Arteria Dahlan DPR: UU Pilkada Dibuat dengan Kecermatan

Masih berumur beberapa hari, UU Pilkada sudah menjadi polemik.

oleh Putu Merta Surya Putra diperbarui 09 Jun 2016, 12:20 WIB
Diterbitkan 09 Jun 2016, 12:20 WIB
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Liputan6.com, Jakarta - DPR telah mengesahkan Undang-Undang Pilkada yang baru. Masih berumur beberapa hari, UU ini sudah menjadi polemik.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) pun menilai ada pasal yang berpotensi mengganggu independensi penyelenggara pemilu itu. Pendamping Ahli Bidang Administrasi dan Regulasi Pilkada TemanAhok, I Gusti Putu Artha menyebut UU baru itu terlalu fokus di Jakarta (Jakarta sentris).

Anggota Komisi II DPR, Arteria Dahlan mengatakan pihaknya telah membuat hal tersebut dengan kehati-hatian dan kecermatan.

"Hadirnya ratusan norma baru yang menurut kami memastikan dapat diminimalisirnya penyimpangan dan kejahatan demokrasi, dengan tentunya belajar dari pengalaman pelaksanaan Pilkada Serentak 2015, ucap Arteria kepada Liputan6.com, Jakarta, Rabu, 7 Juni 2016.

Dia pun memastikan revisi tersebut tidak untuk DKI Jakarta. Tetapi untuk seluruh Indonesia.

"Jadi perspektifnya jangan Jakarta sentris. Toh selama ini sudah pernah dijelaskan bahwa ini direvisi tidak untuk Jakarta, tapi untuk hampir 560 Kabupaten/Kota, dan 34 Provinsi," ungkap Politikus PDIP itu.

Terkait verifikasi faktual calon untuk kepala daerah independen seperti Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, dia mengatakan DPR tidak mengubah ketentuan jangka waktunya.

"Yang kami batasi, apabila setelah dicek ternyata orangnya tidak ada di tempat. Nah ini yang kita batasi, tidak ada masalah dan kita sudah simulasikan semuanya clear, bahkan tim pasangan calon dapat mendampingi PPS untuk menjamin kualitas dukungannya," lanjut Arteria.

Menurut dia, UU yang baru ini dirancang agar seluruh stakeholder dapat bekerja dengan baik.

"UU baru ini memaksa semua stakeholder pilkada untuk bekerja terukur dan bertanggung jawab," tandas Arteria.

Senada, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKS Al Muzammil Yusuf menegaskan, verifikasi faktual sebenarnya untuk menghindari manipulasi dukungan KTP.

"Verifikasi yang ketat dengan cara sensus, untuk hindarkan manipulasi dukungan KTP," jelas Muzammil.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya