Liputan6.com, Serang - Pasca-insiden razia warteg Saeni (53), muncul petisi pembelaan atas Perda Nomor 2 Tahun 2010 tentang Pencegahan, Pemberantasan dan Penanggulangan Penyakit Masyarakat (Pekat). Hingga siang tadi, petisi Pertahankan PERDA Perihal "Jam Buka Rumah Makan selama Ramadhan" di Kota Serang sudah ditandatangani 16.154 orang.
"Dengan ini, kami meminta seluruh lapisan masyarakat di luar Kota Serang untuk menghargai kearifan lokal ini. Kami ingin perda kembali secara utuh, tidak kehilangan substansinya. Mendagri mengatakan tidak dicabut, tapi ada revisi," kata Nuha Uswati, penggalang tanda tangan dukungan, saat ditemui di Kota Serang, Selasa (21/06/2016).
Dukungan yang digalang sejak 14 Juni 2016 oleh warga Kota Serang itu telah diserahkan kepada Wali Kota Serang Tb Haerul Jaman dan DPRD Kota Serang yang diwakili Uhen Zuhaeni, selaku Ketua Badan Peraturan Daerah (Baperda) pada Senin, 20 Juni 2016.
Wali Kota Serang menegaskan akan tetap memberlakukan perda tersebut selama masih berlaku dan belum direvisi ataupun dicabut. "Malah bulan puasa ini kami sudah sampaikan ke Satpol PP tetap laksanakan tupoksinya," kata Wali Kota Serang.
Sementara itu, Gubernur Banten Rano Karno meminta masyarakat untuk tak lagi berpolemik terkait razia Warteg Saeni. Ia menegaskan bahwa tidak ada paksaan dalam beragama, tetapi sikap permisif juga tidak diperbolehkan.
Baca Juga
"Ingat, Laa Ikraaha Fiiddiin. Tidak ada paksaan dalam beragama. Kita juga memaklumi para musafir yang diberikan ruhshakh atau keringanan untuk tidak berpuasa, atau para ibu yang tengah menyusui, atau orang tua dan orang sakit yang memang tak cukup kuat menjalankan ibadah puasa. Itu namanya tasamuh atau bertoleransi," kata Gubernur Banten, Rano Karno, yang ditemui di gedung DPRD Banten, Kota Serang.
Rano Karno meminta kepada pemerintah pusat untuk menghargai kearifan lokal yang telah tertuang dalam hak otonomi daerah. Namun, ia meminta agar cara razia dan penegakan perda diperbaiki agar lebih humanis.
"Ketika kita bicara pluralisme, maka kita dituntut untuk bukan sekadar menghargai tapi lebih jauh dari itu. Setiap kelompok masyarakat memiliki identitasnya masing-masing. Anda tak bisa bicara toleransi kalau Anda sudah tidak bisa menghargai warna, corak, dan budaya masyarakat yang begitu majemuk," ujar Rano.