Liputan6.com, Padang - Konflik manusia dan beruang di kawasan yang berbatasan langsung dengan Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) menjadi cerita rutin bagi warga setempat. Seperti yang terjadi baru-baru ini terjadi di Desa Landai, Kabupaten Solok Selatan, Sumatera Barat.
Seekor bayi beruang madu berumur sekitar 5 bulan terperangkap jerat warga. "Kejadian seperti itu sering. Dua tahun belakangan kami kerap menangani kasus ini," kata Direktur Institution Conservation Society (ICS), Salpa Yanri, pada Liputan6.com, Kamis, 7 April 2016.
Menurut data ICS, setahun terakhir konflik beruang madu dengan warga jauh menurun dibanding dua tahun sebelumnya. Pihaknya menduga, penurunan populasi bisa menjadi penyebab berkurangnya konflik akibat deforestasi.
Baca Juga
ICS mencatat, sepanjang 2014 hingga 2015 terjadi sekitar tiga kasus konflik beruang dengan manusia.
Pada periode yang sama, ICS mendapatkan dua kasus harimau Sumatera terjerat perangkap di kawasan TNKS dan Hutan Lindung Batang Hari.
Konflik sering dijumpai di kawasan Sangir, Sangir Jujuan, dan Sangir Batang Hari. Konflik ini sering ditemui saat musim buah-buahan.
Advertisement
"Beruang biasanya memasuki kebun warga karena habitatnya yang terganggu akibat illegal logging," kata Salpa.
Terkait informasi perburuan liar terhadap satwa yang dilindungi ini, kata dia, pihaknya belum menemukan kasus tersebut.
"Kalau harimau kami yakin sering terjadi, kami bersama BKSDA dan tim dokter pernah melepas harimau yang terjerat perangkap," ujar Salpa.
Meski mengetahui adanya pemburu satwa ilegal, pihaknya belum berani menginformasikan ke media. Menurutnya, ICS pernah melaporkan terkait perburuan satwa yang dilindungi, tapi pihak penegak hukum sulit untuk membuktikannya.
"Orangnya (pelaku perburuan) tahu, tapi kita tidak bisa membuktikan kalau mereka yang memasang perangkap," kata Salpa.
Harimau menjadi satwa yang kerap menjadi sasaran perburuan liar di kawasan TNKS. Pihak ICS mengendus, penjualan satwa itu dilakukan ke Pekanbaru, Palembang, melalui Padang.