Liputan6.com, Malang - Dua ruangan itu hanya disekat dinding berbahan papan triplek. Satu ruang berisi berbagai peralatan memasak, layaknya dapur. Empat mesin cuci dan sebuah meja setrika mengisi satu ruang lagi. Siang itu, ibu–ibu paruh baya memenuhi dua ruangan berbeda peruntukan tersebut.
Mereka sibuk dengan aktifitas masing-masing. Di bagian dapur, mereka asyik memasak telur dengan beragam resep mulai omlet, telur orak arik, dan menu lainnya. Satu kelompok lagi tampak memperhatikan dengan seksama saat seorang rekannya memasukkan baju ke dalam mesin cuci hingga saat menyetrika.
Sejak pagi kesibukan itu mereka jalani. Berlatih, guna menambah keterampilan pekerjaan rumah tangga. Mereka semua adalah Asisten Rumah Tangga (ART), peserta Sekolah ART yang rutin digelar tiap hari minggu memanfaatkan fasilitas Edotel SMK Tumapel, Kota Malang, Jawa Timur.
Advertisement
Saat tanda istirahat makan siang, semua berbaur jadi satu di ruangan dengan meja dan kursi yang tertata rapi. Seorang di antara kerumunan itu adalah Tuti. Ia ikut duduk melingkar di sebuah meja bersama rekan satu kelompoknya. Selain kesamaan pekerjaan, mereka juga berasal dari satu kampung yang sama di Dusun Juwet, Desa Tirtosari, Kecamatan Singosari, Kabupaten Malang.
Berbagi cerita jadi menu tambahan usai makan siang habis dilahap. Mulai dari aksi konyol selama belajar di Sekolah ART, hingga kegetiran atas upah yang selama ini mereka terima sebagai ART. Banyak keterampilan baru yang didapat Tuti dan kawan-kawannya di Sekolah ART.
“Majikan tambah senang mengetahui aktifitas saya ini. Karena ada menu masakan baru yang bisa saya sajikan. Pengetahuan saya juga semakin bertambah,” kata Tuti di sela Sekolah ART di Malang, Jawa Timur, Minggu (25/9/2016) kemarin.
Sekolah ART ini difasilitasi oleh Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur. Ada puluhan ART dari lima kawasan berbeda yang aktif terlibat di dalamnya. Peserta sekolah dibagi menjadi lima kelompok berdasarkan kesamaan wilayah para PRT bekerja. Tuti dan rekan-rekannya bekerja di wilayah yang sama yakni di Singosari.
Selain pelatihan keterampilan, di hari-hari tertentu juga ada diskusi dengan beragam materi. Jadwal diskusi menyesuaikan berdasarkan kesepakatan tiap anggota kelompok. Tempat diskusi bergilir di rumah tiap anggota. Materi yang didiskusikan, mulai dari pentingnya keselamatan dan kesehatan kerja hingga hak dan kewajiban seorang ART.
Sejak mengikuti sekolah ini, Tuti telah mengubah banyak kebiasaannya saat bekerja. Misalnya, duduk di lantai sembari menyetrika telah ia tinggalkan. Ia kini tahu hasil kerjanya bisa lebih baik jika dilakukan di meja setrika.
“Saat membersihkan kaca jendela rumah, saya juga jadi tahu teknik yang benar. Harus juga pakai sarung tangan dan masker demi kesehatan, terutama kalau ada bahan berbahaya,” ucapnya.
Tuti saat ini bekerja untuk pasangan suami istri karyawan rumah sakit di Kota Malang. Tiap hari ia datang sejak pukul 07.00 di rumah majikannya di Perumahan RSSA Malang dan pulang pukul 17.00. Keceriaan di raut wajahnya berubah muram saat bercerita tentang upah yang diterimanya.
Upah dan Hal Lain yang Belum Selesai
Ibu satu anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah atas itu telah lima tahun lebih bekerja sebagai ART dengan dua kali pindah tempat kerja. Selama itu pula, upah yang diterima sebesar Rp 600 ribu per bulan.
Baru setelah lebaran Idul Fitri lalu upahnya naik jadi Rp 750 ribu per bulan. Di lebaran itu pula ia kali pertama menikmati bonus hari raya sebesar Rp 400 ribu. Itu pun lantaran Tuti memberanikan diri bertanya ke majikannya tentang apa yang dianggap jadi haknya.
“Saya beranikan diri ngomong ke majikan karena menyangkut hak saya. Itu saya tahu setelah ikut sekolah di sini,” ucap Tuti.
Selain melakukan rutinitas pekerjaan rumah tangga seperti mengepel, cuci baju, menyapu dan lainnya, Tuti juga bertugas layaknya pengasuh bayi. Lantaran ia harus menjaga anak majikannya yang baru berusia dua tahun. Kalau kedua majikannya kebetulan berbarengan dapat tugas malam, sang anak pun ikut dibawa Tuti pulang ke rumah.
“Ikut ke rumah saya bisa sampai empat hari. Uang saku yang diberikan untuk jajan anak sekadarnya, kalau kurang ya pakai uang pribadi saya,” kata Tuti.
Meski hari libur, Tuti harus tetap bekerja mengasuh anak yang ditinggal majikan lembur bekerja. Ini disebutnya mengingkari perjanjian tak tertulis, kesepakatan bersama saat kali pertama masuk kerja. Tuti mengaku seharusnya mendapat upah lebih layak dibanding dari yang diterima saat ini demi taraf kehidupan yang lebih baik.
“Harusnya upah ya bisa lebih tinggi lagi dan dapat uang lembur kalau jam kerja bertambah,” keluhnya.
Nasib Nuriati hampir serupa dengan yang dialami oleh Tuti. Bedanya, Nuriati dibayar sebesar Rp 50 ribu sampai Rp 70 ribu per hari. Agar dapat rupiah yang lumayan besar, Nuriyati rela bekerja di tiga rumah orang yang berbeda dalam seminggu.
“Model pengupahan kami berbeda, tergantung pemilik rumah tempat bekerja. Di antara kami ada yang dibayar bulanan, ada juga yang dihitung harian. Saya meminta harian,” ujar Nuriyati.
Nuriyati awalnya bekerja di rumah majikan di kawasan Asrama Polisi Mondoroko Singosari selama dua hari dalam sepekan. Lantaran ada dua rekan majikannya yang butuh jasanya, jadilah Nuriyati diminta bekerja dua hari di sebuah rumah di kawasan Mondoroko Indah dan dua hari lagi di rumah di kawasan Perum RSSA Malang.
Tiap hari jam kerja Nuriyati antara 6 jam sampai 10 jam. Dari bekerja selama 6 hari di tiga rumah berbeda itu, tiap bulan total ia mendapat duit sebesar Rp 1 juta–Rp 1,2 juta. Ia bisa berlibur tiap hari minggu dan memanfaatkannya untuk berkumpul dengan rekan PRT lainnya.
“Penghasilan sebesar itu ya cukup tak cukup harus dicukupkan. Semoga ke depan nasib kami bisa lebih baik,” Nuriyati berharap.
Nasib Tuti, Nuriyati menggambarkan kondisi jutaan ART di Indonesia saat ini, tak memiliki standar upah maupun standar kompetensi. Proses penentuan upah lebih banyak berlangsung satu arah, bergantung kemampuan keuangan majikan. Mereka rawan dieksploitasi dan sering mengabaikan keselamatan diri saat bekerja.
“Kondisi ART saat ini rawan dieksploitasi, terutama oleh majikan yang sebenarnya tak memiliki penghasilan cukup tapi memaksakan diri mempekerjakan PRT,” kata Direktur Lembaga Pengkajian Kemasyarakatan dan Pembangunan (LPKP) Jawa Timur, Anwar Solihin.
Advertisement
Perlindungan Dahulu
LPKP memperkirakan ada puluhan ribu orang bekerja sebagai ART di wilayah Malang Raya. Selain persoalan upah rendah, eksploitasi juga berupa jam kerja 24 jam penuh terutama bagi ART yang tinggal di rumah majikan. Apalagi banyak daerah belum menerapkan Peraturan Menteri Ketenagakerjaan nomor 2 tahun 2015 tentang Keselamatan Kerja Pekerja Rumah Tangga.
LPKP mendampingi lebih dari seratus orang ART yang tersebar di lima wilayah sesuai lokasi pekerjaan dan membaginya menjadi lima komunitas. Tidak semua mau ikut aktif di Sekolah ART.
Sekolah ini merupakan upaya agar ART menjadi pekerjaan yang layak, memiliki kecakapan dan keterampilan. Serta menyadarkan hak dan kewajiban antara ART dan majikan yang saling menguntungkan.
“Kami mendorong ART dan majikan memahami pentingnya kesehatan dan keselamatan kerja, hak dan kewajiban masing-masing. Majikan juga diuntungkan dengan keselamatan kerja, sebab bisa menghindari kecelakaan kerja yang bisa berakibat fatal,” urai Anwar.
Koordinator International Labour Organization (ILO) untuk Provinsi Jawa Timur, Irfan Afandi mengatakan, pemerintah melalui Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) baru mulai menyusun Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKN).
“Standar kompetensi itu penting, ART harus punya bekal keterampilan untuk mengurangi resiko terjadinya kesalahan kerja. Sebab, kalau terjadi kesalahan kerja, PRT rawan menerima kekerasan dari majikan,” ujar Irfan.
ILO, kata dia, baru membuat konvensi tentang kerja layak, salah satu isinya bahwa ART harus dipenuhi haknya dan kewajibannya sebagai pekerja profesional. Indonesia belum meratifikasi itu. Sedangkan Rancangan UU Perlindungan ART, ngendon di Program Legislasi Nasional dan tak ada tanda kapan bakal disahkan.
“Sepertinya sulit RUU itu disahkan. Karena itu kami mendorong kompetensi kerja bagi ART. Dalam konteks Masyarakat Ekonomi ASEAN, kompetensi ini sekaligus sebagai syarat bersaing di pasar kerja,” ujar Irfan.
Kabar baiknya, sambung dia, SKKN yang tengah disusun Kemenaker itu sudah mengacu pada Standar Kompetensi Model Asia Pasifik yang disusun ILO.
“Saat ini kami harus fokus dulu pada aspek perlindungan ART. Soal upah layak itu nanti otomatis menyusul dengan sendirinya,” tegas Irfan.
Tuti, Nuriyati dan rekan–rekannya harus bersabar lebih lama untuk mendapatkan pengakuan dan upah layak. Namun, mereka juga dituntut mau belajar, membekali diri dengan keterampilan agar memiliki nilai tawar lebih.