Liputan6.com, Jayapura - Seperti halnya mayoritas masyarakat Indonesia yang tersugesti seolah belum kenyang jika belum mengonsumsi nasi, begitu pula dengan warga Papua. Padahal, makanan pokok utama mereka adalah sagu.
Hal itu diakui salah seorang warga Sentani, Herlina Felle. "Walaupun kami makan sagu, tetapi sudah ada sugesti di tengah masyarakat Papua, jika tak makan nasi belum kenyang," kata ibu dua orang anak ini, Senin (9/5/2016).
Sebuah solusi ditawarkan untuk mengurangi ketergantungan masyarakat Papua terhadap nasi. Solusi itu adalah mengolah sagu menjadi beras analog. Herlina termasuk salah satu peserta pelatihan pengolahan sagu beras selama enam bulan terakhir.
Menurut Herlina, tak ada kendala khusus dalam pengolahan sagu beras, sebab selalu ada kerja sama dalam pembuatannya. Misalnya, laki-laki yang mencari sagu dan kaum perempuan yang mengukus hingga mengolah sagu menjadi beras.
"Semuanya ada kerjasama, baik suami istri atau laki-laki dan perempuan," ujar dia.
Baca Juga
Walaupun belum diperjualbelikan di pasaran, produk sagu beras sudah bisa dicicipi di sejumlah kabupaten di Papua dan Papua Bara. Misalnya, di Kabupaten Sorong Selatan, Serui, Jayapura dan Kota Jayapura.
Salah satu peneliti Sagu Papua, I Made Budi menyebutkan penelitian sagu untuk diubah menjadi panganan lain sudah berlangsung tiga tahun. Khusus untuk sagu beras, penelitian itu baru dilakukan dalam beberapa bulan terakhir.
"Kami masih melakukan pelatihan kepada masyarakat yang dibantu mesin pembuat beras dari Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT)," kata Budi.
Menurut dia, sagu disiapkan masyarakat setempat. Sagu itu dicuci bersih, dikukus selama 30 menit dan digiling menjadi beras menggunakan alat beras analog dari BPPT.
"Harga alat per paketnya senilai Rp 125 juta. Biasanya per kelompok ada 10-12 orang dalam pengolahan sagu beras. Sampai saat ini sudah ada 10 kelompok yang menyebar di beberapa kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat," ucap Budi.
Budi berharap dengan adanya sagu beras ini, sagu Papua bisa menjadi jaya. Di sisi lain, para peneliti tidak cepat jenuh karena pengembangan produk sagu beras memerlukan waktu untuk berproses.
"Pendampingan UKM ini tak bisa dilepas, masih terus berproses. Jika tahun pertama gagal, tahun kedua diharapkan tak gagal dan seterusnya," ujar Budi.