Telolet, Telolet... Ini Komentar Kapolda Jabar

Fenomena telolet diniali sebagai kemenangan sesaat atas budaya global.

oleh Arya Prakasa diperbarui 24 Des 2016, 21:06 WIB
Diterbitkan 24 Des 2016, 21:06 WIB

Liputan6.com, Bandung - Kapolda Jawa Barat, Irjen Anton Charliyan, menilai keriuhan Om Telolet Om‎ yang juga telah mendunia merupakan sebuah bentuk euforia kebahagian masyarakat. Dia mengatakan tren telolet itu jadi viral seiring perkembangan media termasuk media sosial.

Fenomena Om Telolet Om telah menyebar ke seluruh dunia melalui media sosial. Bahkan beberapa warga negara asing menciptakan dan menyanyikan lagu tentang suara klakson bus itu di ‎situs Youtube.

"Mungkin dari pada mikirkan politik masyarakat mending mikirkan telolet telolet," kata Anton di Bandung, Sabtu (24/12/2016).

Sebagai hiburan semata dan tidak merugikan diri sendiri dan orang lain, kata Anton, pihaknya tidak akan melarang demam telolet. Apalagi, dia menambahkan, fenomena yang awalnya dipopulerkan oleh masyarakat di kawasan Pantai Utara (Pantura) itu hanya bersifat sementara.

"Itu kan hanya temporer reaksional. Yang tidak boleh itu mungkin yang memberhentikan bus itu kan bahaya. Nah itu masalah larang bunyi kan belum dirumuskan juga,‎" katanya.

Kemenangan Sesaat 

Munculnya topik Om Telolet Om dinilai sebagai fenomena tentang “kemenangan sesaat” dalam pertarungan budaya global. Dalam konteks budaya, fenomena ini merupakan hal menarik karena terkait dengan masalah globalisasi.

Demikian pandangan pakar komunikasi sekaligus Guru Besar Universitas Indonesia Ilya Revianti tentang fenomena ini. Menurutnya, pertarungan budaya hasil konstruksi realitas sosial kreativitas anak bangsa dan bisa diterima sebagai bagian dari budaya populer dunia merupakan hal yang sangat menarik.

“Ini merupakan fakta nyata akan kekuatan teknologi komunikasi media dengan karakter khasnya yang menengahkan prosumer. Semua orang bisa menjadi produsen pesan berupa ungkapan kreativitas tentang realita sosial yang dihadapinya sehari-hari,” jelasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Liputan6.com, Sabtu (24/12/2016).

Saat ini, tambah Ilya, arus informasi global tidak lagi satu arah, namun ada arus balik budaya berisikan realita asli yang dihadapi anak muda di belahan bumi "Selatan”.

“Walaupun realita tersebut direkayasa dalam bentuk meme yang lucu.”

Ilya menambahkan, isu besar atau penting dan sebaliknya ditentukan oleh media sebagai pembentuk opini publik, termasuk isyu Telolet ini. Media sosial bisa menjadi alternatif sumber informasi penyeimbang.

“Tentu dengan catatan, kita harus bijak menggunakannya. Dan yang terpenting bisa memilah-milah mana yang merupakan konten sampah dan mana yang bermanfaat,” jelasnyanya.

Puncak 21 Desember

Perusahaan yang bergerak di media intelligence asal Australia, Isentia, melakukan pemantauan terhadap fenomena Om Telolet Om ini. Istilah yang mulai populer sejak 19 Desember tersebut lalu dimonitor pembicaraannya di semua kanal media sosial sampai tanggal 23 Desember.

Menurut General Country Manager Isentia Jakarta, Luciana Budiman, tren percakapan mengenai topik ini sudah mencapai titik klimaksnya pada tanggal 21 Desember dan saat ini cenderung menurun.

“Berdasarkan pantauan kami, netizen lokal yang membicarakan isyu ini di berbagai media sosial mencapai titik terbanyak pada tanggal tersebut. Karena netizen luar juga memperbincangkan, kami juga memantau pembicaraan dari Amerika dan Inggris dengan jumlah pergerakannya mencapai ribuan per harinya,” jelasnya.

Secara umum, total pembicaraan mengenai topik telolet mencapai 176.984 (96.81 persen) buzz selama lima hari ini untuk netizen lokal. Sementara untuk netizen Inggris, total buzz yang dihasilkan adalah 1968 (1.07 persaen) dan netizen Amerika mencapai 5.766 (3.12 persen).

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya