terhadap vaksin COVID-19, dan kami melakukan monitoring dan advokasi hak-hak mereka terpenuhi,” jelas dia.
5 Elemen
Empat dekade dari respons AIDS telah memberikan pelajaran yang dapat menjadi manfaat bagi respons covid-19 dan pandemi lainnya di masa depan.
Laporan UNAIDS mengkaji lima elemen penting yang menjadi pelajaran dari respons HIV, yang harus diaplikasikan pada respons covid-19 maupun pandemi lainnya.
Lima elemen penting itu adalah:
- Respons yang dipimpin komunitas
- Akses yang setara terhadap obat dan teknologi kesehatan
- Dukungan terhadap garda terdepan
- Respons yang berbasis hak asasi manusia
- Sistem data yang dapat mendeteksi ketimpangan
Laporan UNAIDS menunjukkan bahwa negara yang memiliki hasil terbaik dalam respons HIV, adalah negara yang melibatkan komunitas dan memiliki sistem kesehatan yang kuat dan inklusif.
Sedangkan wilayah dengan kesenjangan sumber daya, memiliki pendekatan hukum yang punitif, dan tidak menggunakan pendekatan berbasis hak untuk kesehatan, akan bernasib buruk.
“Kita sadar bahwa tindakan yang kita perlukan untuk mengakhiri AIDS juga akan membantu kita menghentikan pandemi masa depan. Kita punya alat untuk melakukannya: kita punya strategi dan komitmen di tingkat global. Kita harus bekerja sama untuk menerjemahkannya ke dalam komitmen nasional dan aksi lokal. Jika sukses, hasilnya akan kita dapatkan dalam hal kesehatan, pembangunan manusia, serta ekonomi,” pungkas Krittayawan.
Advertisement