Cerita Mahfud Md soal Perubahan Aturan Pilkada di Indonesia dari Masa ke Masa

Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md membeberkan pengalamannya selama terlibat dalam pembahasan aturan Pilkada di Indonesia dari masa ke masa

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 11 Sep 2020, 18:42 WIB
Diterbitkan 11 Sep 2020, 18:35 WIB
Menko Polhukam Mahfud Md
Menko Polhukam Mahfud Md. (Liputan6.com/Putu Merta Surya Putra)

Liputan6.com, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud Md membeberkan pengalamannya selama terlibat dalam pembahasan aturan Pilkada di Indonesia dari masa ke masa. Hingga kondisinya yang saat ini bersinggungan dengan pandemi virus Corona atau Covid-19.

"Bahwa Pilkada tahun ini harus membangun kualitas demokrasi dan jauh dari korupsi. Lalu sesudah pandemi ditambah satu lagi, kualitas demokrasi jauh dari korupsi dan aman dari Covid-19," tutur Mahfud dalam diskusi virtual, Jumat (11/9/2020).

Mahfud mulai mengingatkan pada 2012 lalu, KPK, KPU, Kemendagri, MK, dan Kemenko Polhukam pernah terlibat diskusi di Hotel Mulia. Agenda tersebut berangkat dari keprihatinan Pilkada langsung yang telah menimbulkan masalah besar.

"Maraknya korupsi yang semakin besar, saya pada waktu itu memberi 12 catatan kelemahan Pilkada langsung itu. Antara lain pemalsuan surat-surat, teror terhadap pemilih, penyalahgunaan jabatan, dan macam-macamlah," kata dia.

"Penyuapan terutama, antarpejabat, penyuapan dari cukong, penyuapan dari calon kepada pemilih yang kita kenal politik uang, waktu itu dianggap sudah sangat merusak," jelas Mahfud.

Di tahun 2012 itu juga, lanjut Mahfud, pimpinan ormas besar Nahdlatul Ulama dan Muhammdiyah menyatakan Pilkada langsung itu adalah Pilkada yang lebih banyak mudharat daripada maslahatnya.

Hingga akhirnya muncul keputusan Pilkada dikembalikan ke DPRD. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat itu mengeluarkan amanat presiden yang meminta agar Undang-Undang Pilkada diubah dari pemilihan langsung ke DPRD.

"Itu semua parpol setuju, aklamasi, parpol-parpol tidak ada yang menolak di dalam lobi-lobi itu," kata Mahfud.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

Perubahan kembali terjadi

Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)
Ilustrasi pilkada serentak (Liputan6.com/Yoshiro)

Perubahan pun kembali terjadi usai persaingan Pilpres antara Prabowo Subianto dan Joko Widodo atau Jokowi, yang kemudian menghasilkan dua polarisasi politik berbeda. Jokowi menang di pemilihan langsung, sementara Prabowo unggul di parlemen.

"Terjadi kekhawatiran pada waktu itu, kalau UU dengan pemilihan lewat DPRD ini jadi, nanti pemerintah enggak akan stabil. Karena apa? karena parlemennya dikuasai oleh oposisi yang dipimpin oleh Gerindra dan Pak Prabowo, sedangkan Presidennya dipimpin oleh PDIP yang menang pemilu dan menang Pilpres, tetapi di parlemen jumlah suaranya masih kalah banyak pada waktu itu," bebernya.

Hingga akhirnya, SBY mengundangkan Undang-Undang Nomor 22 tahun 2014 sebelum DPR baru dilantik. Namun setelah DPR baru dilantik pada 1 Oktober, masuk tanggal 2 Oktober SBY mencabut UU Nomor 22 Tahun 2014 dengan Perppu nomor 1 tahun itu juga, sembari menunggu pelantikan Presiden baru tanggal 20 Oktober.

"Jadi hanya berlaku dua hari, dicabut. Berlakulah UU yang sekarang ini sesudah diubah beberapa kali. Nah artinya apa? artinya proses Pilkada kita ini dari waktu ke waktu berjalan melalui eksperimen yang tidak pernah selesai. Sekarang ini yang final yang berlaku. Kita tidak tahu ke depannya seperti apa, tapi intinya sama. Dulu merusak, pilihan langsung itu merusak rakyat karena laporan-laporan yang ada," Mahfud menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya