Kerajaan Ular Semarang di Lawangsewu?

Terowongan bawah tanah itulah yang dicurigai sebagai pusat habitat ular piton yang meneror warga di pusat Kota Semarang.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 26 Feb 2016, 20:42 WIB
Diterbitkan 26 Feb 2016, 20:42 WIB
Gedung Lawangsewu, Kota Semarang
Suasana Gedung Lawangsewu, Kota Semarang, Jawa Tengah, menjelang magrib. (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

Liputan6.com, Semarang - Banyak warga memercayai adanya terowongan atau drainase bawah tanah berukuran raksasa di pusat Kota Semarang, Jawa Tengah. Terowongan bawah tanah itulah yang dicurigai sebagai pusat habitat piton atau 'kerajaan ular' yang meneror warga Jalan Anggrek di pusat Kota Semarang.

Menelusuri kabar burung itu, Liputan6.com mendatangi Gedung Lawangsewu yang menjadi salah satu ikon Kota. Dengan diantar Manajer Museum PT Kereta Api Indonesia (KAI) Semarang Sapto Hartoyo, Liputan6.com pun ditunjukkan terowongan yang dimaksud.

Menurut Sapto, isu mengenai drainase raksasa yang dibangun untuk menjaga agar Semarang tidak banjir memang pernah didengarnya. Bahkan terowongan bawah tanah di Gedung Lawangsewu disebut-sebut sebagai salah satu kanal.

"Ini masih mendingan kalau dianggap sebagai drainase raksasa. Pernah juga dikabarkan sebagai penjara bawah tanah. Tapi semuanya kok kayaknya meragukan," kata Sapto Hartoyo di Semarang, Jumat (26/2/2016).

Lorong atau terowongan bawah tanah di gedung yang dibangun pada 1904 dan selesai 1907 itu memang sangat besar. Gedung ini memiliki tinggi hingga 2,5 meter atau lebih, dan lebar sekitar 2 meter. Lorong bawah tanah gedung yang dibangun arsitek Profesor Jacob F Klinkhamer (TH Delft) dan BJ Quendag.

Rancangan arsitek yang berdomisili di Amsterdam itu dikerjakan di Belanda. Baru kemudian gambar-gambar dibawa ke Kota Semarang. Melihat dari cetak biru Lawangsewu tertulis bahwa site plan dan denah bangunan ini telah digambar di Amsterdam pada 1903.

Begitu pula kelengkapan gambar kerjanya dibuat dan ditandatangani di Amsterdam pada 1903. "Untuk panjangnya, saya tidak bisa ngomong, karena memang yang bisa dijangkau hanya ini," beber Sapto.

Terowongan Saluran Air?

Sapto menyebutkan, bangunan ini memang banyak menarik perhatian. Namun sampai sejauh ini belum ada satu pun yang bisa membuktikan lorong itu sebagai saluran air.

Arsitek yang tengah meneliti sejumlah bangunan kuno dan planologi dari Unika Soegijopranoto, Tjahjono Raharjo mengungkapkan, lorong tersebut bukan saluran air. Semua bangunan Belanda memiliki tipikal sama, yakni ada ruang bawah tanah yang kadang difungsikan sebagai gudang.

Lorong bawah tanah Gedung Lawangsewu, Kota Semarang Jawa Tengah. (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

"Ada yang menyebut lorong itu terhubung dengan SMAN 1 dan Benteng Pendem. Ini sangat tidak masuk akal," kata Tjahjono kepada Liputan6.com.

Perbedaan tahun pembangunan menjadi alasan utama Tjahjono. Gedung SMA N 1 Semarang dibangun tahun 1936. Dan memang bangunan itu sejak awal difungsikan sebagai sekolah.

Sementara Benteng Pendem dibangun antara 1835 sampai 1840. Benteng itu resminya bernama Fort Prins van Oranje, artinya Benteng Pangeran Oranye. Sayang benteng ini sekarang sudah hilang.

"Kalau dengan alasan planologi futuristik yang mengantisipasi perkembangan kota, juga sangat tidak mungkin. Karena ular-ular yang keluar itu asalnya dulu adalah sawah dan rawa-rawa," papar Tjahjono.

Saat ini lorong bawah tanah Lawangsewu sangat bersih. Untuk menuju ke sana, harus menuruni tangga yang merupakan lantai dasar. Setelah menuruni tangga, terlihat sebuah pintu dengan tinggi 2,5 meter dan lebar 2 meter. Di beberapa titik, sisi kiri dan kanan terdapat bilik berjajar berukuran 3 x 3 meter.

"Dari situ saja sudah jelas bahwa lorong itu bukan drainase. Kalaupun kemudian dianggap banyak ular, karena memang sudah berusia ratusan tahun dan dibayangkan kondisinya sangat kotor," kata Tjahjono.

Baik Sapto Hartoyo maupun Tjahjono meyakini, teror ular phyton berbagai ukuran yang muncul bersamaan itu tak ada kaitannya dengan lorong bawah tanah Lawangsewu. Karena lorong itu lebih berfungsi sebagai pergudangan.

"Mosok saluran air dengan lantai mewah seperti ini? Terus air dari luar masuk dari mana," kata Sapto mempertanyakan.

Membongkar 'Kerajaan Ular'

Sementara itu, untuk mengurangi jumlah ular phyton yang berkeliaran, warga Jalan Anggrek bekerja bakti membersihkan lingkungan. Dalam kerja bakti itu ikut pula Totok Bayu Wibowo (44) yang biasa menangkap ular liar.

Saat membakar semak dan membersihkan lahan kosong di Jalan Anggrek Raya Nomor 20, Totok menemukan seekor ular piton jenis reticulatus. Meski masih tergolong kecil, yakni sebesar betis dan panjang 1,5 meter, temuan itu cukup melegakan.

Setelah ular dikepung, Totok beraksi. "Saya masuk, naik (ke tumpukan runtuhan tembok), tahu-tahu ada ular. Saya  diamkan dulu memastikan betul ulat tidak. Pas dia mau lari langsung saya tubruk," ucap Totok.

Warga menemukan lagi seekor ular piton dari lahan kosong di Jalan Anggrek, Kota Semarang, Jawa Tengah. (Edhie Prayitno Ige/Liputan6.com)

Setelah ular tertangkap, anggota TNI dan Polri yang ikut bekerja bakti langsung memberikan bantuan dan membawanya keluar lahan kosong. Ular kemudian ditempatkan di karung yang sudah disiapkan.

"Ularnya keluar karena dibakar itu. Tanahnya kan jadi panas. Kemungkinan masih ada," kata Totok.

Rencananya Totok akan menjual ular tersebut bagi orang-orang yang minat. Tidak jarang juga Totok mendapatkan rezeki lebih karena berhasil menangkap dan menjual ular di kampungnya.

"Kemarin yang 4 meter itu laku Rp 200 ribu. Ini ya mungkin Rp 100 ribu," ungkap dia.

Sementara itu Camat Semarang Tengah, Bambang Suranggono berharap dengan ditemukannya satu ular tersebut tidak akan muncul lagi ular-ular yang lain. Selain itu langkah yang dilakukan pemerintah setempat bersama warga dan aparat keamanan juga untuk menjamin kenyamanan warga yang selama ini resah.

Bantahan Sejarawan

Adapun sejarawan Kota Semarang Jongkie Tio menampik dugaan adanya terowongan penghubung Lawangsewu, Rumah Sakit Kariadi, SMAN 1, dan Benteng Pendem. Menurut dia, lorong bawah tanah itu belum tentu saluran drainase karena hingga kini belum pernah ditemukan lorong yang saling berhubungan itu.

"Itu semacam mitos saja barangkali. Namun kalau ada yang meyakini ya monggo, yang pasti bukti keberadaan lorong itu tak ditemukan," kata Jongkie Tio.

Jongkie mengisahkan pengalaman masa kecilnya tinggal di kawasan seputar Simpang Lima. Menurut dia, saat hujan yang menyebabkan banjir, banyak ular berkeliaran. Namun, ia tak menyebutkan hal itu disebabkan karena adanya drainase.

Jongkie justru menyalahkan dataran rendah dan ketiadaan drainase yang justru menyebabkan banjir selalu terjadi di kawasan Simpang Lima. Penanganan serius terhadap banjir di kawasan itu baru dimulai pasca-Orde Baru, yakni saat dipimpin Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip.

"Sebelumnya memang ada pembuatan saluran tambahan, yakni di Kampung Kali," kata Jongki Tio.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya