Liputan6.com, Jakarta - Pembahasan soal perempuan dan perannya lebih intensif saat momentum peringatan Hari Kartini tiap 21 April. Emansipasi perempuan Indonesia memang lekat dengan sosok Raden Ajeng Kartini.
Perempuan ningrat kelahiran Jepara ini mendobrak stigma perempuan Jawa yang lemah. Sebenarnya tak semua semua perempuan Jawa sesuai stigma tersebut. Dalam sejarahnya banyak perempuan-perempuan hebat.
Peter Carey, sejarawan Universitas Oxford dalam buku Perempuan-perempuan Perkasa di Jawa Abad XVIII-XIX, mencontohkan salah satu perempuan hebat itu adalah Raden Ayu Serang. Siapakah dia?
Raden Ayu Serang—lebih dikenal sebagai Nyi Ageng Serang—dilahirkan di Desa Serang, 40 kilometer sebelah utara Surakarta dekat Purwodadi di pinggir Kali Serang sekitar tahun 1762. Nyi Ageng Serang adalah perempuan pejuang yang gigih berperang melawan penjajah di daerah Kulon Progo.
Nama aslinya Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi. Ia putri bungsu Pangeran Natapraja, penguasa Serang yang juga teman seperjuangan Pangeran Mangkubumi (Hamengku Buwono I).
Sewaktu berusia 16 tahun, Nyi Ageng Serang pernah dipersunting oleh Hamengkubowo II, tapi perkawinan mereka tidak bertahan lama. Sang raden ayu lalu menikah lagi dengan Pangeran Serang I (Pangeran Mutia Kusumowijoyo) yang masih kerabat keluarga Kalijaga. Pasangan itu lantas mukim di Serang, dekat Demak, daerah di kawasan pantai utara Jawa.
Putranya, Pangeran Kusumowijoyo yang dijuluki Pangeran Serang II, menjadi panglima Diponegoro di areal Demak pada bulan-bulan awal Perang Jawa.
Baca Juga
Peter Carey menyebut berkat latar belakang keturunan mereka yang berasal pada sang wali dan laku tirakatnya, sang pangeran dan ibunya sangat dihormati pengikut Diponegoro karena dianugerahi kasekten (kesaktian atau tenaga batin) luar biasa. Kemampuan itu dicapai dengan bersemadi dalam gua-gua sunyi di pantai selatan Jawa.
Bahkan terdapat kabar angin Diponegoro bersiap mengalihkan sebagian wewenangnya kepada cucu Raden Ayu Serang—Raden Mas Papak—bila ia menang melawan Belanda.
Dalam Perang Jawa, Nyi Ageng Serang ikut angkat senjata membantu putranya. Ia adalah ahli siasat dan strategi. Nyi Ageng Serang dikabarkan menggunakan taktik kamuflase daun keladi atau daun lumbu yang wajib dibawa setiap prajurit dan rakyat yang ikut berperang.
Dengan daun itu, Nyi Ageng Serang memerintahkan pasukannya untuk melindungi kepalanya dalam penyamaran, sehingga tampak seperti kebun tanaman keladi dari kejauhan. Setelah dekat dan dalam jarak sasaran, barulah musuh dihancurkan.
Di pusat pertigaan jalan utama Kulon Progo ada patung Nyi Ageng Serang yang sedang menaiki kuda dengan membawa tombak berbendera di tangannya. Ini menggambarkan betapa perkasanya sang raden ayu.
Ia meraja-lela dan membunuh musuh, termasuk Ki Simbar Jaya si pengkhianat dengan senjatanya cundrik dan selendangnya. Karena kesaktiannya, oleh masyarakat Serang sang raden ayu dijuluki Djayeng Sekar.
Kemasyurannya sebagai anggota keluarga Sunan Kalijaga yang dimuliakan itu, belum lagi kehidupannya sebagai seorang pejuang dan perempuan pertapa, memungkinkan Nyi Ageng Serang memberikan pengaruh penting pada penduduk daerah asalnya, Serang-Demak, bahkan lama setelah Perang Jawa resmi berakhir, 28 Maret 1830.
Setelah Raden Mas Papak menyerah, Nyi Ageng Serang hidup dalam pengawasan Belanda. Mencapai usia 93 tahun, ia hidup lebih lama dibanding putranya, Pangeran Serang II, maupun cucunya, Raden Mas Papak dan kerabatnya, Pangeran Diponegoro.
Nyi Ageng Serang wafat pada 10 Agustus 1855. Saat itu, penguasa Belanda di Yogyakarta yang selalu mengawasinya selama dua dasawarsa terakhir kehidupannya menarik napas lega.