Lampu Cerdas Temuan 5 Mahasiswa UGM Raih Penghargaan di Singapura

Energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan cahaya tersebut menghasilkan gas rumah kaca sebesar 1.900 Mega Ton (Mt) CO2 per tahun.

oleh Switzy Sabandar diperbarui 26 Jul 2016, 08:35 WIB
Diterbitkan 26 Jul 2016, 08:35 WIB
mahasiswa UGM Yogyakarta penemu lampu ramah lingkungan
(Switzy Sabandar/Liputan6.com)

Liputan6.com, Yogyakarta - Lampu ramah lingkungan yang diciptakan oleh lima mahasiswa UGM Yogyakarta meraih penghargaan Merit Award pada International Energy Innovation Challenge 2016 (EIC). Kegiatan tersebut diadakan oleh The Institution of Engineers Singapore (IES) and Science Centre Singapore (SCS) pada 23-24 Juli 2016 di Singapura.

Produk yang diberi nama Established Self-Sustainable Alternative Source of Energy for Society From Salt Water and Using Reused Materials atau EDULA ini memiliki daya 5 watt dan mampu bertahan sampai 178.347 jam.

Bentuknya portable dengan menggunakan prinsip dasar reaksi redoks pada sel sirkuit volta sebagai sumber energi listrik. Hal ini sesuai dengan sifat fisik logam, sebagian rentan terhadap oksidasi dan ada pula yang kuat. Lampu bekerja ketika kedua logam dimasukkan ke dalam larutan air asin atau laut yang menyebabkan perpindahan elektron.

(Switzy Sabandar/Liputan6.com)

Logam bekas yang digunakan adalah alumunium (Al) dan tembaga (Cu) karena kedua logam ini memiliki beda potensial paling besar di antara logam lainnya dan murah. Delapan cell logam bekas mampu menghasilkan beda potensial 4 volt. Voltase bisa ditingkatkan hingga tidak terbatas dengan menambah rangkaiannya.

Faqih Nurfajrin, Ika Novita, M Shokhibul Izza, Yulisyah Putri Daulay, dan Muhammad Nabil Satria Faradis memutuskan untuk membuat lampu dengan sumber energi dari bahan logam bekas karena merasa prihatin dengan isu krisis energi yang kian mencuat.

"Kebutuhan listrik dunia tinggi, sedangkan listrik dari minyak Bumi semakin menipis," ujar ketua tim M Shokhibul Izza, Senin 25 Juli 2016.

Ia mengungkapkan, 20 persen konsumsi listrik global dihabiskan untuk penerangan. Padahal energi yang dikonsumsi untuk menghasilkan cahaya tersebut menghasilkan gas rumah kaca sebesar 1.900 Mega Ton (Mt) CO2 per tahun.

Menurut dia, energi alternatif ini penting dikembangkan di Indonesia karena data terbaru Kementerian ESDM  mencatat setidaknya 12.659 desa di Indonesia belum dialiri listrik.

Masyarakat, tutur dia, masih menggunakan lampu minyak sebagai bahan bakar dan akibatnya lebih boros dalam pengeluaran. Selain itu lampu minyak menghasilkan karbondioksida yang menyebabkan kualitas udara dalam ruangan buruk dan berbahaya.

"Harapannya ini bisa jadi solusi kebutuhan penerangan di berbagai wilayah Indonesia yang belum tersentuh listrik," ucap Izza.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya