Liputan6.com, Jembrana - Setelah menggali dan menemukan empat tengkorak manusia dan sejumlah tulang lengan dan kaki, polisi ternyata tidak perlu menggelar identifikasi di Pantai Yehembang, Kabupaten Jembrana, Bali.
Sebab, sejumlah tengkorak dan tulang belulang tersebut diyakini adalah anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) saat peristiwa 30 September 1965 atau G30S. Lokasi penemuan tulang manusia tersebut diyakini sebagai kuburan massal anggota PKI yang terbunuh.
"Saya tahu persis di lokasi itu ada tujuh anggota PKI yang dikubur setelah dibunuh," ucap Guru Kendya (80), seorang warga setempat sekaligus pelaku sejarah, Kamis sore, 6 Oktober 2016.
Bahkan, menurut dia, dirinya masih ingat nama-nama ketujuh anggota PKI yang dikubur di tempat tersebut. Enam orang adalah warga Desa Yehembang dan satu orang warga Tegalcangkring, Mendoyo.
Advertisement
Baca Juga
Menurut dia, mereka dikubur pada tahun 1965 saat peristiwa G30S pecah di Jawa dan yang bertugas mengubur adalah Dewa Aji Wanten (kini almarhum), salah seorang warga Yehembang.
"Sebenarnya di sekitar pesisir Yehembang adaa 40 orang anggota PKI yang dikubur setelah dibunuh. Sebanyak 33 orang dikubur di areal setra (kuburan) dan tujuh orang dikubur di lokasi ditemukan tulang belulang itu," tutur Guru Kendya.
Adapun saat dikonfirmasi, Bendesa Pakraman Yehembang, Ngurah Gede Aryana membenarkan tulang belulang yang ditemukan warga tersebut adalah anggota PKI yang dikubur secara massal.
Ia menambahkan, sebenarnya jasad mereka oleh pihak keluarga telah diaben sesuai ajaran Hindu. Lantaran muncul lagi akibat abrasi, maka pihak Desa Pakraman akan melakukan pecauran. Setelah itu, tulang belulang manusia tersebut diserahkan ke polisi dan akan dikubur di setra (kuburan warga Bali) lengkap dengan upacara Piuning.
"Jadi kami tidak perlu melakukan pengabenan lagi karena jasad mereka sebenarnya sudah diaben oleh pihak keluarga," ujar dia.
Karena telah melalui proses pengabenan, ucap Aryana, maka pihaknya meminta aparat kepolisian untuk menghentikan penggalian tulang belulang yang masih terkubur atau yang tidak kelihatan.
Hal itu mengingat secara ajaran Hindu tulang belulang tersebut sudah dibersihkan melalui proses pengabenan. Di samping itu, menurut dia, jika dilakukan penggalian untuk mencari tiga tengkorak lagi, dikhawatirkan abrasi akan tambah parah dan bakal menggerus jalan.
"Boleh dibilang tulang belulang yang muncul akibat abrasi itu bisa dibilang sampah. Tapi kami tetap lakukan pecaruan dan mengubur tulang belulang itu di tempat yang layak, yakni di setra," ujar tokoh Yehembang, Jembrana tersebut.
Â