Pengembang Beberkan Kendala Seputar Program Rumah Subsidi

Di tengah jadi primadona para pencari rumah murah, program rumah subsidi memiliki 3 permasalahan penting.

oleh Kantrimaharani diperbarui 06 Sep 2016, 14:37 WIB
Diterbitkan 06 Sep 2016, 14:37 WIB
Evaluasi Rumah subsidi
Di tengah jadi primadona para pencari rumah murah, program rumah subsidi memiliki 3 permasalahan penting.

Liputan6.com, Jakarta Program rumah subsidi di Indonesia sangat diminati oleh masyarakat Indonesia, khususnya para pencari rumah pertama (first time buyer).

Harga yang terjangkau, uang muka dan cicilan yang rendah menjadi daya tarik rumah subsidi. Namun, di sisi pengembang, program rumah subsidi memiliki beberapa kekurangan.

Dilansir dari Rumah.com, Irfan Firmansyah, Ketua REI Jawa Barat (Jabar), mengatakan bahwa sedikitnya ada tiga kekurangan dalam pelaksanaan program rumah subsidi dari kaca mata pengembang.

Kekurangan tersebut antara lain pemberian hak Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP), ketersediaan lahan yang terbatas, dan proses perizinan yang terlalu lama.

Menurut Irfan, FLPP khusus untuk landed house (rumah tapak) tidak bisa dinikmati oleh semua masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).

“Paling banyak konsumen (rumah subsidi) berasal dari buruh pabrik, pegawai negeri, dan golongan khusus (seperti ABRI, Polisi, dan lain-lain). Penghasilan mereka tercatat di bawah Rp4 juta,” kata Irfan.

“Tetapi, ada profesi lain seperti profesi informal yang tidak punya income statement (laporan laba rugi) yang jelas. Akibatnya, tidak bisa dibiayai oleh perbankan dengan alasan kepastian penghasilan berisiko terlalu tinggi,” papar Irfan.

Profesi yang termasuk golongan tersebut antara lain penjual rokok, pedagang kaki lima, dan semacamnya.

Di Jabar, pengembangan rumah subsidi masih tersebar di beberapa wilayah industri baru seperti Cikampek, Karawang, Sukabumi, Kabupaten Bandung, dan Tasikmalaya.

Masalah kedua, mengenai ketersediaan lahan, dialami pengembang. Tingginya harga tanah di lokasi yang ideal membuat pengembang kesulitan membangun rumah dengan harga terjangkau.

“Di daerah Bekasi misalnya, banyak pengembang yang merasa terbatasi oleh harga jual lahan dan lokasi yang terlalu pinggir. Sehingga sangat menghambat percepatan untuk penjualan rumah,” jelasnya.

Akibat lahan dengan harga ideal yang terbatas, target pembangunan rumah subsidi di Jawa Barat pun belum tercapai.

“Tahun 2015, rumah subsidi hanya 17.000-an. Di awal tahun 2016 hanya 25.000 Padahal target seluruhnya di 2016 tercatat 50.000. Sedihnya, per Juni-Juli tahun ini baru tercatat 8.000 unit. Hal itu, dikarenakan terbatasnya lahan, karena harga terlampau tinggi,” ujarnya.

Developer dituntut untuk memenuhi pangsa pasar FLPP. Meski diiming-iming dengan pertumbuhan bunga naik 5% sampai tahun 2018.

Namun, pertumbuhan harga di lapangan (harga lahan) tidak sebanding dengan harga jual.

Masalah ketiga, yaitu perizinan, disebabkan banyaknya ‘pintu’ yang harus dilalui pengembang sebelum mendapat lampu hijau membangun rumah subsidi. Durasi setiap tahap perizinan pun tak bisa dibilang singkat.

“Semakin lama waktu perizinan, semakin tinggi biaya yang dikeluarkan. Pemerintah janji akan merealisasikan izin sampai satu tahun. Belum lagi masih ada beban bunga, biaya, dan beban investasi,” ia menjelaskan.

Irfan berharap agar Pemerintah memberikan perhatian terhadap kendala-kendala tersebut agar program sejuta rumah dapat tercapai.

Foto utama: Perumahan Permata Indah Regency 2

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya