Liputan6.com, Jakarta - Dalam dunia properti Anda pasti sering mendengar istilah NJOP dan NJKP. Nilai Jual Objek Pajak atau yang disingkat NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar.
Bila mana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Obyek Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau Nilai Jual Obyek Pajak Pengganti.
Sementara NJKP atau Nilai Jual Kena Pajak/assessment value adalah besaran nilai jual objek yang akan dimasukkan ke dalam perhitungan pajak terhutang (Pasal 6 ayat (3) UU PBB). Itu berarti, NJKP merupakan bagian dari NJOP.
Advertisement
NJKP bisa berada di angka yang sama dengan nilai jual, dan bahkan lebih rendah atau tinggi dari nilai jual. Besaran NJKP ditetapkan serendah-rendahnya 20 persen dari nilai jual, dan setinggi-tingginya 100 persen dari nilai jual.
Dalam Bisnis Properti
Seperti ditulis Rumah.com, Selasa (16/2/2016) di bidang properti, NJOP merupakan nilai yang ditetapkan negara sebagai dasar pengenaan pajak bagi PBB. Perkembangan sebuah kawasan, membuat nilai jual properti meningkat.
Untuk mengantisipasinya, pemerintah melalui menteri keuangan menetapkan NJOP setiap tiga tahun sekali. Namun, di daerah tertentu yang berkembang sangat pesat, mengakibatkan nilai jual naik signifikan, sehingga penetapan NJOP dilakukan setahun sekali.
NJOP ditetapkan per meter persegi dan seringkali diasumsikan sebagai harga terendah atas properti. Biasanya properti yang dijual dengan harga 1,5 hingga dua kali lipat dari harga NJOP.
Dilihat dari sisi bisnis, NJOP juga memiliki kekurangan. Misalnya, ada dua bidang tanah di satu kawasan, satu bidang tanah terletak di pinggir jalan, sementara yang satu lagi ada di dalam gang. Dilihat dari sisi pajak, keduanya memiliki besaran pajak yang sama, tetapi dari sisi nilai jual, tentu berbeda—tanah di pinggir jalan pasti lebih mahal.
Besaran NJKP 40%
Besarnya Nilai Jual Kena Pajak empat puluh persen sebagai dasar penghitungan pajak yang terutang, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (3) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994, adalah sebagai berikut :
Objek pajak perumahan, yang wajib pajaknya perseorangan dengan Nilai Jual Obyek Pajak atas bumi dan bangunan sama atau lebih besar dari Rp 1.000.000.000,00 (Satu miliar rupiah).
Objek pajak perkebunan, yang luas lahannya sama atau lebih besar dari 25 Ha (dua puluh lima hektare) yang dimiliki, dikuasai atau dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara, badan usaha swasta, maupun berdasarkankerjasama operasional antara pemerintah dan swasta.
Objek pajak kehutanan, tetapi tidak termasuk areal blok tebangan dalam rangka penyelenggaraan kegiatan Pemegang Hak Pengusahaan Hutan, Pemegang Hak Pemungutan Hasil Hutan dan Pemegang Izin. (Fathia A/Ahm)
Foto: pixabay