Opini: Ada Apa dengan Puisi Aan Mansyur?

Puisi-puisi Aan Mansyur yang biasa saja tampak menawan ketika pasar menggiringnya ke industri budaya pop dalam film AADC2.

oleh Liputan6 diperbarui 10 Jun 2016, 18:00 WIB
Diterbitkan 10 Jun 2016, 18:00 WIB
Matdon
Opini Matdon (Liputan6.com/Abdillah)

Liputan6.com, Jakarta - Seperti kebanyakan film-film Indonesia apalagi yang bertema cinta, film Ada Apa Dengan Cinta 2 (AADC2) juga merupakan film yang biasa-biasa saja, nggak ada istimewanya.

Karakter Rangga (Nicholas Saputra) dan Cinta (Dian Sastowardojo) 14 tahun lalu di AADC 1 tidak berkembang. Tidak ada gimmick yang menarik. Kekuatan AADC2 hanya di marketing dan promosi besar-besaran yang didukung media.

Ada empat makhluk bernama puisi karya penyair muda Makassar, Aan Mansyur, yang melintas beberapa jenak dalam film AADC 2, yakni Batas, Pukul 4 Pagi, Tidak Ada New York Hari Ini, dan Pagi di Central Park.

Meski kehadirannya hanya pelengkap penderita serta hanya berupa penggalan saja, tapi puisi-puisi dalam AADC2 mampu menyihir kaum muda Indonesia, dan menjadikan film ini memiliki ruh.

Penggalan puisi Batas, sedikit "menyelamatkan" film ini dari sebutan film picisan. Terus terang jika tanpa puisi, film AADC2 sangat "kering" dan kalah oleh film Heart (2006) yang dibintangi Acha Septriasa, Nirina Zubir, dan Irwansyah. Dalam film tersebut selain ceritanya memeras air mata, di sana ada pengorbanan cinta dari para tokohnya.

Sedangkan di film AADC2 malah sosok Rangga yang 14 tahun lalu tegas dan cuek menjadi lemah, tidak ada pengorbanan yang mampu memeras hati dan air mata kecuali kesucian cinta selama kurun waktu itu, terpisah oleh ruang dan waktu antara New York dan Jakarta. Meskipun sutradara mencoba mempertahankan karakter Rangga dan Cinta agar tampak ada cinta abadi.

Kembali ke puisi Aan Mansyur, puisi adalah makhluk paling sunyi di antara hiruk pikuk sastra di Tanah Air. Banyak yang menulis puisi tapi sekadar curhat. Belum menjadikan puisi sebagai pencarian potongan-potongan hati dan eksistensi diri, apalagi untuk mencari materi.

Tetapi lewat industri film, puisi tiba-tiba menjadi makhluk berharga dan diminati kaum muda. Memang, apapun namanya jika sudah bersentuhan dengan industri pop dan kebutuhan uang, ia akan menjadi berharga. Begitupun puisi.

Sebetulnya puisi, film, musik adalah harapan terakhir yang bisa merawat kebudayaan Indonesia ketika politik, ekonomi, dan olahraga tak mampu menolong apapun.

Saya masih yakin, sastra (dalam hal ini puisi) memiliki fungsi sebagai "nasihat", kontrol sosial, dan mewakili perasaan manusia yang paling wadah.

Pada puisi Batas di AADC2, tidak hanya mampu menyuguhkan rangkaian kata dan bahasa yang estetik dan segar, tetapi juga memuat makna yang mendalam, baik yang tersirat maupun sengaja ditegaskan oleh penulisnya.

Puisi Batas meskipun hanya penggalan, tapi memberikan suatu pengalaman batin yang baru bagi penontonnya, juga menyadarkan pada nilai-nilai esensial cinta. Puisi yang "diseret" ke dalam film, menjadi bukan sekadar hiburan dari rasa sunyi penyairnya, Rangga-Cinta dan penonton, tapi cermin sosio-kultural yang mencerahkan masyarakat.

Ini sebagian larik puisi Batas:

Resah di dadamu dan rahasia
yang menanti di jantung puisi
dipisahkan kata
begitu pula rindu.
Lihat tanda tanya itu jurang antara kebodohan dan keinginanku
memilikimu sekali lagi

Ada yang dipenggal dalam puisi ini, setelah larik Resah di dadamu dan rahasia yang menanti di jantung puisi dipisahkan kata begitu pula rindu. Sebenarnya masih ada Antara pulau dan seorang petualang yang gila/Seperti penjahat dan kebaikan dihalang ruang dan undang-undang/Seorang ayah membelah anak dari ibunya dan sebaliknya/Atau senyummu dinding di antara aku dan ketidakwarasan/Persis segelas kopi tanpa gula pejamkan mimpi dari tidur/Apa kabar hari ini? 

Tapi, Rangga membacanya langsung lompat ke larik Lihat tanda tanya itu jurang antara kebodohan dan keinginanku memilikimu sekali lagi, demi kepentingan keindahan film dan kepuasan sutradara serta kebutuhan industri pop, kesucian puisi rela dipenggal begitu saja. Asal tak menghilangkan makna, maka Aan harus rela pula.

Puisi Batas memang sangat ampuh untuk mewakili perasaan, ia menjadi teks yang sangat kuat bagi sebuah pernyataan cinta sampai perlawanan terhadap kegelisahan, menyimpan tenaga batin yang dahsyat.

Begitupun pada puisi Tidak Ada New York Hari Ini, Aan Mansyur mencoba masuk menjadi Rangga, mencoba memahami Psikologis Rangga ketika berjauhan dengan Cinta. Begitulah jika puisi dipesan oleh sebuah kepentingan industri, dipaksa atau tidak, energi puisi harus masuk menjadi kemasan pop. Haramkah Aan Mansyur menerima tawaran itu? Tentu tidak!

Saya pikir itu sah-sah saja, sepanjang puisi tidak keluar dari khittohnya sebagai karya sastra yang paling filsuf. Sebab, suka atau tidak suka penyair adalah filsuf yang sunyi, yang mampu menjaga kesadaran untuk tetap merawat kegelisahan. Entah apakah Aan sudah pernah pergi ke New York atau sekadar menyelami betapa sakitnya berjauhan dengan orang yang dicintai.

Pada puisi lain terdapat penggalan teks Dari jendela ku melihat bintang-bintang tanggal/satu demi satu/berpulang mengucapkan selamat tinggal//kadang kupikir lebih mudah mencintai seribu orang /daripada melupakan seseorang/ dst.

Puisi ini menjaga keseimbangan diri Aan Mansyur sebagai penyair dan Rangga, serta mengajak penonton mampu menjenguk diri sendiri. Pertanyaannya sekarang, apakah Aan melepaskan diri dari dirinya ketika menulis Tidak Ada Newk York Hari Ini? Iya atau tidak jawabannya, itu pun sah-sah saja.

Tidak Ada New York Hari Ini diambil dari buku dengan judul sama. Buku ini berisikan 31 puisi. Sama seperti pada buku puisi Aan sebelumya Melihat Api Bekerja, puisi-puisi Aan dalam AADC2 kembali membaca ruang. Ia mencoba keluar dari Aan Mansyur yang menjelma Rangga, pendekatan teks dan interteks yang ajeg.

Biasanya Aan berupaya mengasingkan tubuh dan pikiran dari keruwetan ruang, tapi pada empat puisi di film ini, ia masuk ke dalamnya. Aku lirik dalam puisi Batas misalnya, menciptakan kesunyian di luar kesunyian yang sesungguhnya.

Puisi Batas, terasa biasa-biasa saja kecuali iramanya yang rapi dan musikal, tapi ketika pasar menggiringnya menjadi industri yang menginginkan kemasan pop sebagai bahan jualan, maka puisi-puisi Aan menjadi luar biasa, menemukan kegelisahan Rangga dan menjadi wakil perasaan penonton juga.

Ya, karena puisi yang baik adalah ketika didengarkan atau dibaca, orang masuk ke dalam empiris puisi tersebut dan menjadi pengalaman kolektif. Aan Mansyur telah melewatinya dengan baik untuk AADC2.

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya