Lampung Catat 1.658 Kasus Konflik Manusia dan Satwa Liar Akibat Berkurangnya Habitat Satwa

Dampak ekonomi dari konflik itu pada tahun 2021 mencapai Rp547 juta lebih. Penyebab utama konflik di antaranya adalah fragmentasi habitat, penyempitan koridor satwa, degradasi kualitas lingkungan, serta maraknya perburuan liar.

oleh Ardi Munthe Diperbarui 16 Apr 2025, 18:00 WIB
Diterbitkan 16 Apr 2025, 18:00 WIB
Lokasi kejadian seorang warga tewas setelah diserang gajah liar di Tanggamus, Lampung. Foto : (Istimewa).
Lokasi kejadian seorang warga tewas setelah diserang gajah liar di Tanggamus, Lampung. Foto : (Istimewa).... Selengkapnya

Liputan6.com, Lampung - Konflik antara manusia dan satwa liar terus menjadi persoalan serius di Provinsi Lampung. Sepanjang periode 2021 hingga 2025, tercatat sebanyak 1.658 kasus konflik terjadi, mengakibatkan sembilan orang meninggal dunia dan 14 lainnya mengalami luka-luka.

Data itu disampaikan dalam pertemuan Gubernur Lampung, Rahmat Mirzani Djausal bersama Kepala Balai Besar Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (BBTNBBS) Ismanto dan Kepala Balai Taman Nasional Way Kambas (TNWK) Zaidi, yang berlangsung di Ruang Kerja Gubernur, Bandar Lampung, Senin (14/4/2025).

Dalam kesempatan itu, Gubernur Mirza menegaskan komitmennya untuk memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak, khususnya BBTNBBS dan TNWK, dalam menjaga kelestarian lingkungan dan mencegah interaksi negatif antara manusia dan satwa liar.

"Konflik ini tidak hanya mengancam keselamatan dan ekonomi masyarakat, tapi juga menjadi ancaman besar terhadap kelestarian keanekaragaman hayati, terutama bagi satwa endemik seperti Gajah Sumatera dan Harimau Sumatera," ujar Mirza.

Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Ruchyansyah Dachlan, yang turut hadir dalam pertemuan tersebut, menjelaskan bahwa konflik terjadi akibat tumpang tindih penggunaan ruang antara manusia dan satwa liar, baik di kawasan konservasi maupun hutan lindung.

“Pergerakan satwa liar ini seringkali berdampak pada kerugian materil, korban jiwa, dan trauma psikologis masyarakat,” terang dia.

Ruchyansyah juga mengungkapkan bahwa dampak ekonomi dari konflik itu pada tahun 2021 mencapai Rp547 juta lebih. Penyebab utama konflik di antaranya adalah fragmentasi habitat, penyempitan koridor satwa, degradasi kualitas lingkungan, serta maraknya perburuan liar.

Sebagai upaya mitigasi, Pemprov Lampung telah membentuk tim koordinasi dan satuan tugas (satgas) penanganan konflik tingkat provinsi, memberikan pendampingan serta bantuan logistik kepada masyarakat dan tim lapangan, hingga melakukan patroli mitigasi dan pemantauan pergerakan satwa.

TNBBS dan TNWK diketahui merupakan habitat penting bagi satwa kunci, termasuk gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dan harimau sumatera (Panthera tigris sumatrae), yang wilayah jelajahnya melampaui batas kawasan konservasi.

Kepala BBTNBBS Ismanto memaparkan bahwa pihaknya telah merealisasikan pemulihan ekosistem seluas 9.016 hektare dari target 20.467 hektare dalam kurun 2020-2024.

"Upaya tersebut kami lakukan bersama Kodim 0422/Lampung Barat, termasuk restorasi vegetasi dan pelepasliaran satwa pakan harimau sumatera," jelas Ismanto. 

Sementara itu, Kepala Balai TNWK, Zaidi menuturkan bahwa mitigasi konflik dengan gajah liar terus dilakukan melalui identifikasi kelompok gajah, pemasangan GPS collar, dan pendampingan desa rawan konflik.

"Sejak 2006, kami juga membentuk masyarakat mitra perlindungan hutan (MMP) serta Elephant Response Unit (ERU) guna mencegah konflik di lapangan," kata Zaidi.

Upaya lainnya termasuk pembangunan tanggul dan kanal di kawasan TNWK sejak 1990-an, pembentukan tim terpadu penanganan konflik di Kabupaten Lampung Timur melalui SK Bupati tahun 2022, hingga penyusunan roadmap dan rencana aksi penanganan konflik manusia-gajah.

 

 

Video Pilihan Hari Ini

EnamPlus

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya