Kekerasan Seksual di Dunia Kedokteran, RSA UGM Kuatkan Sistem Perlindungan Berlapis

Peristiwa ini menjadi pengingat bahwa ruang-ruang layanan kesehatan, yang seharusnya menjadi tempat perlindungan dan pemulihan, masih memiliki celah kerentanan terhadap kekerasan berbasis kuasa.

oleh Yanuar H Diperbarui 24 Apr 2025, 14:00 WIB
Diterbitkan 24 Apr 2025, 14:00 WIB
Soal Kasus Kekerasan Seksual oleh Dokter, Anggota Komisi IX DPR RI: Tindakan Paling Tercela dan Coreng Profesi Kedokteran
Soal Kasus Kekerasan Seksual oleh Dokter, Anggota Komisi IX DPR RI: Tindakan Paling Tercela dan Coreng Profesi Kedokteran. Foto ilustrasi dibuat oleh AI.... Selengkapnya

Liputan6.com, Yogyakarta - Masyarakat dikejutkan dengan kasus oknum peserta Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) Anestesi di salah satu RS di Bandung yang melakukan kekerasan seksual pada pasien. Berkaca dalam kasus ini sangat penting penguatan sistem perlindungan pasien, serta evaluasi menyeluruh terhadap pola pembinaan dan pengawasan tenaga medis, termasuk mereka yang tengah menjalani pendidikan spesialis.

Melihat kasus itu, sebagai rumah sakit pendidikan, Rumah Sakit Akademik Universitas Gadjah Mada (RSA UGM) menyadari tanggung jawab besar dalam membentuk tenaga medis yang tidak hanya unggul secara klinis, tetapi juga menjunjung tinggi nilai-nilai etik dan profesionalisme. Direktur RSA UGM, Darwito, mengatakan di institusinya proses seleksi PPDS tidak hanya mengukur aspek akademik tetapi juga integritas kepribadian. “Seleksi itu tidak berhenti pada nilai akademik. Setelah ujian keilmuan, ada juga tes psikologi seperti MMPI dan wawancara yang bertujuan menggali karakter,” tegasnya.

Darwito menjelaskan di awal masa pendidikan, peserta PPDS dibekali kuliah umum yang salah satu topiknya adalah etika kedokteran yang bertujuan memberikan landasan awal tentang prinsip-prinsip moral yang harus dipegang oleh calon dokter spesialis dalam menjalankan profesinya. Tapi, etika dengan nilai-nilai etis harus terus ditanamkan, dilatih, dan dijalankan sepanjang masa pendidikan klinis sehingga tidak terjadi kasus kekerasan seksual.

Ia mengatakan dalam dunia medis yang kompleks dan penuh tekanan, sikap etis tidak bisa lahir secara instan, melainkan perlu dibentuk melalui proses panjang, interaksi nyata dengan pasien, serta pembimbingan dari para pendidik yang konsisten memberi teladan. “Ini adalah proses long life learning,” ujarnya.

Pendidikan etika menurutnya harus menjadi bagian yang menyatu dalam keseharian residen, dari awal hingga akhir masa studi hingga praktik mandiri sebagai dokter spesialis. Sehingga peran dosen dan dokter penanggung jawab pasien (DPJP) menjadi sangat penting sebagai pembimbing sekaligus teladan.

Ia mengatakan RSA UGM menerapkan sistem pendidikan berjenjang dengan supervisi ketat dengan para residen menjalani tahapan merah, kuning, dan hijau, mulai dari tahap observasi hingga mandiri dengan pengawasan dari DPJP di setiap tahapannya. Evaluasi terhadap aspek etik dan komunikasi juga dilakukan oleh DPJP sebagai penilai utama performa residen. “Tahap merah belum boleh memegang pasien. Kuning boleh tapi masih dibimbing. Hijau baru bisa mandiri. Semua tetap dalam pengawasan DPJP,” jelas Dr. Darwito.

Soal isu kekerasan seksual, RSA UGM mengakui hingga saat ini belum memiliki pelatihan khusus, tetapi materi mengenai kekerasan seksual, bullying, dan penyalahgunaan wewenang telah disisipkan dalam sesi awal pendidikan. Ini sebagai bentuk komitmen bersama antara RSA dan Fakultas Kedokteran UGM untuk menjaga marwah pendidikan kedokteran yang bermartabat. “Semua residen di sini menandatangani kontrak bahwa mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang. Kalau melanggar, ya dikembalikan ke fakultas,” ujarnya.

Seabgai bentuk nyata pengetatan perlindungan pasien secara preventif RSA UGM telah memasang kamera pengawas (CCTV) di berbagai titik strategis dalam lingkungan rumah sakit untuk memastikan seluruh aktivitas terekam dan dapat diawasi dengan baik. Kehadiran sistem pemantauan ini menjadi instrumen penting dalam mencegah potensi pelanggaran dan memastikan transparansi dalam interaksi yang terjadi di lingkungan rumah sakit.

Selain itu, RSA juga menerapkan pengaturan sistem jaga yang memisahkan residen laki-laki dan perempuan guna meminimalkan potensi kerentanan dan menjaga kenyamanan seluruh peserta didik. Menurutnya, keberadaan DPJP sebagai pengawas utama dalam setiap kegiatan pendidikan menjadi kunci dalam memastikan jalannya proses pembelajaran yang tidak hanya aman secara fisik, tetapi juga etis dan profesional. “Kami usahakan tidak ada pencampuran shift jaga antara laki-laki dan perempuan. Semua kegiatan pendidikan dipantau oleh DPJP,” tutur Darwito.

Soal bagaimana RSA menyikapi kasus kekerasan seksual yang terjadi di luar institusi, Darwito menekankan pentingnya membedakan antara tindakan dalam kapasitas pendidikan dan tindakan pribadi. “Kalau itu pidana murni, ya itu urusan negara. Tapi kalau terjadi dalam proses pendidikan di rumah sakit, kami bisa beri sanksi akademik, termasuk mengeluarkan. Institusi wajib bertindak jika TKP-nya di sini. Tapi kalau di luar dan di luar jam pendidikan, itu bukan wewenang rumah sakit,” tegasnya.

Kasus ini menjadi momen penting bagi RSA UGM untuk memperkuat sistem pendidikan dengan komitmen menegakkan tiga koridor penting, yakni etika, norma, dan hukum. Dengan sistem pengawasan berlapis dan kehadiran para pendidik yang menjadi panutan, RSA UGM terus membangun ruang belajar yang aman dan bermakna. “Etika dan norma kita jaga lewat SOP dan teladan. Kalau hukum ya kita serahkan pada aparat. Yang jelas, pendidikan harus menanamkan nilai-nilai itu sejak awal,” ujarnya.

Live Streaming

Powered by

Video Pilihan Hari Ini

Produksi Liputan6.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya