Harta Pusaka Rupiah Lama

Jika antik dan unik, harga rupiah lawas bisa menembus ratusan ribu hingga jutaan kali lipat dari nominal yang tertera pada uang tersebut.

oleh Dinny MutiahPanji Prayitno diperbarui 12 Des 2016, 19:01 WIB
Diterbitkan 12 Des 2016, 19:01 WIB
Harga Berganda Rupiah Lawas
Penjual rupiah lama di Jalan Asia Afrika, Bandung. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Liputan6.com, Bandung - Barang lawas tak selalu sia-sia. Di tangan para pedagang uang lama, rupiah lawas justru jadi sumber penghidupan yang menggiurkan. Restu Ackham (24) salah satunya.

Bisnis jual beli rupiah lama ditekuninya dalam enam tahun terakhir. Ia tergiur bisnis itu setelah belajar dari kakek dan ayahnya yang lebih dulu terjun. Dari mereka pula, ia belajar menakar harga uang yang tak lagi berlaku sebagai alat tukar.

Generasi ketiga dari keluarga itu kini membuka usaha sendiri. Ia biasa mangkal di sekitar kawasan Alun-alun Bandung, Jalan Asia Afrika, Kota Bandung. Setiap hari, ia membuka lapak sederhana yang hanya bermodalkan satu kursi, papan kertas berisi uang lama yang hendak dijual, dan spanduk penanda jual beli uang lama.

"Kita mah biasanya mainnya yang nyari rupiah lama untuk mahar. Yang mau nikah. Kalau sedang ramai, satu hari bisa Rp 200 ribu per hari," kata Restu saat ditemui Liputan6.com, Minggu, 11 Desember 2016.

Namun, ia juga menyebut para pemburu rupiah lama merupakan para kolektor. Berbeda dengan para pencari rupiah lama untuk pernikahan, kolektor mencari rupiah lama berdasarkan keunikannya.

Mereka biasa disebut kalangan numismatik. Mereka tak segan merogoh kocek dalam asalkan bisa memiliki uang lawas langka yang tak biasa. Misalnya, uang pecahan Rp 10.000 edisi Barong Bali keluaran 1975.

"Tahun kemarin lagi booming. Banyak yang cari, harganya bisa sampai Rp 6 juta," ungkap Restu.

Pecahan rupiah langka yang kini banyak diburu, kata dia, adalah uang Rp 10 bergambar uncal (rusa) keluaran 1957. Ia mengaku beruntung memilikinya setelah tak sengaja seorang pengepul rupiah lama menawarinya pada 2012.

Saat itu, pecahan rupiah yang terbilang langka karena hanya beredar beberapa saat saja di Indonesia dihargai Rp 12 juta. Nilai rupiah lawas itu kini sudah berganda lebih dari tiga kali lipat. Meski begitu, Restu tak hendak buru-buru melepasnya.

"Ada yang nawar ke saya Rp 30 juta, tapi saya belum mau lepas karena seri yang ini memang sangat langka. Saya buka harganya sekarang Rp 45 juta," ujar Restu.

Perlakuan terhadap uang tersebut juga berbeda dari rupiah lama yang banyak di pasaran. Ia menyimpannya di brankas khusus dengan silica gel untuk menyerap kelembaban. Dengan begitu, bakteri yang bisa merusak kertas bisa diminimalisasi.

"Soalnya ngurus uang kertas lebih susah daripada uang koin," kata Restu.

Kini, ia memburu pecahan 1.000 gulden Hindia Belanda. Uang tersebut, ujar dia, sangat sulit dicari karena nilai pecahannya yang sangat tinggi dan jarang beredar.

"Hanya orang-orang tertentu yang punya pas zaman Belanda dan Indonesia lagi terpuruk. Coba bayangkan, 1.000 gulden itu gaji Gubernur Hindia Belanda yang bisa jadi setara dengan gaji presiden saat ini," ucap Restu.

Tak Melulu Ekonomi

Harga Berganda Rupiah Lawas
Contoh pecahan rupiah lama. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Berbeda dengan Restu, koleksi rupiah lama milik Hendra Wangsa Dikrama lebih untuk kepuasan pribadi yang tak berkaitan dengan kepentingan ekonomi. Ia bahkan bersedia menyerahkan uang lama secara sukarela jika kerabatnya membutuhkan.

"Tentu jika saya masih punya cadangan," ucap Hendra yang ditemui Liputan6.com di tempat berbeda.

Sejak 2010, ia mulai rajin memburu rupiah langka dari berbagai era. Kecintaan Hendra pada rupiah tak terlepas dari pekerjaannya kini yang menjadi kasir di Bank Indonesia cabang Cirebon. Ia bangga jika tamu atau teman-teman anaknya bertanya soal koleksi rupiahnya.

"Seiring berkembangnya zaman, saya yakin anak-anak zaman sekarang tidak banyak tahu bagaimana bentuk rupiah pada masa sebelum sekarang," kata warga Cirebon itu kepada Liputan6.com saat ditemui pekan lalu.

Koleksi rupiah yang dimiliki Hendra relatif lengkap. Mulai cetakan tahun 1968 hingga saat ini terbingkai rapi di ruang tamu rumahnya.

Uang rupiah itu biasa didapatkannya dari masyarakat yang menukarkan uang lama di Bank Indonesia. "Karena sudah tidak berlaku lagi daripada mereka tidak dapat menukar dan kalau sudah masuk ke BI kan langsung dimusnahkan. Akhirnya saja beli saja uang warga itu," ujar dia.

Niatnya mengoleksi rupiah dirasa bermanfaat bagi internal keluarga maupun orang-orang di sekitarnya. Dia pun tidak bosan menjelaskan bagaimana sejarah rupiah kepada tamu yang berkunjung ke rumahnya.

Bahkan, tutur Hendra, koleksi rupiah yang dimilikinya bukan hanya berdasarkan tahun cetak. Hendra juga sengaja mengoleksi rupiah yang masuk dalam kategori lain.

Sambil membuka album koleksi uangnya, Hendra menunjukkan beberapa rupiah dengan nomor seri unik atau kembar. Hendra juga mengoleksi uang rupiah yang dalam kondisi fisik cacat serta rupiah dalam kondisi potongan tidak sempurna.

"Semua saya koleksi untuk edukasi kepada anak-anak saya, teman anak saya bahkan kerabat dekat pun saya kasih penjelasan," tutur dia.

Penanda Kedaulatan hingga Alat Politik

Harga Berganda Rupiah Lawas
Penjual rupiah lama di Jalan Asia Afrika, Bandung. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Tingginya penghargaan terhadap rupiah lawas tak lepas dari nilai seni dan sejarah yang melatarbelakanginya. Peneliti sejarah alumnus Universitas Indonesia, Syefri Luwis, menerangkan setiap uang yang dikeluarkan punya alasan yang mendasarinya.

"Contoh uang seri Barong, topeng Bali. Kalau kita pakai kaca pembesar, engravernya sangat detail membuat uang itu," kata Syefri.

Sedangkan, nilai sejarah bisa dicontohkan uang seri Sukarno yang keluar dalam seri ORI (Oeang Republik Indonesia) yang diterbitkan pertama kali pada Oktober 1946. Seperti halnya batas fisik wilayah, uang merupakan perwujudan dari kedaulatan bangsa.

Menempatkan wajah Sukarno dalam uang itu, ujar dia, mampu membangkitkan semangat persatuan Indonesia yang kala itu baru merdeka. Pasalnya, ORI mendapat tandingan dari NICA yang menyusup ke Indonesia dengan membawa uang merah.

"Kebanyakan orang Indonesia saat itu tidak tahu nominal. Mereka tidak melek huruf, tapi melihat ada gambar Sukarno di uang, mereka lebih pilih uang rupiah Indonesia daripada uang merah NICA," tutur Syefri.

Uang juga bisa menunjukkan nilai politis melalui gambar yang dipasang. Uang bergambar Soedirman, misalnya, menunjukkan bahwa negara mengakui perjuangan Soedirman mempertahankan republik meski digempur habis-habisan oleh Belanda.

"Menampilkan gambar Soedirman di uang itu adalah bentuk penghargaan negara pada perjuangannya. Itu politis," kata dia.

Makna serupa juga didapat pada pemilihan gambar Kartini pada rupiah lawas. Meski Kartini belum diakui sebagai pahlawan nasional, negara mengakui perjuangannya berkontribusi besar kepada bangsa.

Pemilihan Kartini juga menunjukkan bahwa Indonesia mengakui persamaan hak dan kewajiban atas warga negara tanpa membedakan gendernya. Bukti sejarah menunjukkan Indonesia lebih dulu menerapkan hak memilih kepada perempuan di dalam pemilu 1955, sebelum Amerika Serikat menerapkannya.

"Setiap uang yang dikeluarkan, pasti ada makna tertentu di baliknya," kata Syefri.

Hati-Hati Pemalsuan

Harta Pusaka Rupiah Lama
Contoh rupiah lama yang dijajakan di sekitar Alun-alun Bandung. (Liputan6.com/Dinny Mutiah)

Dosen pascasarjana Sejarah Universitas Indonesia Moh Iskandar menyatakan seiring kelahiran rupiah, pemalsuan juga ikut hadir mencari kesempatan. Bahkan, pemalsuan rupiah di zaman revolusi sempat merepotkan pemerintah selepas Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.

Iskandar menuturkan, saat ORI diterbitkan pertama kali oleh BNI 46 selaku bank resmi pemerintah Indonesia pertama pada 1946, ada masalah yang membuat uang ORI tidak mudah beredar secara luas. ORI akhirnya hanya beredar di Jawa, kecuali Banten.

"Tapi, negara tanpa mata uang sendiri itu sangat aneh," kata Iskandar.

Untuk mengatasi ketiadaan alat tukar milik republik, pemerintah kemudian mengizinkan daerah untuk mengeluarkan uang mandat yang disebut juga ORIDA. Uang itu di antaranya dikeluarkan di Sumatra Utara, Banten dan Aceh yang dicetak di kertas HVS.

"Namun di antara semua itu, yang paling terkenal adalah ORI. Yang melihat kenyataan itu ada yang tidak bertanggung jawab sehingga ORI banyak dipalsukan. Baru ketahuan setelah perang selesai," kata lelaki yang pernah menjadi konsultan Bank Indonesia itu.

Meski sudah berupaya dimusnahkan, peredaran uang palsu bisa jadi masih lolos. Untuk itu, ada sejumlah tip untuk menghindari penipuan para penjual rupiah lawas palsu.

Menurut Syefri, langkah pertama adalah tidak langsung percaya. Anda perlu mencari informasi sebanyak-banyaknya sebelum memutuskan membeli rupiah lama.

"Informasi itu bisa didapat dari internet atau komunitas pencinta uang lama. Bisa juga bertanya pada kolektor yang mumpuni. Mereka biasanya memiliki informasi lebih dalam dibandingkan sejarawan tentang uang rupiah lama," kata Syefri menutup pembicaraan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya