14 Tahun Berlalu, Janda Korban Bom Bali Masih Dibekap Trauma

Setiap Oktober tiba, perasaan janda korban Bom Bali I semakin sensitif.

oleh Dewi Divianta diperbarui 12 Okt 2016, 17:03 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2016, 17:03 WIB
14 Tahun Berlalu, Janda Korban Bom Bali I Masih Bergelut Trauma
Setiap Oktober tiba, perasaan janda korban Bom Bali I semakin sensitif. (Liputan6.com/Dewi Divianta)

Liputan6.com, Kuta - ‎ Tak pernah terbayang sebelumnya dalam benak Ni Luh Erniati akan menghidupi kedua anaknya yang masih kecil-kecil seorang diri. Suaminya, I Gede Badrawan, tewas pada Sabtu malam, 12 Oktober 2002 lalu saat bom yang dirancang Imam Samudera cs meledak dahsyat di Legian, Kuta.

Badrawan yang bekerja sebagai head waiter di Sari Club menjadi korban ledakan di malam nahas yang dikenal dengan peristiwa Bom Bali I itu. Sementara Ni Luh Erniati malam itu tengah menjaga buah hatinya bersama I Gede Badrawan yang masih berusia 9 dan 1,5 tahun.

"Saat kejadian, saya sedang di kamar kos saya. Saya dengar suara ledakan keras," ucap Erniati di sela peluncuran buku Janda-janda Korban Terorisme di Bali di Beach Walk, Kuta, Rabu (12/10/2016).

Ia lantas mencari arah sumber suara yang menurutnya tak jauh dari lokasi suaminya bekerja. Sesampainya di tempat kerja suami, Erniati mengaku melihat banyak sukarelawan tengah mengevakuasi korban.‎

Dalam hatinya, perempuan kelahiran 19 Februari 1971 itu berharap sang suami masih hidup. Namun, melihat banyak korban berjatuhan yang dievakuasi relawan, asanya menjadi ciut. Meski begitu, ia tetap melangkahkan kaki ke setiap rumah sakit yang diketahuinya.

"Saya masih berharap dia (Badrawan) datang kepada saya," ucap Erniati lirih.

Tiga bulan lamanya, dia menunggu kehadiran sang suami. Penantian itu sirna manakala tim Forensik RSUP Sanglah Denpasar memberitahunya jika salah satu jasad korban Bom Bali teridentifikasi sebagai I Gede Badrawan.

"Banyak orang bilang waktu itu saya masih terlalu muda untuk menyandang status janda. Mohon maaf saya menangis, bulan ini (Oktober) biasanya perasaan saya sensitif," kata dia.

Di tengah duka, ia berpikir keras untuk menghidupi kedua anak lelakinya. Ia lantas mencari pekerjaan.

"Dengan skill yang tidak memadai, saya berusaha mencari pekerjaan untuk menghidupi anak saya, untuk memberi pendidikan kepada mereka," ucap dia.

Erniati akhirnya mendapatkan pekerjaan. Namun, kejiwaannya masih terguncang. Kondisi psikologinya begitu labil. Tak jarang dalam bekerja ia menangis. Hal itu tentu saja tanpa disadarinya.

Perempuan yang kini menjadi Ketua Yayasan Isana Dewata itu mengaku secara psikologis masih belum stabil jika mengenang peristiwa kelam yang dialaminya 14 tahun silam itu.

"Saya masih butuh pendampingan, begitu juga dengan korban lainnya. Maka, saya katakan jika keberadaan trauma center itu begitu penting bagi kami dan juga korban lainnya seperti trafficking, KDRT dan lainnya," kata dia.

Ia juga berharap pemerintah memperhatikan secara serius anak-anak korban Bom Bali yang menurutnya merupakan generasi penerus. Anak-anak korban Bom Bali, kata Erniati, butuh dukungan untuk bangkit dari keterpurukan.

"Anak-anak itu tunas bangsa. Mereka butuh dukungan untuk bangkit dari keterpurukan," tutur Erniati.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya