Alasan Dokter Pembersih Sepatu Pekerjakan Anak Jalanan

Butuh waktu berbulan-bulan mendidik anak jalanan untuk menjadi pekerja andal dokter pembersih sepatu.

oleh Yanuar H diperbarui 06 Jun 2016, 21:11 WIB
Diterbitkan 06 Jun 2016, 21:11 WIB
Dokter Pembersih Sepatu
Butuh waktu berbulan-bulan mendidik anak jalanan untuk menjadi pekerja andal dokter pembersih sepatu.

Liputan6.com, Yogyakarta - Shoes and Care mulai dipandang sebagai jasa bersih-bersih sepatu top, tidak hanya di Yogyakarta, tetapi juga di sejumlah kota lain dan bahkan di luar negeri. Sang pemilik, Tirta Air Mandira Hudhi (25), bahkan kini sudah memiliki 20 gerai yang tersebar di Indonesia dan Singapura.

Konsistensi layanannya membuahkan penghargaan dari Google dua kali. Penghargaan itu bukan berupa piala tapi diundang ke Singapura dan mendapatkan diskon iklan di Google adword yang diketahui sangat mahal. Diskon itu didapatkannya karena termasuk 50 usaha paling dicari di Google.

"Semenjak itulah, kita kumpulkan uang dan merantau di Jakarta. Itu mengubah nasib kita selama ini. Jadi sorotan media karena orang Jakarta kaget ada jasa seperti ini," ujar Tirta kepada Liputan6.com, pekan lalu.

Tak hanya Google yang mengapresiasi, perusahaan Saphir dari Prancis juga memilih Shoes and Care mengikuti pelatihan di Singapura. Usahanya terpilih sebagai salah satu layanan jasa perawatan sepatu yang memenuhi standar mereka. Saphir merupakan perusahaan besar di bidang perawatan sepatu di Negeri Mode itu.  

"Ada pameran sepatu, kita mewakili Indonesia di Singapura. Mitra saya masuk di media lokal Singapura. Orang sana respek kepada kita karena ada jasa kreatif," ujar Tirta.

Di balik standar pelayanan tingkat dunia, jasa perawatan sepatu itu justru mempekerjakan anak jalanan yang putus sekolah atau lulusan SMK. Hal itu dilakukan demi mengangkat daya saing masyarakat menghadapi persaingan MEA.

Tirta mengaku ingin tenaga kerja Indonesia bisa bersaing dengan tenaga asing sekalipun mereka tidak mendapat pendidikan formal yang cukup. Ia pun tidak akan mengambil tenaga asing karena menghargai tenaga kerja lokal. Total karyawannya kini mencapai 82 orang.

"Itu niat pribadi saya memberikan kesempatan bagi orang orang yang tidak bisa kerja karena tidak bisa diterima kantoran. Di Jakarta, tujuh di antaranya anak jalanan. Kalau di Singapura beda, sudah punya standar," kata Tirta.

Perkenalannya dengan anak jalanan yang menjadi pekerjanya saat ini diawali saat melihat banyak anak hanya nongkrong saat ia membersihkan sepatu. Jika sedang tidak nongkrong, mereka sibuk tawuran. Terdorong kondisi anak jalanan, Tirta akhirnya menawari lowongan kerja.
 
"Mau dapat duit, ya kerja, mau dia. Didik mereka susah banget karena nggak sekolah tapi bisa. Itu saya terapin di sini," ujar Tirta.

Tirta membutuhkan waktu berbulan-bulan untuk melatih para anak jalanan yang putus sekolah. Walau tingkat pendidikan mereka tidak tinggi, ide mereka patut diacungi jempol. Begitu pula dengan kemampuan bekerja sama.

Ia juga beruntung anak-anak putus sekolah itu tak ada yang berbuat kriminal. Hal itu membuatnya semakin yakin untuk tidak mempekerjakan tenaga asing.

"S1 tentu saya rekrut tapi part time. Saya tahu di sini sayang, mending di tempat lain. Tapi, duitnya bisa buat part time," kata dia.

Tirta mengatakan walaupun usahanya maju, ia tidak akan meninggalkan profesi sebagai dokter karena sudah menjadi cita-citanya. Ia ingin membantu warga dengan ilmunya, tetapi akan menggantungkan hidup dari usahanya yang beromzet Rp 10-25 juta per bulan.

"Saya sendiri nggak pernah bilang dokter sampingan. Cita cita saya sejak kecil adalah dokter," ujar Tirta yang lulus kuliah kedokteran pada 2015 lalu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya