Liputan6.com, Jakarta - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) lesu pada Kamis (30/1/2025). Rupiah turun 13 poin atau 0,08 persen menjadi 16.234 per dolar AS dari sebelumnya 16.221 per dolar AS.
Mengutip Antara, Analis mata uang Doo Financial Futures Lukman Leong prediksi, rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat usai the Federal Reserve (the Fed) memberikan pernyataan hawkish dalam pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada Rabu malam, 29 Januari 2025 waktu setempat.
Advertisement
Baca Juga
“Rupiah diperkirakan akan dibuka melemah terhadap dolar AS setelah dalam pertemuan FOMC semalam, The Fed memberikan pernyataan yang condong hawkish akan inflasi yang masih tinggi. The Fed juga mengatakan mereka tidak akan buru-buru menurunkan suku bunga” kata dia kepada ANTARA di Jakarta, Kamis pekan ini.
Advertisement
Sentimen lainnya yakni tenaga kerja AS yang masih kuat dan kebijakan Presiden AS Donald Trump terkait imigrasi dan tarif juga mendorong pelemahan kurs rupiah.
Walaupun dua kebijakan Trump itu masih dipenuhi ketidakpastian, lanjutnya, tetapi diperkirakan tetap sesuai rencana walaupun kemungkinan takkan seagresif ketika kampanye.
Untuk ekonomi AS, tercatat Produk Domestik Bruto (PDB) tahunan tumbuh 3,1 persen pada kuartal IV-2024, inflasi inti 2,8 persen, inflasi umum 2,2 persen, dan pengangguran 4,1 persen.
"Range (kurs rupiah diperkirakan) Rp16.200-Rp16.300 per dolar AS,” kata dia.
Jurus BI Jaga Stabilitas Rupiah di Tengah Penguatan Dolar AS
Sebelumnya, indeks dolar AS yang menguat kerap memberikan tekanan terhadap mata uang negara berkembang, termasuk rupiah. Hal ini disebabkan oleh kecenderungan investor untuk beralih ke aset yang dianggap lebih aman, seperti dolar AS, saat menghadapi ketidakpastian ekonomi global.
Namun, Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, menjelaskan Bank Indonesia memiliki beberapa strategi untuk menjaga nilai tukar rupiah tetap stabil, terutama di tengah situasi global yang tidak menentu.
Salah satu langkah utama yang dilakukan BI adalah dengan aktif berada di pasar untuk melakukan intervensi. Menurut Perry, BI melakukan intervensi baik secara tunai di pasar spot maupun dengan mekanisme Domestic Non-Deliverable Forward (DNDF).
Selain itu, dengan cadangan devisa Indonesia yang cukup besar, yakni mencapai USD 155,4 miliar, menjadi salah satu faktor penopang stabilitas rupiah terhadap dolar AS.
Cadangan ini diperoleh dari aliran masuk (inflow) yang terjadi pada periode sebelumnya dan kini dimanfaatkan untuk menjaga nilai tukar.
"Kami terus berada di pasar terus melakukan stabilitas nilai tukar rupiah, dan cadangan devisa kami cukup besar Rp 155,4 miliar, dan kami kumpulkan ini pada saat dulu terjadi inflow, dan kami gunakan untuk menjaga stabilitas dari sisi nilai tukar ini," kata Perry dalam Konferensi Pers KSSK, di Kementerian Keuangan, Jakarta, Jumat (24/1/2025).
Advertisement
Pentingnya Koordinasi Kebijakan Fiskal dan Moneter
Menurut Perry, upaya koordinasi antara kebijakan fiskal dan moneter juga menjadi kunci keberhasilan BI dalam menjaga stabilitas. Ia menyebutkan bahwa BI dan Kementerian Keuangan bekerja erat dalam hal pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder.
"Caranya bagaimana? yaitu kami intervensi secara tunai di pasar spot maupun juga secara forward domestik non delivery forward dan koordinasi bu Menteri Keuangan untuk pemilihan SBN dari pasar sekunder," jelasnya.
Adapun pada tahun lalu, Bank Indonesia membeli SBN senilai Rp 178,4 triliun sebagai bagian dari upaya menjaga stabilitas nilai tukar. Untuk tahun ini, BI kembali berencana melanjutkan pembelian SBN dari pasar sekunder, termasuk dalam mekanisme burden sharing dengan total yang direncanakan mencapai Rp 100 triliun.
"Insyallah kami bisa membeli lebih dari itu sehingga bisa melakukan stabilitas," ujarnya.