Antisipasi Longsor, BNPB Pasang 72 Unit Sistem Peringatan Dini

Selain di Pulau Jawa, alat sistem peringatan dini juga dipasang di beberapa daerah yang memiliki risiko tinggi bencana longsor.

oleh Reza Efendi diperbarui 19 Sep 2016, 20:20 WIB
Diterbitkan 19 Sep 2016, 20:20 WIB
Ilustrasi Tanah Longsor
Ilustrasi Tanah Longsor

Liputan6.com, Medan - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) memprediksikan Indeks ENSO (El-Nino Southern Oscillation) sudah mengarah pada kondisi La Nina lemah dan diprediksi bertahan hingga awal 2017.

"Bersamaan dengan La Nina terjadi, fenomena Dipole Mode negatif sejak Mei 2016 diprediksi bertahan hingga November 2016, anomali suhu muka laut yang hangat di sekitar perairan Indonesia berkontribusi menambah tingginya curah hujan di Sumatera dan Jawa bagian barat.

"Hal itu menyebabkan hujan berintensitas tinggi sering terjadi di sebagian wilayah Indonesia. Akibatnya banjir dan longsor meningkat," ucap Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Senin (19/9/2016).

"Selama periode 2016 ini, telah terjadi 1.569 kejadian bencana di Indonesia, di mana 265 orang tewas, 310 orang luka-luka, 2,1 juta jiwa menderita dan mengungsi, dan 23.048 rumah rusak," Sutopo menambahkan.

Dari total kejadian bencana tersebut, menurut Sutopo, banjir dan longsor adalah yang paling dominan. Banjir adalah jenis bencana yang paling banyak kejadiannya selama 2016, yaitu 554 kejadian dan menimbulkan 72 orang tewas, 93 orang luka-luka, dan 1,9 juta jiwa menderita dan mengungsi. Namun longsor adalah jenis bencana paling mematikan.

"Dari 349 kejadian longsor selama 2016, longsor menyebabkan 130 orang tewas, 63 orang luka dan 18.728 jiwa mengungsi dan menderita," Sutopo memaparkan.

Seperti halnya bencana tahun 2014 dan 2015, lanjut dia, longsor adalah bencana yang paling menimbulkan korban tewas. Ada 40,9 juta jiwa masyarakat Indonesia yang terpapar dari bahaya longsor sedang hingga tinggi.

Artinya, menurut Sutopo, mereka bertempat tinggal di daerah bahaya longsor yang dapat terjadi kapan saja, umumnya saat terjadi hujan lebat. Apalagi, kemampuan mitigasi masyarakat tersebut, baik mitigasi struktural maupun nonstruktural masih terbatas.

"Di satu sisi ancaman longsor makin meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan, baik intensitas maupun durasi hujan," sebut Sutopo.

BNPB Gandeng UGM

Lebih lanjut Sutopo mengatakan, untuk mengantisipasi hal itu, BNPB bekerja sama dengan Universitas Gadjah Mada (UGM) membangun 72 unit sistem peringatan dini longsor selama tiga tahun terakhir, yaitu sejak 2014 hingga 2016.

"Pada tahun 2014, atas perintah Presiden Joko Widodo atau Jokowi, pascalongsor di Banjarnegara, BNPB dan UGM memasang 20 unit sistem peringatan dini longsor. Kemudian dilanjutkan 35 unit pada tahun 2015 dan 17 unit pada tahun 2016," tutur Sutopo.

Ia mengungkapkan, sebagian besar sistem peringatan dini longsor tersebut dipasang di Jawa yang memiliki risiko tinggi longsor seperti di Kabupaten Banjarnegara, Magelang, Kulon Progo, Banyumas, Cianjur, Bandung Barat, Trenggalek, Sukabumi, Bogor, Sumedang, Wonosobo, Garut dan sebagainya.

"Alat juga dipasang di daerah lain di luar Jawa seperti di Kabupaten Nabire, Aceh Besar, Buru, Lombok, Bantaeng, Sikka, Kerinci, Agam, Kota Manado, dan lainnya," Sutopo menjelaskan.

Sistem peringatan dini longsor tersebut meliputi tujuh sub sistem yang dibangun meliputi sosialisasi, penilaian risiko, pembentukan kelompok siaga bencana tingkat desa, pembuatan denah dan jalur evakuasi, penyusunan SOP, pemantauan dan gladi evakuasi, serta membangun komitmen pemda dan masyarakat.

"Jadi masyarakat setempat dilibatkan secara langsung dalam proses pembangunan sistem peringatan dini longsor. Masalah utama dalam pembangunan sistem peringatan dini adalah kultural. Artinya bagaimana masyarakat memahami ancaman di sekitarnya kemudian mampu beradaptasi dan melakukan antisipasi terhadap ancaman yang ada," ia menguraikan.

Informasi dari sistem peringatan dini dipercaya kemudian menjadi bagian dari perilaku kehidupan sehari-hari. "Ini adalah tantangan yang sulit dalam membangun sistem peringatan dini bencana," kata Sutopo.

Sutopo menuturkan pula, Indonesia membutuhkan ratusan ribu unit sistem peringatan dini longsor untuk menjaga seluruh daerah rawan longsor. Namun, butuh biaya yang sangat besar dan perlu partisipasi dari pemda, dunia usaha, dan masyarakat.

"Jika hanya mengandalkan semuanya dari pemerintah, maka terbatas jumlah dan sebaran yang dapat dibangun mengingat luasnya daerah rawan longsor di Indonesia," juru bicara BNPB itu menandaskan.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya