Liputan6.com, Malang Ahmad Tumingan bergegas menuju Masjid Al Huda, persis di depan rumahnya. Azan ia kumandangkan, tanda seruan tiba waktu salat Asar. Warga sekitar berduyun-duyun ke masjid memenuhi panggilan itu. Salat berjemaah pun ditegakkan usai Tumingan mengumandangkan ikamat.
Selepas salat, dengan sarung dan peci hitam yang masih dikenakan, Tumingan berjalan menuju Gereja Kristen Jawi Wetan (GKJW) Jemaat Malang. Di halaman gereja tenda telah berdiri sebuah pohon cemara dengan hiasan Natal tampak di depan salah satu gedung gereja.
Kedua tempat ibadah itu berada di tengah permukiman padat penduduk. Di Jalan Kyai Hasim Asyari Gang 6, RT 6/ 5 Kelurahan Kauman, Klojen, Kota Malang, Jawa Timur. Masjid dan gereja hanya berjarak sekitar 30 meter.
Advertisement
Baca Juga
“Mana ini, kok belum ada kuenya,” gurau Tumingan menyapa Dwi Raharjo, petugas keamanan gereja yang berdiri di depan gerbang GKJW Jemaat Malang, Jumat, 23 Desember 2016.
Dwi cepat menyambut Tumingan, menjabat erat tangan pria berusia 68 tahun itu. Senyum mengembang di wajah keduanya. Tumingan bertanya ke Dwi tentang keamanan gereja, jelang perayaan Natal. Terutama pengamanan saat peribadatan malam Natal.
“Pemuda kampung sini biasa ikut berjaga sampai ibadah di gereja selesai. Meski berbeda keyakinan, saling menjaga satu dengan yang lain itu penting,” ujar Tumingan.
RW 5 Kelurahan Kauman dihuni sekitar 500 kepala keluarga. Sebanyak 90 persen di antaranya muslim. Kauman merupakan salah satu kampung tertua di Kota Malang. Lokasinya di sebelah barat Alun-alun Merdeka Malang. Masyarakat juga menyebutnya Kampung Arab, sebab banyak warga setempat bergaris keturunan Arab dari leluhurnya.
Bangunan gedung GKJW Jemaat Malang dan Masjid Al Huda juga berusia tua, sejak era Kolonial Belanda. Gereja dibangun tahun 1923. Beberapa tahun berikutnya surau berdiri dan terus berkembang menjadi Masjid Al Huda. Umat Kristen dan Islam tumbuh beriringan seiring perkembangan zaman.
“Selama itu pula, tidak pernah terjadi ketegangan antar umat beragama di kampung ini,” kata Tumingan.
Halaman gereja selalu terbuka untuk penduduk setempat. Warga yang memiliki mobil, tapi tak ada garasi atau halaman memadai, biasa menitipkannya di halaman gereja. Termasuk kendaraan tamu warga yang sedang menggelar hajatan seperti pesta pernikahan juga diizinkan parkir.
“Tapi warga mengerti, tidak akan parkir mobil di halaman gereja pada hari Minggu atau hari lain bertepatan dengan jadwal peribadatan di gereja,” ucap Tumingan.
Beda Akidah Tak Ganggu Relasi Sosial
Halaman gereja tiap Selasa dan Kamis pagi juga jadi lokasi senam orang lanjut usia. Warga kampung berbaur jadi satu ikut senam dengan instruktur seorang jemaat gereja. Perempuan berjilbab di dalam halaman gereja sering dijumpai di hari tersebut.
“Pendeta kan tinggal di gereja. Istrinya biasa ikut kegiatan ibu–ibu PKK. Hubungan kekeluargaan di kampung ini sangat kental,” tutur Tumingan yang pernah 20 tahun lebih menjabat Ketua RW 5 Kelurahan Kauman.
Di pertengahan tahun 1970-an, pegurus GKJW Jemaat Malang berencana memugar pagar gereja menjadi bangunan permanen. Keinginan mereka terganjal izin dari Pemerintah Kota Malang masa itu. Sikap Tumingan sebaliknya, mengizinkan rencana itu tanpa syarat. Pembangunan pun berlangsung mulus.
“Itu menyangkut keamanan gereja sendiri. Kalau dibangun pagar gereja bisa lebih aman,” ungkapnya.
Tumingan juga menyarankan pengurus GKJW tidak wajib minta izin warga terdekat jika gereja ingin melaksanakan pembangunan. Apalagi pembangunan dilaksanakan di atas tanah milik gereja sendiri. Jika minta izin, dikawatirkan malah menuai penolakan dari warga yang kelewat fanatik. Seluruh ketua RT di lingkungan sekitar menyetujui kebijakan itu.
Tumingan mengakui ada satu atau dua warga yang protes masalah pembangunan gereja. Ia memberi pemahaman bahwa gereja lebih dulu berdiri dibanding rumah warga. Maka, sudah sepatutnya saling mengerti satu sama lain. Warga yang awalnya keberatan, akhirnya menerima.
“Soal ibadah, silakan menjalankannya sesuai akidah masing–masing. Tapi untuk hubungan kemasyarakatan, ini harus dijaga bersama,” tutur Tumingan.
Dwi Raharjo, petugas keamanan GKJW Jemaat Malang, mengamini ucapan Tumingan. Ia menyebut hubungan antara gereja dan penduduk Kauman sudah terbina baik selama ini.
“Bahkan salah satu warga, yakni Bu Hajjah Amin menyumbang wireless untuk kegiatan senam lansia di halaman gereja,” tutur Dwi.
Anggota Komisi Penata Layanan GKJW Jemaat Malang, Agus Yoanto menyebut warga Kauman memiliki toleransi tinggi, layaknya sikap Tumingan yang menerima perbedaan secara tulus.
“Pak Tumingan punya andil penting dalam merajut kebersamaan ini. Termasuk pengertian beliau yang turut memperjuangkan agar gereja dapat izin membangun pagar permanen,” cerita Agus.
Ia menambahkan, sejauh ini sudah banyak organisasi kemasyarakatan mengajukan diri membantu pengamanan gereja selama perayaan Natal. Warga kampung turut berpartisipasi aktif menjaga keamanan gereja. Ini menciptakan rasa nyaman, saling melindungi satu dengan lain.
“Warga secara suka hati mengajukan diri ikut membantu pengamanan peribadatan kami,” kata Agus.
Di luar momen Natal, sambung Agus, jemaat gereja tak segan membantu warga sekitar yang membutuhkan. Tiap periode Juni dan Agustus, ada kegiatan kesaksian dan pelayanan diwujudkan dalam kerja bakti kampung. Kegiatan itu salah satu momen berbaurnya jemaat gereja dan warga tanpa sekat perbedaan keyakinan.
“Kalau ada rumah warga yang perlu dibangun ya kami sama–sama bangun, perbedaan keyakinan itu bukan halangan,” kata Agus.
Advertisement
Kauman Cermin Toleransi
Konflik sosial antarumat dipicu sentimen suku dan agama hampir tak pernah terjadi di Kota Malang. Mengutip data Kantor Kelurahan Kauman, ada 24 masjid dan musala serta enam gereja di kawasan ini.
Selain hubungan baik antarumat beragama di RT 6/5 Kelurahan Kauman, keberadaan Masjid Agung Jami dan Gereja Protestan Indonesia Bagian Barat (GPIB) Imanuel Malang di depan Alun–alun Merdeka Kota Malang adalah bukti berikutnya.
Kedua tempat ibadah yang juga masuk wilayah Kelurahan Kauman itu hanya berjarak sepelemparan batu, dipisahkan oleh sebuah gedung umum saja. GPIB Imanuel didirikan pada 1861, sedangkan Masjid Jami dibangun pada 1871. Tak pernah ada gesekan antar kedua pemeluk agama.
Pengurus masjid dan gereja erat menjalin komunikasi, berkirim surat tentang kegiatan masing–masing. Terutama jika perayaan hari besar keagamaan berbarengan. Itu terjadi pada 2015 lalu, Maulid Nabi Muhammad berselang sehari sebelum umat kristiani merayakan Natal 25 Desember.
Perayaan Maulid Nabi digelar dalam masjid, tak sampai meluber ke jalan raya. Pelataran parkir masjid terbuka bagi kendaraan umat kristiani yang menjalankan ibadah misa.
“Kami juga menyampaikan izin ke pengurus gereja, kalau jemaah ibadah salat Idul Fitri dan Idul Adha harus sampai di depan pelataran gereja,” kata Ketua Badan Ta’mir Masjid Jami Kota Malang, Zainuddin Abdul Mukhid.
Wakil Wali Kota Malang, Sutiaji, menyebut selama ini toleransi antarumat beragama berjalan sangat baik. Indikatornya, tak pernah ada konflik horizontal yang dipicu sentimen keagamaan.
“Kalau pun ada sedikit persoalan, bisa diselesaikan dengan baik tanpa menimbulkan gejolak,” ujar Sutiaji.
Pemerintah Kota Malang, kata dia, menjamin warganya menjalankan ibadah menurut kekayinan masing–masing. Tentang pendirian tempat ibadah, hanya ada Perwali Nomor 50 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pelayanan Perizinan Dan Non Perizinan Pada Badan Pelayanan Perizinan Terpadu.
Salah satu poin di dalamnya mengatur tentang izin pendirian tempat ibadah. Itu sesuai peraturan bersama Menteri Agama dan Mendagri No 9 dan No 8 tahun 2006 tentang Pendirian Tempat Ibadah. Regulasi itu dinilai sudah cukup untuk menjamin keberagaman di Kota Malang.
“Perwali itu sudah cukup untuk menjamin ibadah umat beragama di kota ini,” ujar Sutiaji.
Keberagaman, dia menegaskan, diharapkan terus terawat di Kota Malang. Dari Kauman pula yang diyakini sebagai tempat bermukim kaum beriman, virus toleransi bisa terus disebar. Toleransi dan saling menghormati antarumat beragama.