Liputan6.com, Bandung - Kolektor rokok kretek dari Kota Bandung, Prima Mulia (43), mendukung rencana menaikkan harga rokok. Mahalnya harga rokok dinilai akan membuat para perokok mengalihkan anggaran pembelian kepada hal yang lebih bermanfaat.
"Saya mah kumaha pemerintah wae (bagaimana pemerintah saja). Kan saya enggak butuh rokok," kata Prima kepada Liputan6.com di Bandung, Sabtu 27 Agustus 2016.
Prima sendiri mengaku tidak pernah merokok. Pria yang berprofesi sebagai fotografer ini mengaku mulai tertarik dan mulai jadi kolektor rokok kretek sejak pertengahan tahun 90an.
Advertisement
Namun, kini kegemarannya mengoleksi rokok kretek tersebut terhambat. Kini sudah sangat jarang ditemui rokok kretek yang mereknya unik.
"Bahkan sampai ke pelosok terpencil yang dulunya banyak rokok kretek aneh, sekarang mah enggak ada lagi. Semuanya jual rokok putih dan rokok-rokok kretek filter yang mild gitu lah," jelas dia.
Baca Juga
Apa koleksi rokok kretek pertamanya? Prima masih ingat, yakni kretek merek PraoeLajar, yang merupakan rokok keluaran pabrik rokok Thio I Khee, Semarang.
"Waktu itu belinya di warung kecil di daerah Batang, Jawa Tengah," katanya.
Rokok kretek pada waktu itu sebagian besar dibanderol antara Rp 300 sampai Rp 600 per bungkus. Sedangkan, untuk merek Djie Sam Soe dan rokok klembak menyan relatif lebih mahal.
Sebenarnya khusus untuk rokok klembak menyan dipatok dengan harga murah. Harganya di kisaran Rp 300 sampai Rp 500 per bungkus.
"Tapi kalau beli di tukang rampe atau toko klenik dihargai Rp 1.000 per batang. Jadi kalo sebungkus isi 10 batang, ya jadi Rp 10.000," ucap dia.
Rokok kretek yang paling sulit dicari, kata dia, adalah merk Klopo Setundun, produksi imitasi merek Dji Sam Soe. Pada kemasannya tertera tulisan, 'Kalau Menghisap Rokok Ini Jadi Jenius'.