Ironi Masuk 'Mal' di Gunung Slamet

Pendakian Gunung Slamet yang tidak dibatasi semakin membuat gunung terbesar di Jawa itu semakin memprihatinkan.

oleh Aris Andrianto diperbarui 05 Agu 2016, 11:31 WIB
Diterbitkan 05 Agu 2016, 11:31 WIB
pendaki gunung slamet
(Aris Andrianto/Liputan6.com)

Liputan6.com, Purbalingga - Wisata pendakian ke Gunung Slamet yang setinggi 3.428 meter dari permukaan laut (mdpl) melalui Pos Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, Purbalingga, Jawa Tengah, meningkat tajam jelang HUT ke-71 RI. Sejumlah pendaki tercatat sudah memesan untuk bisa mendaki sejak 15 Agustus 2016, dua hari jelang hari kemerdekaan.

"Sejak awal bulan Agustus ini, pendaki terus datang silih berganti," kata Kepala Bidang Pariwisata pada Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olah Raga (Dinbudparpora) Purbalingga, Prayitno di Pos Bambangan, Desa Kutabawa, Kecamatan Karangreja, 4 Agustus 2016.

"Mereka kebanyakan berasal dari luar kota, seperti Bandung, Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Hampir jarang dijumpai pendaki lokal dari Purbalingga dan sekitarnya," dia menambahkan.

(Aris Andrianto/Liputan6.com)
       
Pendakian ke Puncak Slamet tercatat sudah mengalami peningkatan sejak awal tahun. Dari Januari 2016 hingga 3 Agustus 2016 jumlah pendaki Gunung Slamet tercatat mencapai 13.200 orang. Sementara jumlah pendaki selama 2015 hanya 6.971 orang.

"Kenaikan jumlah pendaki ke Gunung Slamet ini seiring dengan animo wisata minat khusus bagi kalangan anak muda yang menjadi tren," tutur Prayitno.

"Selain itu juga, kondisi status Gunung Slamet yang normal dan cuaca yang sangat bersahabat," lanjut dia.

Dia mengungkapkan, tiket masuk ke pendakian Gunung Slamet bisa dibilang paling murah jika dibanding dengan pendakian ke sejumlah gunung lain. Tiket masuk di pendakian Gunung Slamet hanya Rp 5.000 per orang. Dari biaya itu, Rp 4.000 untuk kas daerah pemkab dan Rp 1.000 untuk operasional SAR jika ada evakuasi pendaki.

"Dari target pendapatan, tentunya juga mengalami peningkatan. Pada tahun 2015, target pendapatan Rp 14 juta, dan mampu terpenuhi Rp 27.884.000. Untuk tahun 2016 ini, target pendapatan dinaikkan menjadi Rp 50 juta, dan sampai tanggal 3 Agustus 2016 sudah bisa terpenuhi Rp 52.800.000," tutur Prayitno.

Prayitno memprediksi pendapatan dari pos pendakian Gunung Slamet untuk tahun 2016 ini bisa tercapai sekitar Rp 80 juta. Prediksi ini didasarkan pada musim pendakian yang ada, seperti pada perayaan HUT kemerdekaan RI dan pada akhir tahun menjelang pergantian tahun baru.

Dia menambahkan, meski dengan tiket masuk pendakian yang masih kecil, jajarannya berupaya memberikan pelayanan sebaik mungkin. Kendala yang ada di lapangan, menyangkut ketersediaan air bersih untuk keperluan mandi cuci kakus (MCK) para pendaki.

Pihak dinas bersama Tim  SAR dan Karang Taruna setempat mengelola MCK yang ada. Hasil dari MCK untuk membeli air bersih. Selain air bersih, kendala lainnya soal sampah.

Slamet Seperti Mal

Para pendaki diwajibkan membawa turun sampah ke Pos Bambangan. Jika dalam satu rombongan tidak membawa kembali sampah turun, maka akan dikenakan denda sepuluh kali harga tiket. Denda tersebut digunakan untuk operasional Tim SAR mengambil sampah ke beberapa pos menuju puncak Gunung Slamet.

"Sementara sampah-sampah yang sudah dibawa turun oleh para pendaki yang kebanyakan berupa botol minuman dan plastik, dikumpulkan lebih dahulu di tempat penampungan sementara, dan kemudian oleh relawan Tim SAR dibawa ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di Banjaran, Bojongsari," Prayitno menandaskan.

Untuk memberikan kenyamanan bagi para pendaki, Dinbudparpora pada tahun 2016 ini juga akan merehabilitasi bangunan atap pondok pemuda, atap MCK, dan fasilitas di sekitarnya.

Petugas di Pos Bambangan Slamet Ardiansah menuturkan, setiap pendaki yang baru pertama kali naik pasti diberi arahan soal jalur yang dilalui. Di sepanjang jalur pendakian juga sudah ada rambu arah yang dibuat SAR bersama relawan.

Pendaki, biasanya kami ingatkan cukup satu jam ketika sampai di puncak, karena kondisinya yang dingin. Sedang informasi lain, soal ketersediaan air yang ada di titik pos V yang belum mengering.

"Kami juga mengingatkan pendaki untuk tidak memetik bunga edelweis yang saat ini sedang musim, dan untuk membawa pulang sampah yang dibawanya," ujar Slamet.

(Aris Andrianto/Liputan6.com)

Tapi pegiat pencinta alam Green Corps Purwokerto, Dian Hamdani mengatakan, pendakian Gunung Slamet yang tidak dibatasi semakin membuat gunung terbesar di Jawa itu semakin memprihatinkan. "Seharusnya ada pembatasan atau dimoratorium dulu agar bisa diperbaiki kerusakannya," tutur Dian.

Ia mengatakan, pendakian di Gunung Slamet sudah seperti masuk mal. Antrean panjang di jalur pendakian terlihat setiap akhir pekan.

Selain itu, lahan hutan yang terbuka juga semakin luas karena membutuhkan tempat luas untuk membuka tenda. "Terutama persoalan sampah. Mereka ini dari golongan my trip my adventure yang belum paham tentang kelestarian lingkungan," ucap Dian.

Seorang pendaki dari Bandung, Jabar, Hafizh Qodarisman (20) mengemukakan, dirinya baru pertama kali naik ke puncak Gunung Slamet. Untuk mencapai Pos Bambangan, bersama 10 teman lainnya, Hafizh menggunakan kereta api dan turun di Stasiun Purwokerto. Dari stasiun menyewa angkutan kota seharga Rp 350 ribu.

"Dari harga carteran angkutan kota, kami menilai masih wajar. Sedang tiket masuk ke Gunung Slamet juga sangat terjangkau untuk kalangan mahasiswa. Yang utama adalah pelayanan petugasnya sangat baik. Mereka memberikan peta jalur pendakian, dan arahan soal larangan dan pantangan selama melakukan pendakian," tutur Hafizh.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya