OPINI: Perempuan dari Era Mesin Uap hingga Era Digital

Pada era Industri 2.0 ini perempuan bukan hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara lainnya, masih sangat dibatasi dalam hal pendidikan.

oleh Liputan6.com diperbarui 21 Apr 2021, 17:00 WIB
Diterbitkan 21 Apr 2021, 17:00 WIB
Sri Safitri, Deputy EVP Customer Experience & BUMN Digitalisation Telkom Indonesia. Liputan6.com/Abdillah
Sri Safitri, Deputy EVP Customer Experience & BUMN Digitalisation Telkom Indonesia. Liputan6.com/Abdillah

Liputan6.com, Jakarta - Raden Ajeng Kartini, pahlawan perempuan Indonesia, lahir pada tanggal 21 April 1879 yang kini setiap tanggal 21 April dirayakan sebagai Hari Kartini. Kalau kita kembali ke masa beliau dilahirkan, maka Kartini saat itu lahir di masa Revolusi Industri 2.0 yang dimulai sekitar tahun 1870.

Mengakhiri era mesin uap pada Industri 1.0, era Industri 2.0 ditandai dengan ditemukannya tenaga listrik untuk menghasilkan produksi massal.

Pada era Industri 2.0 ini perempuan bukan hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara lainnya, masih sangat dibatasi dalam hal pendidikan. Fokus perempuan pada masa itu adalah urusan perjodohan dan menikah pada usia belasan.

Sejak Era 1.0 hingga era Industri 2.0 ini yang menjadi fokus perusahaan adalah memberdayakan korporasi dengan melakukan hal-hal dengan benar atau dikenal dengan efisiensi.

Menurut definisi Peter Drucker, ini adalah tugas seorang Manajer, meningkatkan kinerja operasional, memaksimalkan pendapatan, dan mengurangi pengeluaran sambil meningkatkan nilai produksi artistik dan apresiasi. Tak heran, pada kedua era ini dunia kerja masih didominasi pria.

Seabad kemudian, sekitar tahun 1970an dunia memasuki Revolusi Industri 3.0 yang ditandai dengan kehadiran teknologi. Pada masa ini dimulailah penggunaan system IT untuk otomatisasi produksi dan menggantikan hal-hal yang dulunya dilakukan manusia khususnya pria.

Fokus perusahaan masih pada pemberdayaan korporasi namun dengan melakukan hal yang benar, atau disebut efektivitas. Mulailah pada era ini, perusahaan beralih dari manajemen menjadi kepemimpinan. Yang menurut Peter Drucker tugasnya menetapkan prioritas organisasi dan mengalokasikan sumber daya manusia dan fiskal untuk memenuhi visi organisasi.

Abad dan era berganti, Kartini pun ikut menjadi Kartini 3.0, namun nasibnya tetap sama, masih saja tertinggal dalam hal pendidikan dan karir.

Meskipun pada masa ini sudah banyak yang menyuarakan kesetaraan ras, namun belum banyak suara-suara tentang kesetaraan gender, karena memang perempuan masa ini masih belum fokus pada pendidikan apalagi karir. Fokus Kartini 3.0 mungkin masih dominan urusan kasur dan dapur, rumah dan keluarga.

Pada akhir abad 20, pada tahun 1998 yang ditandai dengan kehadiran Google dan seiring maraknya penggunaan internet pada abad 21, dunia mulai lebih terbuka bagi perempuan.

Di negeri Barat mulai banyak pemimpin-pemimpin perempuan seperti Marissa Mayer, Ginni Rometty dll. Pada abad 21, dunia mulai memasuki Era 4.0 atau disebut era digital dengan kehadiran internet.

Era 4.0 ini yang sudah disebut-sebut sekitar tahun 2005, namun mulai ramai dibicarakan sejak tahun 2017.

Pemimpin Perempuan di Tengah Covid-19

Sudah banyak yang menyatakan bahwa pemimpin perempuan, telah melakukan pekerjaan yang lebih baik dalam memimpin selama krisis Covid-19 daripada pemimpin pria, contohnya pemimpin di negara New Zealand, Hong Kong, Taiwan dll.

Negara-negara tersebut, yang dipimpin perempuan mampu lebih cepat mengatasi Covid 19 dengan ketegasan dan kecepatan pengambilan keputusan disertai empati yang merupakan kekuatan seorang perempuan.

Sebuah riset pada Harvard Business Review di akhir tahun 2020 melakukan analisis penilaian 360 derajat yang dilakukan antara Maret dan Juni 2020. Hasil riset tersebut menunjukkan, perempuan dinilai bekerja lebih efektif.

Kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam pandemi bahkan lebih besar dari yang diukur sebelumnya--ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Riset ini menunjukkan bahwa perempuan cenderung berkinerja lebih baik dalam krisis.

Riset Harvard Business Review. Sumber: Zenger Folkman, 2020

Fakta menarik lainnya adalah perempuan dinilai lebih positif pada 13 dari 19 kompetensi yang mencakup efektivitas kepemimpinan secara keseluruhan dalam penilaian.

Tentunya ini adalah riset di negara Barat yang lebih maju dari pada Indonesia, lalu bagaimana Kartini 4.0 agar bisa sejajar dengan perempuan di negara maju? Apa yang mesti dilakukan Indonesia untuk mengejar ketertinggalan negara maju tersebut?

Riset Harvard Business Review. Sumber: Zenger Folkman, 2020

Kartini 4.0 Mesti Melek Digital

Dalam rangka mencapai kesetaraan gender, Presiden Jokowi menyatakan Indonesia berkomimen untuk meningkatkan keterwakilan perempuan hingga 30% di parlemen dan berbagai pembuat kebijakan.

Sementara Menteri BUMN, Erick Thohir, mentargetkan 15% keterwakilan perempuan di BUMN pada tahun 2021 dan menjadi 20% pada tahun 2023. Meskipun persentasi ini masih belum seperti di negara maju, namun komitmen ini sudah menunjukkan kepedulian dan keyakinan akan kemampuan Kartini Indonesia.

Lalu apa yang mesti dilakukan agar tercapai kesetaraan gender di Indonesia? Ternyata faktor utama untuk mencapainya adalah seberapa cepat Kartini Indonesia menguasai literasi digital.

Ya Kartini 4.0 mesti lebih banyak lagi meningkatkan minat belajar di bidang STEM (Science Technology Engineering Mathematic), berkarir di bidang IT termasuk di bidang ABC (Artificial Intelligence, Big Data, Cloud & Cyber Security).

Dunia digital yang saat ini didominasi para pria, harus segera diimbangi dengan pemimpin perempuan yang memang benar-benar memiliki kualitas dan kemampuan, bukan sekadar memenuhi kuota keterwakilan.

Data dari Weforum tahun 2018 menunjukkan, dengan asumsi kecepatan literasi saat ini, negara maju membutuhkan waktu 50 tahun untuk mencapai kesetaraan gender yang diprediksi akan terjadi pada 2065. Negara berkembang seperti Indonesia membutuhkan waktu 85 tahun atau tahun 2100 untuk tercapainya kesetaraan gender.

Untuk mempercepat kesetaraan gender di Indonesia, maka tidak cukup hanya dengan peningkatan keterwakilan perempuan di parlemen dan dunia usaha.

Pemerintah dan industri usaha perlu bekerja sama untuk mempercepat literasi digital bagi perempuan, hingga dua kali lipat dari saat ini, sehingga Indonesia akan mencapai kesetaraan gender pada tahun 2060.

Selain upaya peningkatan literasi digital dari pemerintah dan pelaku usaha, Kartini 4.0 juga harus mampu memotivasi dirinya sendiri untuk memiliki kemauan untuk belajar dan keyakinan akan kemampuannya menjadi pemimpin.

Perempuan Indonesia harus belajar untuk meningkatkan kompetensi yang dibutuhkan sebagai pemimpin masa kini seperti tabel penelitian Harvard di atas.

Dengan motivasi diri yang kuat, perempuan akan mampu membobol ‘atap kaca’ yang membatasi impian, potensi dan karirnya, sehingga bisa menjadi pemimpin yang lebih baik bagi perusahaan dan negaranya.

Perempuan Indonesia juga harus mau belajar meningkatkan kompetensi dan keahlian di bidang digital serta ilmu-ilmu baru abad 21, agar meningkatkan digital literasi dirinya, memotivasi anak-anak dan generasi muda perempuan Indonesia serta menjadi teladan bari perempuan lainnya.

Perempuan yang menguasai literasi digital akan meningkatkan GDP negara, mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi bangsa dan tentunya meningkatkan kesejahteraan keluarganya.

Dengan menguasai berbagai ilmu di bidang digital, maka Kartini 4.0 akan lebih banyak lagi menebarkan manfaat bagi keluarga, masyarakat, dan bangsanya.

Kartini 4.0, fasten your seat belt and get ready to shift to Era 5.0!

**Penulis adalah Sri Safitri, Deputy EVP Customer Experience & BUMN Digitalisation Telkom Indonesia

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya